Hidayatullah.com | APABILA kita berbicara tentang adab dan etika kewartawanan (dunia jurnalistik) pada sudut syarak (syariat, hukum Islam), kita perlu memecahkannya beberapa bagian yaitu: (1) Orang atau lembaga yang menyampaikan berita. (2) Orang yang menerima berita dan (3) Berita yang disampaikan.
Orang atau lembaga jurnalistik yang menyampaikan sesuatu berita mestilah seorang yang mempunyai ciri-ciri atau etika yang dikenal dengan istilah thiqoh (dapat dipercaya), berpengetahuan, amanah serta dikenali sebagai seorang yang memiliki ororitas.
Karena tanggung jawab yang besar dari seorang pembawa berita atau jurnalis, sebuah badan media harus memilih dengan cermat dalam menentukan siapa yang akan menjadi sumber atau menyampaikan suatu berita kepada publik. Secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa kondisi orang-orang yang bekerja di bidang ini sama dengan bidang-bidang pekerjaan lainnya sebagaimana digariskan oleh Islam.
قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ
“Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Surah Al-Qasas: 26)
Adapun orang yang menerima suatu berita atau disebut sebagai pembaca berita, ia harus menjadi orang yang sadar sehingga dapat membedakan mana yang bermanfaat baginya dan mana yang tidak. Ia juga harus memiliki keinginan untuk observasi pribadi yang tidak hanya mengandalkan sumber berita media.
Dalam kaitan ini, pemerintah harus berperan dalam menyensor dan mengkaji agar setiap berita atau media yang dibawa ke publik akan memberikan manfaat dan maslahat bagi masyarakat luas. Jika pemantauan ini tidak berhasil, kemungkinan besar media akan berperan merusak masyarakat.
Adab dan Etika Islam dalam Bertetangga
Turut sama berperanan dalam memantau media adalah kedua orang tua bagi sesebuah keluarga dalam memastikan informasi apa yang sampai kepada anak-anak mereka adalah segala perkara yang mempunyai masalahat.
Mengenai berita yang ingin disampaikan, berita tersebut hendaklah berita yang sudah diyakini sepenuhnya akan kebenarannya dan bukanlah sebuah kabar angin atau berita yang masih diragukan.
Selain berfokus pada penyampaian berita yang benar, media juga harus bijaksana untuk menentukan di antara sekian banyak berita benar yang harus didahulukan (awlawiyat), ada sebagian berita perlu diberi fokus sepenuhnya, ada berita yang hanya perlu dilihat secara kecil dan ada sebagian berita yang sebenarnya langsung tidak perlu untuk dilaporkan. Penilaian dalam perkara ini adalah dari segi maslahat dan mafsadah sesuatu berita itu pada masyarakat umum.
Sesuatu media atau berita juga mestilah bersifat adil dan memposisikan di tengah. Artinya, berita tidak boleh membesar-besarkan satu masalah di atas yang lain.
Karena salah satu peran media adalah mencerdaskan masyarakat, jika kita menginginkan masyarakat yang komprehensif dari segi pengetahuan dan kemampuan maka berita yang disajikan harus komprehensif meliputi politik, sosial, ekonomi, agama, keluarga, kebangsaan dan lain-lain. Satu sudut tidak boleh melebihi sudut lainnya.
Hiburan dalam media adalah dibolehkan namun hiburan tersebut mestilah tidak menyentuh perkara yang haram serta mempunyai tujuan yang jelas.
Berkata Abu Darda RA mengenai perkara ini:
و كان أبو الدرداء يقول: إنى لأستجم نفسى بشيء من اللهو، لأتقوى بذلك فيما بعد على الحق
Abu Darda’ pernah berkata: “Aku menghibur jiwaku dengan candaan, agar aku makin semangat mengerjakan kebenaran setelahnya.”*/Artikel ini merupakan tulisan asal daripada bahasa arab yang ditulis oleh Syiekh Dr Yusuf Al-Qardawi dari laman web qardawi.net