Hidayatullah.com– Dalam sebuah pidato kenegaraan yang sarat makna dan penuh simbol sejarah, Presiden Suriah Ahmed al Sharaa secara resmi menyatakan dimulainya era baru bagi Suriah dan Bumi Syam, yang ditandai dengan rekonstruksi identitas nasional, rekonsiliasi sosial, dan kebangkitan ekonomi pasca konflik.
Pidato yang disampaikan dari pusat ibu kota Damaskus itu menarik perhatian luas publik, media, dan komunitas internasional. Dalam suasana yang penuh haru dan harapan, Presiden Sharaa membuka pidatonya dengan menyusuri akar sejarah Syam, menggambarkannya sebagai tanah yang menjadi awal dan akhir kisah umat manusia.
“Syam bukan hanya tempat dalam peta, tetapi tempat sejarah lahir dan umat manusia belajar hidup bersama,” ujarnya dalam pidatonya hari Jumat (4/7/2025) dikutip saluran resmi TV pemerintah Suriah.
Ia menekankan bahwa Damaskus dan seluruh wilayah Syam adalah saksi pertama peradaban, tempat manusia membangun aturan sosial, menciptakan kebersamaan, dan menyemai nilai-nilai kehidupan.
Presiden Sharaa tidak menutup-nutupi luka masa lalu. Ia menyebut masa pemerintahan sebelumnya sebagai bab paling gelap dalam sejarah Suriah modern, dengan penderitaan rakyat yang mendalam akibat perang, pengungsian, dan penindasan. Namun, menurutnya, era penderitaan itu telah berakhir.
“Zaman kalian telah tiba. Darah kalian tidak sia-sia. Pengasingan kalian telah berakhir. Penindasan telah roboh. Dan bersama kesulitan, datanglah kemudahan,” tegasnya.
Sharaa menyampaikan bahwa penderitaan rakyat Suriah telah menggugah dunia. Ia menyampaikan terima kasih kepada rakyat yang bertahan dan memperjuangkan masa depan Suriah dengan harga diri dan pengorbanan.
Identitas Baru: Bersatu, Berdaulat, dan Beragam
Pidato ini juga menjadi momentum penting karena Presiden Sharaa mendeklarasikan identitas baru bangsa Suriah, yang diibaratkannya seperti seekor burung pemangsa—kuat, cepat, tajam, melindungi anak-anaknya, dan bebas terbang di angkasa.
“Identitas ini menyatu dari utara ke selatan, dari timur ke barat. Tidak terpecah. Keberagaman etnis dan budaya adalah kekayaan, bukan sumber pertikaian,” kata Sharaa.