Jika ilmu hakikat adalah ilmu berkenaan dengan perbaikan hati, lantas bagaimana hubungannya dengan ilmu syari`at? Apakah keduanya terpisah?
Hidayatullah.com | DALAM dunia tasawuf sering terdengar ungkapan “ilmu hakikat”. Sebenarnya apa definisi yang menjelaskan menganai ilmu ini? Bagaimana pula para ulama menyikapinya?
Hadits Sumber Penyebutan Ilmu Hakikat
Al Hafidz As Suyuthi berkata,”Telah berkata pensyarah Manazil As Sa`irin,’ Hakikat sesuatu bagi ahli bidang ini (tasawuf) ada tanda-tanda yang menunjukkannya. Di antaranya adalah sabda Rasulullah ﷺ kepada Haritsah:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ أَصْبَحْتَ يَا حَارِثَ بْنَ مَالِكٍ؟ قَالَ: أَصْبَحْتُ مُؤْمِنًا حَقًّا , قَالَ: «إِنَّ لِكُلِّ قَوْلٍ حَقِيقَةً فَمَا حَقِيقَةُ ذَلِكَ؟» قَالَ: أَصْبَحْتُ عَزَفَتْ نَفْسِي عَنِ الدُّنْيَا (أخرجه ابن أبي ِيبة في المصنف: 30425, 6/170)
Artinya: Rasulullah ﷺ bersabda,“Bagaimana awal harimu wahai Harits bin Malik?” Harits pun menjawab, ”Awal hariku, aku dalam keadaan mukmin yang sesungguhnya.” Rasulullah ﷺ pun bersabda, ”Sesungguhnya bagi segala sesuatu ada hakikatnya. Apa hakikat keimananmu?” Harits pun menjawab, ”Aku telah berzuhud dari dunia…” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf: 30425, 6/170)
Lantas Harits pun menyampaikan mengenai tanda-tanda sempurnanya iman. (Lihat, Ta`yid Al Haqiqah Al Aliyah, hal. 17)
Al Hafidz As Suyuthi berkata, ”Telah jelas bagiku, bahwa para ahli dalam bidang ini (tasawuf), sesungguhunya mereka menyebut ilmu mereka dengan ilmu hakikat mengambil dari lafadz hadits ini.” (Lihat, Ta`yid Al Haqiqah Al Aliyah, hal. 17)
Ilmu Hakikat adalah Ilmu Cara Perbaikan Hati
Imam Izzuddin bin Abdissalam berkata untuk menjelaskan ap aitu ilmu hakikat, ”Cara untuk memperbaiki hati yang mana hal itu yang menyebabkan jasad juga menjadi baik, dan kerusakan jasad juga disebabkan kerusakan hati. Serta cara untuk mensucikan hati dari segala yang menjauhkan dari Allah serta menghiasi hati dengan segala yang mendekatkan kepada-Nya dan membuat hati mencintai pada kedekatan terhadap-Nya, dalam berbagai kondisi, perkataan dan perbuatan serta harapan-harapan yang mulia. Juga senantiasa menghadap-Nya, mendengar-Nya, hadir pada-Nya di setiap waktu di berbagai kondisi sesuai dengan kemampuan, tanpa adanya kejenuhan dan kebosanan. Dan ilmu untuk mengetahui hal itu disebut sebagai ilmu hakikat.” (dalam Qawaid Al Ahkam fi Mashalih Al Anam, 2/212).
Ilmu Hakikat Tanpa Ilmu Syari`at Adalah Sia-sia
Jika ilmu hakikat adalah ilmu berkenaan dengan perbaikan hati, lantas bagaimana hubungannya dengan ilmu syari`at? Apakah keduanya terpisah?
Imam Izuddin bin Abdissalam berkata, ”Ilmu hakikat bukanlah berada di luar syari`at, bahkan syari`at tegak dengan perbaikan hati, baik dengan pengetahuan, keadaan, serta tekad dan niat serta hal-hal lain yang telah kami sebutkan yang merupakan amalan-amalan hati. Maka, pengetahuan tentang hukum-hukum dhahir merupakan pengetahuan secara global tentang syariat. Sedangkan pengetahuan tentang hukum-hukum batin merupakan pengetahuan secera rinci dari syariat. Tidak ada seorang pun yang mengingkari kedua ilmu itu, kecuali orang kafir atau fajir. (dalam Qawaid Al Ahkam fi Mashalih Al Anam, 2/212).
Al Hafidz As Suyuthi pun menyatakan, ”Dan telah nampak bagiku, bahwasannya posisi ilmu hakikat dari ilmu syari`at seperti posisi ilmu ma’ani dan ilmu bayan (balaghah) terhadap ilmu nahwu. Ia (ilmu hakikat) merupakan rahasianya (ilmu syari`at) dan ia (ilmu hakikat) dibangun di atasnya (ilmu syari`at). Maka, barangsiapa berkecimpung dalam ilmu hakikat tanpa mengetahui ilmu syari`at maka ia termasuk orang-orang bodoh yang tidak mendapatkan apa-apa sebagaimana seseorang ingin berkecimpung dalam rahasia-rahasia ilmu ma`ani dan ilmu bayan, tanpa mahir dalam ilmu nahwu, ia tersesat jauh.” (Lihat, Ta`yid Al Haqiqah Al Aliyah, hal. 17).
Sumber Penolakan terhadap Ilmu Hakikat
Syeikh Abdullah bin Shiddiq Al Ghumari pun menyimpulkan bahwasannya sumber adanya penolakan terhadap ilmu hakikat ada dua. Pertama, yakni susunan pemaknaan dari ilmu itu menggunakan ungkapan-ungkapan pelik dan tidak biasa. Kedua, adanya orang-orang jahil yang memasuki wilayah ilmu itu yang menyerupakan diri sebagai ahlinya. Inilah yang disebut oleh Imam Izuddin bin Abdissalam sebagai begal, yang membegal orang-orang yang sedang meniti perjalan menuju Allah Ta`ala. (lihat, Al I`lam bi Anna At Tashawuf min Syariat Al Islam, hal. 26, 27).*