Assalamu’alaikum wr wb
Terus terang sampai sekarang saya masih ragu tentang hukum tayammum di atas pesawat karena alasan tiadanya air. Pertanyaan saya, apakah ada unsur debu di dalam pesawat?
1) Kalau saya memakai waslap (kain yang dibasahi), apakah diperbolehkan?
2) Bolehkah saya shalat berjamaah dengan teman sederet di pesawat?
Atas perhatian dan jawaban Ustadz saya ucapkan. Jazakumullah khairan katsira.
TR – Ngawi
Wa’alaikum salam wr wb
Hidayatullah.com–Allah SWT telah menjadikan syariat Islam itu mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. Segala aturan yang sebelumnya berat dan menyulitkan telah diganti dengan syariat yang sederhana dan mudah sampai tidak ada alasan bagi orang yang beriman untuk meninggalkannya. Al-Qur’an menegaskan,
هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)
Dalam ibadah shalat, misalnya. Jika tidak bisa berdiri, bisa dilaksanakan dengan duduk. Jika kesulitan duduk, shalat masih bisa dilaksanakan dengan tiduran atau berbaring. Bahkan cukup dengan isyarat mengerdipkan mata.
Demikian juga dalam bersuci, jika kesulitan mendapatkan air, atau dalam keadaan sakit, atau keadaan cuaca sangat dingin menggigil, maka alternatif lain telah disiapkan oleh ajaran Islam, yaitu tayammum. Jangan menyusahkan diri. Alternatif yang disiapan syariat Islam, yaitu tayammum sebagai pengganti wudhu merupakan kasih sayang Allah SWT kepada umat manusia. Untuk itu, syukuri dan nikmati fasilitas tersebut.
Apakah di pesawat ada debu? Memang tayammum mengharuskan adanya debu sebagai pengganti air, tapi menurut para ahli partikel debu itu selalu ada dan tidak pernah hilang sama sekali, sekalipun telah divakum. Debu bisa masuk melalui saluran AC yang beroperasi setiap waktu, juga pada saat pesawat dibuka saat menaikkan penumpang atau saat menurunkannya.
Itulah sebabnya, jumhur ulama membolehkan tayammum dengan menempelkan tangan di jok kursi pesawat. Tayammum tersebut sudah dianggap sah dan dibenarkan syariat.
Dasar penetapan hukum tersebut adalah firman Allah SWT:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا قُمۡتُمۡ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغۡسِلُوۡا وُجُوۡهَكُمۡ وَاَيۡدِيَكُمۡ اِلَى الۡمَرَافِقِ وَامۡسَحُوۡا بِرُءُوۡسِكُمۡ وَاَرۡجُلَكُمۡ اِلَى الۡـكَعۡبَيۡنِ ؕ وَاِنۡ كُنۡتُمۡ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوۡا ؕ وَاِنۡ كُنۡتُمۡ مَّرۡضَىٰۤ اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ اَوۡ جَآءَ اَحَدٌ مِّنۡكُمۡ مِّنَ الۡغَآٮِٕطِ اَوۡ لٰمَسۡتُمُ النِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُوۡا مَآءً فَتَيَمَّمُوۡا صَعِيۡدًا طَيِّبًا فَامۡسَحُوۡا بِوُجُوۡهِكُمۡ وَاَيۡدِيۡكُمۡ مِّنۡهُ ؕ مَا يُرِيۡدُ اللّٰهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُمۡ مِّنۡ حَرَجٍ وَّلٰـكِنۡ يُّرِيۡدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَ لِيُتِمَّ نِعۡمَتَهٗ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” ( Al-Maidah: 6)
Kemudian dikuatkan dengan hadits dari Sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu:
« وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ
“Dijadikan bagi kami (umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam ) permukaan bumi sebagai thahur/sesuatu yang digunakan untuk besuci (tayammum) jika kami tidak menjumpai air”. (Riwayat Muslim No. 522)
Adapun menggunakan waslap untuk berwudhu oleh sebagian ulama masih diperselisihkan, karena ada bagian-bagian wudhu yang tidak cukup hanya dengan diusap tapi harus dibasuh. Al-Qur’an menggunakan dua istilah dalam kaitan ini, yaitu “aghsiluu” Untuk membasuh muka, tangan, dan kaki. Sedang “amsahuu” untuk mengusap kepala.
Adapun shalat berjamaah pada shalat-shalat fardhu, menurut jumhur ulama, selama masih memungkinkan tetap disunnahkan. Caranya sederhana, posisi imam dan makmum sejajar atau imam maju sedikit atau posisi makmum mundur sedikit dibanding imam.
Mudah-mudahan jawaban ini dapat memberikan pencerahan.