Para ulama’ Mazhab Syafi’i menyatakan pengharaman memasuki gereja di atas ‘illah adanya kewujudan gambar dan patung-patung
Hidayatullah.com | BAGAIMANA pandangan hukum Islam tentang memasuki gereja Nasrani dengan dalih toleransi dan pendekatan antar agama? Dan apakah boleh menghadiri acara-acara kudus serta menghormati orang yang melaksanakannya?
***
Asas hubungan antara Muslim dan non-Muslim adalah toleransi, ihsan dan perdamaian. Firman Allah SWT dalam al-Qur’an:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّالْمُقْسِطِينَ
Maksudnya: “Allah tidak melarang kamu berlaku baik dan berbuat adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu.” (QS: Surah Al-Mumtahanah: 8)
Perbedaan agama tidaklah menghalang kita berbuat baik sesama kaum kerabat atas dasar kekeluargaan atau kepada siapa saja atas dasar kemanusiaan.
Hukum memasuki gereja dan rumah ibadah agama lain
Para ulama berbeda pendapat dalam hukum memasuki rumah ibadah agama lain:
Pertama, hukumnya haram: Yang berpandangan haram adalah Imam Syihabuddin ar-Ramli, Imam Ibn Hajar al-Haitami (Nihayatul Muhtaj 2/63, Tuhfatul Muhtaj 2/424). Para ulama’ Mazhab Syafi’i menyatakan pengharamannya adalah di atas ‘illah adanya kewujudan patung-patung.
Kedua, hukumnya makruh: Sebahagian ulama Mazhab Hanafi berpandangan shalat dalam gereja adalah makruh, dan Ibn Nujaim menukilkan fatwa Ibn al-‘Alaa al-Ansari akan kemakruhan memasuki biara Yahudi dan gereja Nasrani karena ia tempat perkumpulan syaitan. Namun pandangan yang lebih tepat menurut Ibn Nujaim adalah hukumnya makruh tahrimi. (Lihat Hasyiyah Ibn ‘Abidin 1/380, Al-Bahr ar-Ra’iq 1/480 dan 7/214; Al-Fatawa al-Hindiyyah 5/346), dan ini juga pandangan yang paling tepat menurut Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah (Lihat, dan Al-Fatawa al-Kubra 5/327).
Diriwayatkan bahwa Ibn ‘Abbas RA dan Imam Malik juga memakruhkan shalat di gereja. (Al-Adab as-Syar’iyyah, 3/431). Ini juga pandangan sebagian ulama Mazhab Syafi’i, dan diharamkan bagi Muslim shalat di gereja jika mereka melarangnya. (Hasyiyah ‘Umairah, 1/222). Imam Bahuti dari Mazhab Hanbali memakruhkan shalat di dalam gereja yang mempunyai patung berdasarkan hadis Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang mempunyai patung. (Kasyaf al-Qanna’ 1/293).
Ketiga, dibolehkan dengan syarat. Ini adalah pandangan Ibn Qudamah dan Al-Mardawi daripada mazhab Hanbali. Ibn Qudamah juga meriwayatkan bahwa Hasan al-Basri, Umar Abdul Aziz, Sya’bi dan Al-Auza’i juga berpegang pada pendapat ini.
Imam al-Bahuti dari Mazhab Hanbali juga mengharuskan memasuki gereja dan biara yang tidak mempunyai patung. (Al-Mughni 8/113 dan 2/57, Al-Insaf fi Ma’rifati ar-Rajih min al-Khilaf, 1/496, Kasyaf al-Qanna’ 1/293 dan Al-Muhalla 1/400).
Imam Khatib as-Syarbini jua membolehkan memasuki gereja dan biara jika tiada patung di dalamnya. (Mughni al-Muhtaj, 6/78).
Hukum menghadiri undangan walimah
Menurut para ulama Mazhab Syafi’i, hukum menghadiri undangan walimah non-Muslim adalah sunah sekiranya undangan itu datang keluarga dan tetangga atau jika kehadiran kita akan memberi manfaat kepada dakwah Islam. (Nihayatul Muhtaj, 6/371; I’anatu at-Thalibin, 3/408; Syarh al-Yaqut an-Nafis, dan Al-Mu’tamad fil Fiqh as-Syafi’i, Muhammad az-Zuhaily, 2015).
Hal ini juga disetujui Imam al-Mardawi dari Mazhab Hanbali, yang turut menyebut akan kebolehan menghadiri walimah non-Muslim dengan memetik pandangan Imam Ahmad dan Ibn Qudamah. (dalam Al-Insaf, 8/320).
Pandangan Syeikh Muhammad Sa’id Ramadlan Al-Buthi
Di sana tidak ada istilah pendekatan antar agama. Akan tetapi yang disyariatkan dan dituntut adalah kaum muslimin agar berdialog dengan ahlil-kitab (umat Nasrani-Yahudi).
