Assalaamu’alaikum wr.wb
Ustadz, orangtua saya telah meninggal dunia dan memberi wasiat untuk mewakafkan sebidang tanah miliknya. Akan tetapi di area tanah itu ada makam ibu saya. Bagaimana harusnya tanah itu dikelola, apakah harus dengan memindahkan makam ibu saya demi pertimbangan kebaikan kemajuan pengelolaan tanah wakaf itu sendiri?
Terimakasih
Ariyanto | Samarinda
Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Anda patut bersyukur mempunyai orang tua yang memiliki visi ukhrawi. Wasiat untuk mewakafkan tanah bagi sebuah amal shalih adalah bukti upaya kuat orang tua untuk menambah modal di kampung akhirat yang diimaninya.
Tentu saja bagi seorang investor amal shalih orang tua anda sangat menginginkan tanah wakafnya itu produktif menghasilkan pahala yang maksimal. Untuk tujuan ini selain terkait dengan keikhlasan beliau sendiri, juga tergantung kepada seberapa besar manfaat yang dapat dihasilkan melalui wakaf tersebut.
Oleh sebab itu, wajar jika ada upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan tanah tersebut dan menghilangkan berbagai kendala yang dapat menghilangkan atau mengurangi pemanfaatan itu. Dalam hal ini yang dirasa cukup menjadi kendala adalah adanya kuburan. Sayangnya anda tidak menyampaikan tentang tujuan pemanfaatan tanah wakaf tersebut.
Penyampaian tentang tujuan ini penting, sebab terkait dengan hukum menggali maupun memindah kuburan. Tanpa alasan yang dibenarkan jelas menggali dan memindahkan kuburan adalah haram.
Hal ini disepakati oleh empat imam madzhab.(al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh: II/155). Oleh sebab itu jika memang dapat dikompromikan yaitu dimanfaatkan dengan tanpa memindah kuburan tersebut tentu lebih baik.
Misalnya, jika wakaf tersebut untuk sekolah, panti asuhan dan sebagainya yang memang tidak terganggu dengan keberadaan kuburan. Apalagi jika orang tua berwasiat untuk tidak memindah kuburan tersebut, jelas tidak boleh untuk memindahnya.
Jika tidak ada wasiat larangan memindahkan –yang berarti pengecualian dari tanah wakaf- dan terdapat maslahat, dalam hal ini terdapat contoh peristiwa pada masa Nabi ﷺ sebagaimana diriwayatkan Jabir ibn Abdillah r.a. Ia menceritakan:
لَمَّا حَضَرَ أُحُدٌ دَعَانِي أَبِي مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ: مَا أُرَانِي إِلاَّ مَقْتُولاً فِي أَوَّلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنِّي لاَ أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ، غَيْرَ نَفْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّ عَلَيَّ دَيْنًا، فَاقْضِ، وَاسْتَوْصِ بِأَخَوَاتِكَ خَيْرًا ، فَأَصْبَحْنَا، فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ ، وَدُفِنَ مَعَهُ آخَرُ فِي قَبْرٍ، ثُمَّ لَمْ تَطِبْ نَفْسِي أَنْ أَتْرُكَهُ مَعَ الآخَرِ، فَاسْتَخْرَجْتُهُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ، فَإِذَا هُوَ كَيَوْمِ وَضَعْتُهُ هُنَيَّةً ، غَيْرَ أُذُنِهِ ”
“Ketika terjadi perang Uhud, pada suatu malam bapakku (Abdullah) memanggilku seraya berkata: “Tidaklah aku melihat diriku (menduga) melainkan aku akan menjadi orang yang pertama-tama gugur di antara para sahabat Nabi ﷺ (dalam peperangan ini) dan aku tidak meninggalkan sesuatu yang lebih berharga dari pada kamu selain Rasulullah ﷺ. Aku mempunyai tanggungan hutang, maka lunasilah. Berikan perhatian yang baik kepada saudara-saudara perempuanmu.”
Pada pagi harinya kami dapati bapakku adalah orang yang pertama gugur dan dikuburkan bersama dengan satu orang lain dalam satu kuburan. Setelah itu perasaanku tidak enak dengan membiarkan dia bersama yang lain. Maka, enam bulan setelah itu aku keluarkan dari pemakamannya dan aku dapati jenazah bapakku masih utuh sebagaimana hari dia dikebumikan (dan tidak ada yang berubah padanya) kecuali sedikit pada telinganya.” (HR Bukhari).
Atas dasar hadis ini dan beberapa hadis yang lain, Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat boleh memindahkan kuburan seseorang, jika itu berdasar kepada kemaslahatan. Adapun Syafi’iyyah membolehkan atas dasar darurat tidak sekedar maslahat. Adapun Hanafiyyah mengharamkannya secara mutlak.
Berdasar pada penjelasan di atas, Anda dapat menimbang apakah pemanfaatan itu masih dapat dikompromikan dengan keberadaan kuburan atau tidak. Ada wasiat untuk diprtahankan atau tidak. Jika tidak, maka anda dapat memindahnya atas dasar kemaslahatan sebagaimana pendapat Malikiyyah dan Hanabilah tersebut. Wallahu a’lam.* (Diasuk Ustad Abd Kholik, LC, MHI)