KETIKA seorang muslim berpuasa sunnah, baik Senin-Kamis atau puasa ayyamul bidh (adalah berpuasa pada 13, 14, 15 hijriyah setiap bulannya), ia akan merasakan berpuasa sendirian.
Dibandingkan dengan puasa di bulan Ramadhan, puasa sunnah seperti ini perasaannya jauh lebih berat, karena dilaksanakan sendirian.
Berbeda tatkala dengan hadirnya bulan Ramadhan. Semua orang berpuasa, tak peduli orangtua, wanita hingga anak-anak kecil. Karenanya ada perasaan bersama, bahwa yang lapar bukan hanya kita sendirian.
Bukan Cuek-bebek
Ibadah puasa akan melahirkan manusia-manusia yang benar-benar mempunyai al-hasaasiyyah al-ijtimaa’iyyah (mempunyai kepekaan sosial yang tinggi).
Ini yang harus seorang muslim perhatikan, apalagi saat ini, ketika sebagian besar bangsa Indonesia, sudah kehilangan kepekaan sosial.
Sekedar contoh, jika ada tindak kejahatan di tempat keramaian, sangat langka ditemukan orang yang peduli dengan membantu melawan penjahat. Kalau ada wanita yang sangat cantik lewat dan hampir semua mata melihat, apakah ada orang yang memprotes hal itu?
Padahal, bukankah wanita itu isterinya orang yang haram untuk dipelototi? Ini menunjukkan rendahnya sensitifitas keimanan (hasasiyah imaniyah). Yang ada adalah kerawanan dalam kehidupan sosial, karena kemaksiatan sudah melembaga dan orang diam saja ketika melihatnya.
Padahal di masa Rasulullah Shallallaahu ‘alayhi wa sallam, orang tidak akan tinggal diam ketika melihat suatu kemunkaran.
Bahkan ketika jauh setelah kehidupan Rasulullah, baik di zaman tabi’in maupun tabi’it tabi’in, tetapi mereka masih komitmen dengan ajaran Allah, maka sensitifitas sosial itu sangat tinggi.
Di zaman dahulu jika ada umat Islam tidak shalat jama’ah di masjid, maka setelah selesai shalat jama’ah masjid langsung mendatangi orang yang tidak shalat berjama’ah tadi untuk menziarahinya (berta’ziyah), seolah-olah orang yang tidak shalat jama’ah itu adalah orang yang mati (meninggal).
Bagaimana jika ada hal seperti itu pada kita? Tiba-tiba ada serombongan jama’ah masjid tiba-tiba datang ke rumah berta’ziyah, seolah-olah kita sudah meninggal? Mungkin tersinggung atau boleh jadi kita akan termotivasi untuk selalu shalat jama’ah di masjid.
Ironisnya di negara ini ketika ada orang diganggu, dicopet, atau digoda, yang lainnya diam saja. Bahkan boleh jadi yang ada di hati mereka ada bisikan, “yang penting saya selamat’. Orang seperti ini adalah orang yang hatinya telah mati dalam kehidupannya.
Rasa tidak peduli dan tidak peka seperti ini layaknya masa ketika kiamat tiba. Di mana setiap orang seolah sibuk dengan urusannya masing-masing. Suami lari dari istri dan anaknya, anak lari dari orangtuanya.
Allah berfirman:
فَإِذَا جَاءتِ الصَّاخَّةُ
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ
وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَ
“Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkalala yang kedua). Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS: ‘Abasa: 33-37).
Jadi kehidupan masing-masing itu kala itu begitu menyibukkan agar setiap orang selamat. Karenanya, kebajikan tidak jalan, keadilanpun tidak tegak.
Nah, puasa hadir di tengah-tengah kita untuk memperlihatkan bagaimana Islam itu benar-benar mempunyai kepedulian terhadap kehiduapan bermasyarakat, bukan cuek-bebek.
Pada masa Rasulullah Shallallaahu ‘alayhi wa sallam, ada juga kemaksiatan. Ada juga shahabat yang berbuat maksiat, karena mereka bukan malaikat. Sekalipun sebaik-baik generasi adalah genarasi Rasulullah Shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Akan tetapi kriminalitas itu masih sangat kecil sekali, bahkan jarang ditemui. Itu pun bersifat pribadi dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.*/Iltizam Amrulillah