Syarat dan rukun puasa menjadikan seseorang berdampak diterima tidaknya amalan ibadah puasa Ramadhan seseorang. Apa saja syarat rukun puasa yang perlu diketahui?
Hidayatullah.com | AGAR amalan ibadah puasa Ramadhan kita diterima Allah, setiap muslim harus tahu syarat rukun puasa Ramadhan. Apakah yang disebut dengan syarat dan rukun puasa Ramadhan?
Syarat adalah sesuatu yang harus dipenuhi sebelum menjalankan ibadah dan keberadaannya harus kontinyu (terus menerus) sampai selesainya ibadah tersebut. Dalam pembahasan syarat puasa, para ulama kita membaginya dalam beberapa rincian, yakni: syarat wajib puasa, syarat wajib penunaian puasa dan syarat sahnya puasa. Berikut penjelasannya:
Syarat wajib puasa
Syarat wajibnya puasa Ramdhan yaitu: (1) Islam, (2) berakal, (3) sudah baligh dan (4) mengetahui akan wajibnya puasa.
Syarat wajibnya penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa Ramadhan. Syarat yang dimaksud adalan sebagai berikut:
- Sehat, tidak dalam keadaan sakit
- Menetap, tidak dalam keadaan bersafar
Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah artinya:
وَمَنۡ کَانَ مَرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَؕ يُرِيۡدُ اللّٰهُ بِکُمُ الۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيۡدُ بِکُمُ الۡعُسۡرَ وَلِتُکۡمِلُوا الۡعِدَّةَ وَلِتُکَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰٮكُمۡ وَلَعَلَّکُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS: Al Baqarah 185).
Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qadha’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar.
Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qadha’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
- Suci dari haid dan nifas
Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah
عن معاذة بنت عبد الله العدوية قالت: سألت عائشة فقلت: ما بال الخائض تقضي الصوم، ولا تقضي الصلاة. فقالت: أحرورية أنت؟ قلت: لست بحرورية، ولكني أسأل. قالت: كان يصيبنا ذلك، فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة (رواه البخارى و مسلم)
Artinya, “dari Muadzah binti Abdullah al-‘Adawiyyah, dia berkata: saya bertanya kepada ‘Aisyah, seraya berkata: “kenapa perempuan yang sedang haidh meng-qadha’ puasa dan tidak meng-qadha’ shalat?”. Maka ‘Aisyah menjawab: “apakah kamu dari golongan Haruriyah?”. Saya menjawab: “saya bukan Haruriyah, tetapi saya hanya bertanya”. ‘Aisyah menjawab: “Kami dahulu juga mengalami haidh, maka kami diperintahkan untuk meng-qadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ shalat”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqadha’ puasanya. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 2/ 9916-9917).
Syarat Sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa Ramadhan ada dua, yaitu:
(1). Dalam keadaan suci dari haid dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
(2) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi ﷺ
إنما الأعمال بالينيات .
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” (HR: Bukhari dan Muslim)
Apa pula yang dimaksud dengan “rukun”?
Rukun adalah sesuatu yang harus ada di dalam ibadah karena ia bagian darinya dan tidak harus kontinyu menjalani sesuatu tersebut sampai selesainya suatu ibadah.
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah; Pertama, menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (fajar shadiq) hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah
وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS: AlBaqarah 187)”
Kedua, niat puasa
Niat merupakan hal yang sangat mendasar dalam setiap ibadah, termasuk dalam puasa. Seluruh ulama sepakat, tanpa niat puasa Ramadhan, puasa Ramadhan menjadi tidak sah.
Terdapat banyak riwayat hadis yang menjelaskan bahwa niat menjadi syarat sah atau kewajiban niat puasa Ramadhan. Di antaranya hadis riwayat Imam Abu Dawud, Imam Al-Tirmidzi, Al-Nasai dan Ibnu Majah dari Sayidah Hafshah, dia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda;
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa tidak berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya.”
Para ulama tidak ada perbedaan tentang niat. Yang berbeda adalah apakah niat itu dibunyikan atau cukup di dalam hati.
Sebagian berpendapat lebih afdhal jila niat dibunyikan. Dlam Fathul Qarīb Syarah Ghāyah wa Taqrīb Imam Ibnu Qasim menerangkan tentang niat puasa Ramadhan secara lengkap.
نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā
“Saya berniat puasa besok, yang mana ia (merupakan bagian) dari kewajiban Ramadhan pada tahun ini karena Allah ta’ala.” (Fathul Qarīb: 194).
Sebagian besar ulama dari madzhab empat sepakat bahwasannya melafalkan niat puasa bukan merupakan syarat sah atau bukan hal wajib. Adapun Madzhab Hanafi dan Madzab Syafi`i serta pendapat madzhab dalam Hambali menyatakan mustahab dan sunnah.
Sedangkan Madzhab Maliki menyatakan makruh (tidak haram). Adapun sebagian ulama madzhab Hanbali seperti Ibnu Taimiyah menyatakan bahwasannya hal itu bi’dah.
Syekhul Islam, Ibnu Taimiyah termasuk kelompok yang tidak mewajibkan. Beliau mengatakan;
كُلُّ مَنْ عَلِمَ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ صَوْمَهُ فَقَدْ نَوَى صَوْمَهُ سَوَاءٌ تَلَفَّظَ بِالنِّيَّةِ أَوْ لَمْ يَتَلَفَّظْ . وَهَذَا فِعْلُ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ كُلُّهُمْ يَنْوِي الصِّيَامَ
“Setiap orang yang tahu bahwa esok hari adalah Ramadhan dan dia ingin berpuasa, maka secara otomatis dia telah berniat berpuasa. Baik dia lafalkan niatnya maupun tidak ia ucapkan. Ini adalah perbuatan kaum muslimin secara umum; setiap muslim berniat untuk berpuasa.” (dalam Majmu’ Fatawa, 6:79).
Sementara bagi sebagian ulama lain, syarat melafalkan niat, untuk membantu hati memperjelas niat. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam Fathul Mu’īn oleh Imam Imam Zainuddin Al-Malībārī.
وفرضه، أي: الصوم: النية بالقلب، ولا يشترط التلفظ بها بل يندب.
“Kewajiban puasa salah satunya adalah niat dalam hati. Tidak disyaratkan untuk diucapkan. Akan tetapi dianjurkan.” (Fathul Mu’īn: 261).*
Selain artikel syarat dan rukun puasa, artikel lain terkait Ramadhan bisa di klik di sini