TIGA tahun terakhir, kasus kekerasan pada anak mencapai angka yang mencengangkan. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat kasus kekerasan terhadap anak terus saja meningkat.
Bahkan, pada 2012—2013 Komnas PA mencatat ada 3.023 kasus pelanggaran hak anak di Indonesia dan 58% atau 1.620 anak menjadi korban kejahatan seksual.
Baru-baru ini saja, kasus yang terangkat dan banyak dijadikan perbincangan, yaitu kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan lebih dari seorang pekerja outsourcing dan tenaga pengajar asing terhadap siswa TK di salah satu sekolah internasional di Jakarta, Jakarta International School (JIS).
Tindakan keji para pedofilian tersebut tak hanya meninggalkan beban fisik namun lebih parah lagi adalah beban psikis yang tentu saja mempengaruhi seluruh aspek kehidupan para korban dan berdampak besar pada masa depan mereka.
Pangamat Psikologi Universitas Indonesia (UI), Fitriani F Syahrul menjelaskan bahwa pelecehan seksual pada anak mengakibatkan anak mengalami gangguan paranoid, trauma berkepanjangan. Sering kali yang mengalami trauma seperti itu ketika dewasa mereka bermasalah terkait hubungan dengan lawan jenis.
Bahkan mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang apatis. Selain itu seperti yang telah terjadi di negara berkembang perilaku seks anak korban kekerasan akan menyimpang dan menjurus ke pergaulan bebas sehingga penyebaran penyakit kelamin hingga HIV terus menjangkit. Apalagi jika mereka tidak mendapat penanganan yang baik dan kurang penanaman nilai religiusitas, maka sangat mungkin kelak dirinya akan mempraktikkan tindakan tersebut alias menjadi pedofil.
Tidak peduli posisi mereka di masyarakat. Terkadang para pelaku adalah orang terdekat sendiri. Kasus yang terjadi di JIS telah menampar kita. Bahwa di kawasan yang seharusnya menjadi tempat anak menimba ilmu malah menjadi sarang harimau. Apalagi diduga salah satu pelaku adalah staf pengajar berkewarganegaraan asing.
Di luar dari kelainan psikologi yang diidap para tersangka, ada dugaan bahwa WNA tersebut merupakan agen yang dikirim oleh pihak asing untuk menghancurkan negara dengan merusak mental anak bangsanya. Sungguh perilaku yang keji.
Terlepas dari fakta adanya misi terselubung dibalik rentetan kejahatan ini, perilaku kejahatan seksual tidak pernah terpisah dari maraknya pornografi dan pornoaksi. Stimulus yang diterima otak dari bentuk-bentuk pornografi dan pornoaksi tersebut telah dibuktika oleh para ahli dapat menyebabkan kerusakan pada bagian otak. Selain itu, hormone dopamine yang dihasilkan menyebabkan efek ketagihan dalam level yang lebih tinggi sehingga pada tahap akhir seseorang terangsang untuk melakukan aksi.
Menurut psikolog Elly Risman, dengan mengonsumsi produk-produk tersebut secara berangsur-angsur kita sedang dalam proses transformasi menjadi hewan.
Pemerintah seharusnya mengerti betul akan hal tersebut. Seperti yang dikataka Elly, selama ini pornografi dan pornoaksi hanya dipandang sebagai penyakit sehingga yang menjadi rujukan adalah obat. Namun sayangnya obat seperti apa yang diperlukan? Seharusnya negara memandang hal tersebut sebagai bencana, sehingga yang diperlukan adalah melakukan aksi penjagaan dan antisipasi.
Dalam pandangan Islam, tentu saja tidak ada toleransi untuk segala bentuk pornografi dan pornoaksi karena jelas telah ditetapkan batasan-batasan aurat bagi semua orang baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga kerusakan otak akibat hal tersebut dapat dihilangkan. Islam pun menjaga wanita dan anak-anak aman di dalam rumah, seperti yang disabdakan Rosululloh Shalallallahu ‘alaihi wassallam, yang artinya: ” Siapa saja yang mengarahkan pandangannya (mengintip) ke dalam rumah orang lain tanpa seizin penghuninya, berarti ia telah benar-benar menghancurkannya.” Islam pun menjaga wanita dan anak-anak di luar rumah dengan menyuruh mereka menutupi auratnya.
Saat ini sanksi bagi para pelaku kejahatan seksual pada anak tidaklah sepadan. Dengan kurungan belasan tahun tidaklah cukup untuk menebus kerusakan yang ditimbulkan untuk seumur hidup. Buktinya hingga saat ini hukuman yang dijatuhkan tidak sedikit pun memberikan efek jera bahkan jumlah kejahatan yang terjadi terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari sisi ini, maka negara beserta sistem yang digunakannya telah gagal menjalankan fungsi sebagai pelindung dan pengayom bagi rakyatnya.
Berbeda dengan Islam, dalam Islam, pelaku perkosaan akan diganjar hukuman layaknya pezina. Bila belum menikah maka akan dikenakan seratus kali cambukan (QS an-Nur [24]: 2).
Bila telah menikah maka akan dirajam hingga mati. Bagi si penerima sanksi, sanksi itu akan bisa menjadi penebus atas dosanya di akhirat. Sanksi yang tegas dan keras ini sekaligus juga efektif menimbulkan efek jera dan mencegah orang melakukan perzinaan.
Pembunuh anak akan di-qishas, yakni balas dibunuh atau membayar diyat sebanyak 100 ekor unta. Setiap anggota tubuh anak memiliki nilai diyat sama dengan orang dewasa. Bagi yang melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan dikenai 1/3 dari 100 ekor unta, selain hukuman zina.
Dengan diberlakukannya hukum syara’ tentu saja keselamatan anak akan terjaga. Baik mereka adalah anak-anak kaum muslim maupun bukan. Namun, penegakkan hukum syara’ perlu dukungan semua pihak, termasuk negara.
Karena itu, tak ada pilihan lain untuk melidungi umat selain adanya penegakan syariah dan khilafah dalam undang-undang. Wallahu’alam bissawab.*
Hanny Farhana
[email protected]
Jatinangor-Sumedang