Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatulah.com | NEGARA Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara Muslim terbesar di dunia. Dulu, negeri ini 100% penduduknya bukan Muslim. Lalu, datanglah para ulama ke negeri kita. Mereka terpicu oleh khutbah perpisahan (Khutbah Wada’) Rasulullah ﷺ di Padang Arofah: ”Hendaklah kalian yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir!”
Dalam khutbah terakhirnya itu, berulang kali Rasulullah ﷺ menyampaikan kesaksian: ”Allahumma isyhad, Allahumma isyhad!” (Ya Allah, saksikanlah… Ya Allah saksikanlah!).
Allah memang sudah memberikan tugas berat kepada Rasulullah ﷺ : ”Wahai Rasul, sampaikanlah apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Sebab jika engkau tidak melaksanakan (demikian), tidaklah (dapat dikatakan bahwa) engkau telah melaksanakan perintah-Nya.” (QS al-Maidah: 67).
Maka, setelah itu, para sahabat Nabi menyebar ke berbagai penjuru dunia. Mereka melaksanakan amanah risalah, menyebarkan Islam ke segenap bangsa. Rasullah ﷺ memang diutus untuk seluruh umat manusia (QS Saba’: 28).
Hampir bisa dipastikan bahwa Islam sudah masuk ke Nusantara ini sejak masa sahabat Nabi. Sebab, ada sahabat Nabi yang sampai ke China. Islamisasi Nusantara adalah salah satu prestasi dakwah yang mencengangkan. Negeri seluas ini, seberagam ini, bisa disatukan dengan satu agama, dan satu bahasa, tanpa dukungan tentara. Penduduk negeri ini dengan sukarela memeluk Islam.
Beratus-ratus tahun, para pendakwah Islam berjuang dengan keikhlasan, kesabaran, dan kesungguhan yang luar biasa, sehingga mayoritas rakyat Nusantara memeluk Islam. Bahkan, upaya penjajah selama ratusan tahun untuk mengubah agama mayoritas penduduk negeri ini, tidak mencapai hasil yang mereka harapkan.
Selama itu pula para ulama dengan gigih menjaga umat dan masyarakat. Penjajah kemudian berhasil melakukan proses sekulerisasi melalui pendidikan. Para ulama dan cendekiawan Muslim harus berhadapan dengan sesama Muslim saat harus merumuskan konsep negara merdeka dan mengisi kemerdekaan. Toh para ulama tetap bersabar dan terus berdakwah.
Di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) para ulama dan cendekiawan Muslim berjuang dengan cara-cara yang penuh hikmah. Saat gagasan menjadikan Islam sebagai dasar negara ditolak oleh sebagian tokoh, maka para ulama pun menyetujui kompromi yang diajukan oleh Bung Karno, yakni Piagam Jakarta.
Setelah Piagam Jakarta digugat, dalam sidang BPUPK tanggal 13 Juli 1945, KH Wahid Hasyim mengingatkan, bahwa orang Muslim pun sebenarnya ingin lebih dari Piagam Jakarta. Beliau mengusulkan, agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama Negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Kata Kyai Wahid Hasyim: “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.”
Usul KH Wahid Hasyim disokong oleh Soekiman. Tapi, Haji Agus Salim mengingatkan, bahwa usul itu berarti mementahkan kembali kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Usulan Wahid Hasyim akhirnya ditolak. Tapi, pada sidang tanggal 14 Juli 1945, Ki Bagus Hadikoesoemo, tokoh Muhammadiyah kembali mengangkat usul Kyai Sanusi yang meminta agar frase “bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta dihapuskan saja. Jadi, bunyinya menjadi: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.”
Menanggapi permintaan Kyai Sanusi dan Ki Bagus Hadikoesoemo, Soekarno kembali mengingatkan akan adanya kesepakatan yang telah dicapai dalam Panitia Sembilan. Soekarno, lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI:
“Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis yang berdasar memberi dan mengambil… Pendek kata, inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin “Djakarta Charter”, yang disertai perkataan Tuan anggota Soekiman, gentlemen agreement, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.” (Tentang perdebatan dalam BPUPK, lihat RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004).
Setelah bersusah payah mencapai konsensus Piagam Jakarta, terjadilah peristiwa tanggal 18 Agustus 1945. Berbagai kesepakatan diubah dengan ultimatum, bahwa Indonesia Timur tidak mau bergabung dengan Indonesia merdeka, jika TUJUH KATA tidak dicoret.
Demi keutuhan NKRI, para ulama menerima kesepakatan baru. Itu membuktikan kebesaran jiwa para ulama dan tokoh Islam dalam menyikapi persatuan dan kesatuan bangsa. Meskipun kecewa dengan peristiwa 18 Agustus 1945, ulama-ulama Islam tetap bertaruh jiwa-raga dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjaga keutuhan NKRI.
Setelah kemerdekaan diraih, para ulama tetap mengawal NKRI. Itu ditunjukkan oleh kepahlawanan KH Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya yang menegaskan bahwa: “Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.”
Kita paham apa yang terjadi sesudah itu. Puluhan juta umat Islam Indonesia menyatakan siap berjihad fi-sabilillah, mendukung fatwa jihad KH Hasyim Asy’ari. Ribuan ulama dan santri turun berjihad ke Surabaya menyambut tantangan tentara Sekutu, Sang Pemenang Perang Dunia II. NKRI pun selamat.
Saat Agresi Militer Belanda II tahun 1948, eksistensi NKRI hampir musnah. Ketika itu, tampillah Pahlawan Islam, Panglima Besar Soedirman memimpin penyelamatan NKRI. Tahun 1950, tokoh Islam Mohammad Natsir, berjasa besar mengembalikan bentuk NKRI, melalui Mosi Integral-nya.
Hingga kini, para ulama dan tokoh Islam senantiasa berusaha menyampaikan dakwah dengan bijak dengan terus mengedepankan upaya menjaga keutuhan NKRI. Semoga para pemimpin dan umat Islam senantiasa dibimbing oleh hikmah Ilahi dalam menjalankan amanah para ulama dan para auliya: “Mewujudkan negeri yang adil dan makmur dalam naungan Ridho Allah SWT.” Amin. (Depok, 14 Juni 2020).*
Penulis pengasuh PP Attaqwa – College, Depok. Langganan artikel di www.adianhusaini.id
Baca tulisan lain Adian Husaini