Namun bukan dengan tujuan agar masing-masing pihak mengikuti langkah pihak yang lainnya. Akan tetapi dalam upaya mencari kejelasan masalah-masalah yang sulit dan memfokuskan pada poin-poin kesamaan, dan dari sana nanti timbul kerja sama dalam menghadapi musuh bersama.
Adapun pengakuan kita terhadap kenabian Isa Alaihissalam merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari akidah Islam yang menjadi keharusan. Orang Nasrani apabila beriman kepada Allah, ia dinamakan mukmin dengan perngertian umum yang menjadi lawannya ateis (anti-Tuhan).
Umat muslim tidak boleh mengikuti aktifitas-aktifitas sembahyang orang-orang Nasrani dan Yahudi. Akan tetapi memasuki gereja-gereja mereka untuk tujuan selain itu hukumnya tidak haram.
Sebagaimana tidak ada halangan bagi mereka untuk memasuki masjid-masjid kita dengan syarat mendapat izin dari pemerintah atau yang berwenang akan hal tersebut. Khawatir ada penyusupan atau musuh yang akan mengobarkan fitnah. (Syeikh Muhammad Sa’id Ramadlan Al-Buthi dari laman www.bouti.com).
Kesimpulan
Dalam Irsyadul Fatwa no. 248, Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan Jabatan Perdana Menteri – Malaysia, menyebutkan;
Bahwa hukum asal seorang Muslim masuk ke dalam rumah ibada agama lain adalah boleh, jika mempunyai tujuan yang diharuskan syarak (syariat), seperti; untuk berdakwah, memenuhi undangan berdialog antara agama dan sebagainya. Namun kehadiran saat perayaan keagamaan mereka adalah tidak dibenarkan.
Seorang Muslim itu juga diharuskan menghadiri majelis perkahwinan yang diselenggarakan di gereja, bahkan disunahkan jika yang menikah itu adalah terdiri daripada keluarga, sahabat handai taulan, tetangga, atau jika kehadiran kita itu mampu memberi sumbangan kepada dakwah Islam.
Begitu juga dengan isi perjanjian antara Sayidina ‘Umar Ibnu Khattab dengan Ahlu Dzimmah pada zaman beliau yang antara lain menyatakan bahwa mereka tidak akan menghalangi kaum Muslimin memasuki gereja pada waktu siang atau malam. Ini juga antara dalil yang digunakan oleh Imam Ibn Qudamah dalam kebolehan Muslim memasuki gereja. (Al-Syarh al-Kabir ‘ala Matn al-Muqni’, 10/613).
Tarjih ini juga didasarkan pada hukum kewajiban mengiringi jenazah anggota keluarga non-muslim, sebagaimana disebutkan oleh Syeikh Muhammad az-Zuhaily yang menyebutkan bahwa qaul mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i membolehkan mengiringi jenazah ahli keluarga yang bukan muslim, berdasarkan riwayat dari ‘Ali R.A:
قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ الضَّالَّ مَاتَ، فَمَنْ يُوَارِيهِ قَالَ : “ اذْهَبْ فَوَارِ أَبَاكَ
Artinya; “Aku berkata kepada Nabi ﷺ, “Sesungguhnya bapak saudaramu yang sesat (Abu Thalib) telah meninggal dunia. Siapa yang harus mengebumikannya? Nabi ﷺ bersabda: “Pergilah dan kuburkan ayahmu”. (Al-Mu’tamad fil Fiqh as-Syafi’i, 2015).
Jika urusan pengebumian seorang non-Muslim yang mempunyai unsur-unsur ritual keagamaan juga diobelehkan, maka hal yang sama juga boleh diqiyaskan dalam majelis perkawinan.
Namun, ada larangan memasuki rumah ibadah agama lain selama festival berlangsung. Diriwayatkan bahwa Umar R.a berkata:
لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم
Artinya; “Janganlah kalian menemui orang-orang musyrik di gereja-gereja (tempat ibadah) mereka pada hari raya mereka, karena kemurkaan (Allah) turun kepada mereka.” (HR: Al-Baihaqi dalam As-Sunan 9/234, Abdurrazaq dalam Al-Mushannif, :1609).
Larangan ini menurut Ibn Muflih bersifat makruh dan bukannya haram. (Al-Adab As-Syar’iyyah, 3/432).
Agama Islam tidak pernah memutuskan silaturahim sesama keluarga meskipun ada perbedaan agama dan tidak melarang ikatan persaudaraan dan persahabatan dengan orang yang bukan Islam.
Namun kehadiran itu mestilah terbatas sebagai hadirin biasa dan tidak boleh terlibat dengan sebarang proses ritual, seperti: membaca doa, mengiringi pasangan pengantin masuk ke gereja atau berada di ‘altar’ (pentas) saat proses perkawinan yang diupacarakan pendeta/pastur sedang berlangsung.
Selain itu, setiap aktivitas yang bertentangan dengan syari’at Islam seperti tarian, minum miras dan pergaulan bebas lelaki dan wanita wajib dihindari walau dengan berbagai cara sekalipun.*