Hidayatullah.com | BEBERAPA hari lagi Ramadhan 1442 H akan segera tiba. Sudahkah kita siap untuk menyambutnya? Jika 10 hal berikut sebagian besarnya atau bahkan semuanya sudah dimiliki, maka itu sebagai tanda bahwa kita sudah siap menyongsong kedatangan Ramadhan; utamanya di era digital dan masa pandemi yang belum juga usai.
Pada tulisan ini, akan difokuskan pada 5 persiapan rūhiyah (spiritual) dan 5 persiapan fisik.
Persiapan Rūhiyah
Sebelum persiapan fisik, hal utama yang perlu dipersiapkan untuk menyambut bulan Ramadhan adalah persiapan rūhiyah (spiritual). Kalau kita kaitkan dengan ibadah puasa misalnya, sebelum berbicara masalah syariat ibadahnya, yang tidak kalah penting adalah sisi spiritualnya.
Kita tidak mungkin bisa menjalankan ibadah puasa sesuai hakikatnya, jika sisi spiritual dalam kondisi lemah tak berdaya. Dengan bahasa lain, sebelum persiapan fisik, maka agar sisi spiritual penuh stamina dan dalam kondisi prima, maka perlu tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).
Setidaknya, ada beberapa poin yang bisa dijadikan bekal untuk mencemerlangkang sisi spiritual ini sehingga kita bisa siap secara spiritual dalam menyambut Ramadhan.
Baca: Hal-hal yang Membatalkan Puasa, yang Perlu Anda Ketahui
Pertama, taubat kepada Allah . Dari Ramadhan tahun lalu hingga Ramadhan sekarang, tentunya kita tidak pernah lepas dari salah dan dosa. Maka, untuk menyiapkan persiapan spiritual yang prima, kita perlu bertaubat kepada Allah . Dalam hadits Nabi ﷺ dijelaskan: “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam dan apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan dan apabila ia kembali maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutup hatinya.” (HR. Tirmidzi).
Kaitannya dengan hadits ini, Ramadhan adalah bulan suci dan berisi banyak keistimewaan dan kemuliaan, maka untuk menyambutnya adalah dengan mempersiapkan kesucian atau kebersihan hati dari kesalahan dan dosa. Salah satu caranya adalah dengan mengakui kesalahan, memohon ampun dan bertaubat kepada Allah . Bagaimana mungkin kita akan bisa menyambut Ramadhan, jika hati kita kotor dan penuh dengan dosa? Bagaimana mungkin kita akan menghadapi bulan puasa yang mulia dengan hati yang kotor bahkan mati?
Kedua, melatih kesadaran diri untuk merasa diawasi oleh Allah . Bahasa agamanya adalah murāqabatullāh. Puasa adalah ibadah yang sangat privat. Hanya hamba dan Allah yang tahu betul kesungguhannya. Di dalam nilai inti puasa juga mengandung kesadaran ini. Orang yang benar-benar berpuasa, dirinya akan tetap menjalankannya baik ketika sendiri atau di hadapan manusia. Dan ini erat kaitannya dengan kesadaran bahwa kita selalu diawasi oleh Allah . Tanpa, hal ini bisa jadi puasa di bulan Ramadhan akan tercemar nilainya.
Ketiga, instrospeksi atau evaluasi diri. Di dalam Islam, istilahnya adalah al-muhāsabah. Dalam Surah Al-Hasyr ayat 18, orang beriman diperintah untuk mengevaluasi diri dengan memperhatikan apa saja yang dilakukan di masa lalu untuk masa akan datang yang lebih baik. Di samping itu, yang tak kalah penting, meminjam bahasa Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu, “Evaluasilah dirimu, sebelum kamu dievaluasi (di akhirat).” Dengan melakukan evaluasi diri, maka kita akan mudah memperbaiki kekurangan-kekurangan pada Ramadhan tahun lalu.
Keempat, menanamkan kesungguhan. Dalam sejarah para salafus shālih, didapati bahwa mereka sangat serius dan sungguh-sungguh dalam menghadapi Ramadhan. Dalam kitab “Lathāifu al-Ma’ārif” karya Ibnu Rajab Al-Hanbali, disebutkan bahwa sejak enam bulan sebelum puasa mereka sudah meminta kepada Allah untuk disampaikan pada bulan Ramadhan. Saat Ramadhan usai, mereka juga sangat serius meminta agar amal mereka diterima. Jadi, kalau kita memasuki Ramadhan dengan kesungguhan spiritual seperti itu, niscaya akan siap menyambut bulan suci Ramadhan.
Kelima, menghayati hakikat puasa atau ilmu tentang subtansi puasa. Kalau meminjam istilah imam Ghazali adalah bukan puasa pada level awam, yang ditunaikan sebatas tidak makan, minum dan berhubungan intim dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Orang demikian tentu tidak akan sampai pada hakikat puasa. Padahal, ibadah puasa di bulan suci ini tujuannya adalah agar orang-orang bisa sampai pada level takwa yang berkesinambungan, dengan pemahaman puasa yang hanya pada tataran kulit, maka mana bisa sampai ke level takwa?
Untuk makin memperkuat pentingnya menghayati hakikat puasa, kata-kata Jabir Radhiyallahu ‘anhu berikut bisa direnungi:
إذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُك وَبَصَرُك وَلِسَانُك عَنِ الْكَذِبِ وَالْمَآثِمِ، وَدَعْ أَذَى الْخَادِمِ، ولْيَكُنْ عَلَيْك وَقَارٌ وَسَكِينَةٌ يَوْمَ صِيَامِكَ، وَلاَ تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَيَوْمَ صِيَامِكَ سَوَاءً.
“Jika kamu berpuasa, maka puasakan juga pendengaran, pengelihatan dan lisanmu dari dusta dan berbagai hal haram. Jangan menyakiti tetangga, serta kondisikan diri untuk berwibawa dan tenang pada saat puasa, dan jangan sampai kondisi puasa hari raya sama saja.” Sebagaimana ungkapan Jabir Radhiyallahu ‘anhu, jika puasa adalah mengendalikan diri, maka pengendalian diri itu hakikatnya bukan sekadar tak makan dan minum, tapi juga segenap jiwa dan raga juga perlu dikendalikan.
Persiapan Fisik
Adapun persiapan-persiapan fisik, kalau dilihat dari hayat para orang saleh terdahulu –sebagaimana keterangan Ibnu Rajab al-Hanbali– maka bisa dirangkum dalam poin-poin berikut:
Pertama, berdoa kepada Allah dengan setulus hati agar disampaikan di bulan Ramadhan. Kedua, membayar tanggungan puasa yang belum dikerjakan di masa lalu karena alasan yang dibenarkan syariat. Ketiga, memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Keempat, meningkatkan intensitas membaca al-Qur`an di bulan Sya’ban yang disebut syahru al-Qurrā. Kelima, mengeluarkan zakat mal atau meningkatkan kepedulian kepada orang yang butuh bantuan.
Bila dirangkum, ada 10 persiapan untuk menyambut Ramadhan: taubat, meningkatkan perasaan merasa diawasi Allah, instrospeksi diri, sungguh-sungguh, mengetahui hakikat puasa, memperbanyak doa, membayar tanggungan tahun lalu, memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, banyak membaca al-Qur`an serta mengeluarkan kewajiban harta sebagai bentuk kepedulian kepada orang yang membutuhkan. Wallahu A’lam bish Shawaab. */Mahmud Budi Setiawan