Hidayatullah.com | SECARA umum rata-rata kita memahami puasa sebagai ibadah yang dikerjakan dengan cara menahan diri dari makan dan minum. Meskipun jika dirincikan lagi kita akan menemukan hakikat puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dimulai dari terbitnya matahari hingga tenggelamnya matahari, dengan niat tertentu.
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa, ulama sudah menjelaskan ada sebelas hal yaitu; memasukkan segala sesuatu ke dalam rongga tubuh melalui hidung, mulut, telinga, kemaluan atau dubur. Muntah dengan sengaja, menggauli lawan jenis, mengeluarkan mani, gila, pingsan, mabuk, murtad. Munculnya haidh, nifas dan wiladah.
Nah, definisi dan batasan-batasan yang disebutkan di atas adalah puasa level umum dan menurut Imam al-Ghozali ada level puasa yang lebih tinggi lagi yaitu puasanya orang-orang khusus. Shoum al-khusus, bahasa beliau.
Puasa ini, menurut Imam Al-Ghozali, selain menuntut kita mengerjakan persyaratan dan ketentuan-ketentuan puasa level umum, ia juga mensyaratkan enam hal.
Pertama, puasa mata dari melihat hal-hal yang diharamkan. Termasuk melihat hal-hal yang melalaikan kita mengingat Allah ta’ala. Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Pandangan adalah panah beracun dari panah-panah iblis, barang siapa yang meninggalkannya karena takut pada Allah maka Allah akan berikan ia keimanan yang ia rasakan manisnya di hatinya.” (HR. Al-Hakim)
Kedua, puasa lisan dari berkata-kata yang diharamkan seperti: ghibah, adu domba, berbohong, kata-kata yang tidak berfaedah, dst. Diriwayatkan dari Mujahid bahwa beliau berkata, “Dua hal yang merusak puasa: ghibah dan bohong.”
Ketiga, puasa telinga dari mendengar segala yang diharamkan. Segala yang diharamkan untuk diucapkan itulah juga yang diharamkan untuk didengar. Dirowayatkan bahwa Rasulullah ﷺ melarang ghibah dan juga melarang mendengarkannya.
Keempat, puasa anggota tubuh lainnya, seperti tangan, kaki dari melakukan hal yang diharamkan. Puasa perut dari memakan makanan yang tidak jelas halal-haramnya, apalagi yang jelas-jelas haram. Rasulullah ﷺ bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan haus.” Dikatakan: mereka adalah orang-orang yang tidak menjaga tubuhnya dari perbuatan dosa.”
Kelima, menyedikitkan makan ketika berbuka. Karena maksud dari puasa adalah melemahkan kekuatan atau syahwat yang merupakan media syaitan untuk menjerumuskan manusia ke dalam dosa. Juga agar ringan untuk melaksanakan tahajjud atau pun membaca wirid. Namun jika jatah makan kita sama, atau bahkan, lebih banyak dari pada hari tidak berpuasa lantas apa bedanya?
Keenam, hatinya merasakan perasaan yang bercampur-aduk antara cemas dan harap, khouf dan roja’, setiap kali berbuka. Perasaan cemas karena sebuah pertanyaan, “Apakah puasaku diterima sehingga aku termasuk hamba-hamba pilihan-Nya? Ataukah puasaku tertolak sehingga aku termasuk hamba merugi yang mendapat murka-Nya?”. Lalu muncul lah pengharapan agar Allah ta’ala berkenan menerima segala ibadahnya.
Dikisahkan suatu ketika Hasan al-Bashri melewati sekelompok orang yang sedang tertawa-tawa. Lantas beliau berkata, “Sesungguhnya Allah azza wajalla menjadikan bulan Ramadhan sebagai ladang kenikmatan yang tertimbun untuk segenap makhluk-Nya. Mereka berlomba-lomba malakukan ketaatan di dalamnya, sebagian berada melesat di depan dan menang, sebagian lain tertinggal dan kalah. Maka sungguh aneh orang-orang yang sempat tertawa dan bermain-main di hari dimana orang yang melesat di depan menang dan orang yang tertinggal di belakang kalah nan merugi.”
Imam Ghozali melanjutkan, “Sungguh demi Allah, kalaulah tirai rahasia Allah dibukakan, tentulah orang yang mengerjakan kebaikan akan sibuk dengan kebaikannya dan orang yang mengerjakan keburukan akan sibuk dengan keburukannya. Adapun orang yang mengerjakan kebaikan ia akan berbahagia setengah mati menyaksikan amal baiknya diterima Allah sehingga tak terfikir untuk bermain-main, sedangkan orang yang mengerjakan keburukan ia akan bersedih hingga tak sempat lagi untuk tertawa!”
Inilah enam syarat puasa orang-orang khusus menurut Imam Al-Ghozali. Kita patut berbahagia jika keenam hal tadi dapat kita laksanakan, karena itu artinya level penghambaan kita kepada Allah ta’ala semakin meningkat dari level ‘ala kadarnya’ menjadi level ‘memberi lebih dari yang diminta’. Mari gunakan kesempatan bulan Ramadhan kali ini untuk meningkatkan level ibadah-ibadah kita yang selama ini mungkin tidak patut dipersembahkan kepada-Nya. */Auliya El Haq