Hidayatullah.com | SAHABAT yang menjadi tajuk pembahasan ini bernama asli Abdurrahman bin Shakhrin Ra. Dalam kitab “Subul as-Salām” (I/19) karya Imam Shan’ani, disebutan bahwa figur agung ini merupakan yang terbanyak dalam meriwayatkan hadits (sekitar 5374).
Beliau disebut Abu Hurairah (Bapak Kucing) karena sayang dan suka mengasihi kucing. Beliau meninggal di Madinah pada tahun 59 hijriah pada usia 78 tahun dan dimakamkan di Baqi’.
Mengapa judul “Ramadhan Bersama Abu Hurairah” perlu diangkat? Karena dua alasan berikut. Pertama, karena beliau merupakan sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, maka banyak sekali nilai-nilai Ramadhan yang bisa kita dapatkan dari beliau. Kedua, teladan-teladan konkret dan praktis seputar Ramadhan juga bisa didapatkan secara langsung dari hayat beliau.
Di antara contoh nilai-nilai Ramadhan dalam Hadits Abu Hurairah Ra. adalah sebagai berikut: Pertama, bagi siapa saja yang menjalankan ibadah dengan sungguh-sungguh dan ikhlas karena Allah SWT. maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu. Sabda Nabi ﷺ:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadlan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari, Muslim) Nilai yang didapat dalam hadits riwayat Abu Hurairah Ra. ini adalah bahwa Ramadhan harus didasari dengan keimanan dan harapan kepada Allah SWT.
Masih menurut riwayat Abu Hurairah, dalam berpuasa pun harus didasari keimanan dan harapan kepada Allah, “Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Kedua, pada momentum bulan suci, sebagaimana riwayat Abu Hurairah Ra., terdapat banyak kemuliaan di antaranya hadits berikut:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ
“Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu Surga dibuka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ini menunjukkan bahwa Ramadhan sebaga momentum untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya karena, pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka. Dalam keterangan lain, pintu Neraka ditutup dan setan dibelenggu. Sehingga, peluang untuk berbuat baik bisa lebih mudah dan bisa dilakukan secara kolektif.
Ketiga, dari Abu Hurairah Ra. juga kita mendapat informasi bahwa selain puasa, tarawih dan membaca al-Qur`an, di antara amalan unggulan Nabi saat Ramadhan adalah iktikaf pada sepuluh hari terakhir dan pada saat Ramadhan terakhir, intensitas dan kuantitasnya semakin ditingkatkan:
يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشَرَةَ أَيَّامٍ، فَلَمَّا كَانَ العَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi ﷺ selalu beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari).
Abu Hurairah pun juga meneladani beliau setiap kali Ramadhan. Itulah beberapa contoh riwayat dari Abu Hurairah mengenai nilai-nilai penting yang bisa diamalkan dalam bulan Ramadhan. Masih banyak sekali sebenarnya nilai-nilai Ramadhan riwayat beliau yang tak bisa disebutkan semuanya dalam tulisan singkat ini.
Selanjutnya, pembaca akan penulis ajak secara konkret bagaimana beliau menjalankan puasa di bulan Ramadhan.
Dari beberapa data dan referensi yang penulis dapat, bisa ditulis pada poin berikut:
Pertama, dalam berpuasa beliau berusaha menghindarkan diri dari perkataan dusta dan perbuatan sia-sia. Alternatif terbaiknya adalah dengan duduk di masjid .
Terkait hal ini, Abu Nu’aim menceritakan bahwa Abu Hurairah Ra. bersama para sahabatnya ketika berpuasa, beliau duduk di masjid. Mengenai alasannya, mereka berkata, “Kami mensucikan puasa kami, mereka menjaga puasa mereka dari perkataan sia-sia dan dusta, dan dari segala yang membuat rusak dan mengurangi pahala.” (Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya, 384).
Apa yang diriwayatkan tentang Abu Hurairah ini, selaras dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah dalam Shahih-nya:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan keji dan berbuat keji, Allah tidak butuh orang itu meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari).
Hadits ini menanamkan nilai penting bahwa puasa itu bukan saja sebatas tidak makan, minum dan berhubungan initim suami istri, tapi juga mampu mengendalikan dili dari perkataan dan amalan dusta. Sebab, kalau tidak demikian, maka Allah tidak peduli dengan puasa kita.
Hal lain yang bisa ditemukan kisahnya terkait Abu Hurairah Ra adalah masalah sahur dan buka secukupnya atau tidak berlebih-lebihan. Abu Hurairarh berkata, “Aku memiliki sepuluh kurma. Aku berbuka dan sahur dengan lima kurma, kemudian lima lagi aku sisakan untuk berbuka berikutnya.” (baca : Hilyah al-Auliya karya Abu Nu’aim).
Baca: Amalan Bulan Ramadhan
Ini menunjukkan bahwa Abu Hurairah Ra. tak berlebihan dalam sahur dan buka. Oleh karena itu, dalam berpuasa seharusnya melahirkan budaya hemat bukan boros dan menghambur-hamburkan uang untuk membeli makanan dan minuman.
Alasan lain kenapa Abu Hurairah Ra. menjaga diri sedemikian rupa agar tidak makan banyak karena beliau khawatir berada dalam kondisi kenyang karena ini akan berakibat negatif. Kata beliau:
وَيْلٌ لِي مِنْ بَطْنِي، إِذَا أَشْبَعْتُهُ كَظَّنِي، وَإِنَّ أَجَعْتُهُ سَبَّنِي
“Celakalah aku karena perutku, jika aku mengenyangkannya, ia membuatku lemah tak berdaya, dan jika aku melaparkannya, dia mencelaku.’’
Dalam momen Ramdhan dan bulan-bulan lainnya, Abu Hurairah Ra beserta istri dan pembantunya memiliki kebiasaan unik. Beliau membagi waktu malamnya menjadi tiga. Sepertiga pertama ada yang shalat malam, sepertiga kedua ada yang shalat, demikian juga sepertiga malam selanjutnya ini dilakukan secara bergantian (Ibnu Jauzi, Shifatu al-Shafwah). Sehingga, seluruh malam itu penuh dengan ibadah.
Dari Abu Hurairah Ra., ada banyak pelajaran yang bisa diambil terkait Ramadhan, di antaranya: pentingnya mendasari tiap amal Ramadhan dengan iman dan keikhlasan, menghindarkan diri dari perkataan dusta dan berbagai hal yang merusak puasa, tidak membiarkan waktu malamnya dibiarkan begitu saja tanpa ibadah, mengonsumsi makanan dan minuman secara wajar sehingga tidak menjadi hamba perut dan tak merintangi ibadah dan jangan lupa mengakhiri Ramadhan dengan amal iktikaf. Wallāhu a’lamb bish shawāb. */Mahmud Budi Setiawan, LC