Di bawah ini lanjutan dari artikel PERTAMA dan KEDUA
Operasi Kelamin yang Cacat Bawaan Lahir
Hidayatullah.com—Operasi kelamin yang cacat bawaan sejak lahir, yaitu operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin. Misalnya, memiliki penis atau vagina yang tidak berlubang.
Operasi seperti ini dibolehkan, karena termasuk dalam katagori pengobatan. Karena pada dasarnya manusia itu ciptaannya sempurna, maka jika didapati beberapa bagian anggota tubuhnya tidak normal atau tidak berfungsi, seperti vagina yang tidak berlubang, atau penis yang tidak berlubang sehingga tidak bisa buang air kecil, maka dibolehkan baginya untuk melakukan operasi perbaikan kelamin. Dengan tujuan agar salah satu organ tubuhnya tersebut berfungsi sebagaimana yang lain.
Rasulullah ﷺ bersabda,
يا عباد الله تداووا، فإنّ الله جعل لكلّ داء دواء
“Wahai hamba-hamba Allah berobatlah, karena Allah menjadikan setiap penyakit itu ada obatnya.”
Jadi operasi kelamin yang cacat sejak kecil atau karena suatu kecelakaan termasuk dalam kategori berobat dan bukan dalam kategori mengubah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala.
Operasi Pembuangan Kelamin Ganda Bawaan Lahir
Yaitu operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki 2 (dua) jenis alat kelamin yaitu penis dan vagina.
Orang yang mempunyai kelamin ganda dalam dunia medis disebut “ambiguous genitalia” yang artinya alat kelamin meragukan. Orang tersebut tidak menderita penyakit “transeksual”, tetapi lebih cenderung kepada interseksual yaitu suatu kelainan, dimana penderita memiliki ciri-ciri genetik, anatomik atau fisiologik meragukan antara pria dan wanita.
Gejalanya sangat bervariasi, mungkin saja tampilan luarnya adalah laki-laki normal atau wanita normal, tetapi alat kelaminnya yang masih meragukan apakah dia laki-laki atau perempuan. Penderita seperti ini memang benar-benar sakit secara fisik, yang kemudian mempengaruhi kondisi psikologisnya.
Maka, operasi pada orang yang mempunyai kelamin ganda seperti ini dibolehkan, tentunya setelah ada kejelasaan statusnya, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara-cara yang telah diterangkan di atas dan dikuatkan dengan pernyataan para dokter ahli dan amanah.
Biasanya operasi dilakukan ketika anak tersebut masih bayi dan belum beranjak dewasa, jika sudah dewasa tentunya akan lebih susah lagi, karena mungkin itu akibat salah pola asuh dan pola interaksi dari lingkungan sekitar.
Karena kalau seseorang dibiarkan dalam status yang tidak jelas, maka sungguh kasihan hidupnya, dan masyarakatpun kesulitan untuk berinteraksi dengannya karena statusnya yang belum jelas, apakah dia itu laki-laki atau perempuan.
Oleh karenanya operasi untuk membuang salah satu dari dua jenis kelamin dibolehkan, karena akan membawa kemaslahatan bagi yang bersangkutan dan kemaslahatan bagi masyarakat yang ia hidup di dalamnya.
Di Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Sultana Mh Faradz telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehetan RI No. 191/MENKES/SK/III/1989 tentang penunjukan rumah sakit dan tim ahli sebagai tempat dan pelaksanaan operasi penyesuaian kelamin. Pada tanggal 12 Juni 1989 telah dibentuk Tim Pelaksana Operasi Penggantian Kelamin yang terdiri dari ahli bedah urologi, bedah plastik, ahli penyakit kandungan dan ginekologi, anestesiologi, ahli endokrinologi anak dan dewasa (internist), ahli genetika, andrologi, psikiater, ahli patologi, ahli hukum, pemuka agama dan petugas sosial medik.
Tetapi sejak tahun 2003 ada perubahan kebijakan bahwa Tim Penyesuaian Kelamin hanya boleh melakukan operasi penyesuaian kelamin untuk penderita interseksual -dan tidak pada penderita transeksual- yang membutuhkan penentuan jenis kelamin, perbaikan alat genital dan pengobatan. Semua kasus yang datang akan didata, diperiksa laboratorium rutin, analisis kromosom dan DNA, pemeriksaan hormonal dan test-test lain yang dianggap perlu seperti USG, foto rontgen dan lain-lain.
Kegiatan tim ini adalah melaksanakan pertemuan rutin secara multidisipliner antara seluruh anggota tim dengan penderita (yang telah selesai dengan pemeriksaan penunjang untuk penegakkan diagnosis) untuk mendiskusikan penatalaksanaan, tindakan dan pengobatan yang akan dilakukan termasuk pemberian konseling. Wallahu A’lam.*
Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA dari Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)