Hidayatullah.com—Sering kita dengar di siaran televisi artis yang ganti kelamin. Baik dari pria menjadi wanita atau sebaliknya. Apa hukumnya dalam Islam terkait ketentuan yang telah diberikan Allah ini? Di bawah ini lanjutan artikel PERTAMA (dari 3 artikel)
Keadaan Kedua
Waria yang disebabkan adanya perbedaan keadaan psikis dan fisik seseorang, seperti:
▪ ketidaknormalan sistem tubuh, atau
▪ terjadi percampuran hormon laki-laki dan perempuan, yang berakibat munculnya perasaan dalam dirinya yang berbeda dengan fisik tubuhnya.
Maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
Pendapat Pertama
Bahwa operasi ganti kelamin untuk orang yang keadaannya seperti ini tetap tidak boleh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dasarnya adalah ayat-ayat al Qur’an dan hadist-hadits yang telah disebutkan di atas.
Pendapat Kedua
Bahwa operasi ganti kelamin untuk orang yang keadaanya seperti ini, dibolehkan. Ini adalah pendapat sebagian kecil ulama kontemporer.
Di antara dalil dari pendapat ini adalah sebagai berikut:
(1) Menurut kesaksian mayoritas dokter bahwa memang benar adanya orang yang mempunyai penyakit seperti ini, mereka menyebutnya dengan transeksual, yaitu terpisahnya antara bentuk fisik dengan psikis, yaitu bentuk fisiknya adalah laki-laki umpamanya, tetapi perasaannya bahwa dia bukanlah laki-laki.
Penyakit ini menyebabkan orang tersiksa dalam hidupnya, sehingga kadang-kadang diakhiri dengan bunuh diri. Pengobatan secara kejiwaan sudah dilakukan berkali-kali oleh para dokter, tetapi tetap saja gagal. Maka tidak ada jalan lain kecuali operasi ganti kelamin.
(2) Keadaan seperti ini bisa dikategorikan darurat. Karena tanpa operasi tersebut seseorang tidak akan bisa hidup tenang dan wajar sebagaimana yang lain, hidupnya akan dirundung kegelisahan demi kegelisahan, dan tidak sedikit yang diakhiri dengan tindakan bunuh diri.
(3) Kalau kita perhatikan bahwa yang menyebabkan diharamkannya operasi ganti kelamin secara umum atau dalam keadaan normal adalah karena dua alasan:
Alasan Pertama
Bahwa hal tersebut termasuk mengubah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana yang tersebut dalam QS: an-Nisa’: 119, sudah disebut di atas.
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas, Anas, Ikrimah, dan Abu Sholeh bahwa yang dimaksud mengubah ciptaan Allah adalah mengebiri, mencongkel mata, serta memotong telinga.
Sedangkan Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya dengan menukil perkataan Qhadhi ‘Iyadh bahwa seseorang yang mempunyai jari-jari tangan lebih dari lima atau daging tambahan di dalam tubuhnya, maka tidak boleh dipotongnya, karena termasuk dalam katagori mengubah ciptaan Allah, kecuali kalau jari-jari tangan atau daging tambahan tersebut terasa sakit, nyeri dan menyebabkannya menjadi menderita, maka dalam keadaan seperti ini, diperbolehkan untuk memotongnya. (Tafsir al-Qurthubi: 5/252)
Perkataan Qadhi ‘Iyadh yang dinukil oleh Imam Qurtubi di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa sesuatu tambahan dalam tubuh yang berupa daging atau yang lain dan menyebabkan sakit si penderita, maka diperbolehkan untuk menghilangkannya, dan hal ini dimasukkan dalam katagori berobat, yang kadang harus mengubah ciptaan Allah subhanahu wa ta’a. Karena sebenarnya yang dilarang dalam masalah ini adalah mengubah ciptaan Allah tanpa ada alasan syar’i atau hanya karena ingin memperindah anggota tubuh saja. Tetapi jika bertujuan untuk mengobati, maka dibolehkan.
Atas dasar keterangan di atas, maka operasi ganti kelamin yang dilakukan oleh orang yang mengidap penyakit transeksual pada jenis kedua ini, bisa dikatakan bahwa organ tubuhnya secara fisik yang ada sekarang adalah organ tambahan, karena tidak sesuai dengan kejiwaan dan perasaannya, sehingga jika dirubah menjadi organ yang sama dengan kejiwaan dan perasaannya, maka termasuk dalam proses pengobatan dari rasa sakit yang dialaminya, dan memang tidak ditemukan obat selain operasi ganti kelamin.
Alasan Kedua
Bahwa operasi ganti kelamin termasuk dalam katagori menyerupai jenis lain yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ. Tetapi para ulama telah menjelaskan bahwa yang dilarang dalam masalah ini adalah menyerupai jenis di dalam berpakaian, berhias, bertutur kata dan cara berjalan. Hal ini disimpulkan dari dalil-dalil lain.
Oleh karenanya, Imam Nawawi menyatakan bahwa waria yang ada semenjak lahir tidak termasuk dalam katagori yang dilarang oleh Rasulullah saw, karena mereka tidak bisa meninggalkan gaya-gaya tersebut yang dibawanya dari lahir, walaupun sudah diobati berkali-kali, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari.
Demikianlah beberapa dalil yang diungkapkan oleh kelompok kedua yang membolehkan bagi seseorang yang terkena penyakit transeksual jenis kedua dan tidak bisa diobati lagi secara psikis, maka dibolehkan untuk melakukan operasi ganti kelamin, dan ini termasuk keadaan darurat.
Catatan
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini, supaya tidak terjadi salah paham, bahwa yang dibolehkan adalah orang-orang yang benar-benar punya penyakit seperti ini, tentunya harus direkomendasikan oleh dokter-dokter yang ahli, jujur dan amanah. Begitu juga setelah melalui rekomendasi para ulama yang diakui amanah dan otorits keilmuaannya.
Hukum tersebut tidak berlaku bagi orang yang melakukan operasi ganti kelamin, hanya karena sekedar iseng, atau hanya sekedar “merasa” dirinya lebih cocok menjadi orang berjenis kelamin yang berbeda dengan keadaannya sekarang, padahal penyakitnya tersebut belum diteliti dan belum ada usaha-usaha yang sungguh-sungguh untuk menyembuhkannya. Wallahu A’lam. (bersambung…)
Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)