Hidayatullah.com– Ramadhan tahun ini adalah kali ketiga bagi Munawar Kholil menjalankan ibadah puasa jauh dari keluarga besarnya. Mahasiswa kelas 3 Jaami’at Al-Wathoniah (Universitas Nasional) Sana’a ini sudah berada di Yaman sejak 2011. Ada kesan tersendiri berpuasa di negara kekuasaan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi ini. Apalagi pada tahun 1434 Hijriyah, Kholil, sapaannya, menikmati Ramadhan bersama keluarga kecilnya.
“Alhamdulillah di daerah kami Ma’bar, Dzamar, suasananya cukup aman dan kondusif. Ramadhan pun terasa lebih khusyuk dan nyaman. Dzamar itu dah termasuk kota dan provinsinya, Ma’bar tempat ana (saya. Red) tinggal, termasuk salah satu kabupatennya,” tutur pria 25 tahun dalam obrolan jejaring sosial dengan hidayatullah.com.
Provinsi Dzamar terletak di sebelah selatan ibukota Sana’a dengan menempuh 2 jam perjalanan pada kecepatan 130 kilometer perjam. Provinsi ini terkenal dengan sebutan “Tsallajatul Yaman” atau Kulkasnya Yaman. Suhunya mencapai -7 derajat celcius atau kurang dari itu pada saat awal tahun (Dzulqo’dah- Muharram), terangnya.
Geliat perpolitikan di provinsi ini tidak begitu signifikan. Sebab, menurut Kholil, pengaruh politik ibukota begitu dominan di wilayah ini (begitu pula wilayah lain pada umumnya). Sebagai tambahan, dahulu provinsi ini termasuk daerah paling sering terjadi gempa.
“Walhamdulillah, semenjak berdirinya markaz-markaz ilmu atau pondok-pondok pesantren dan semakin baiknya akhlak masyarakatnya, gempa itu pun semakin jarang terjadi. Inilah salah satu ayat-ayat Allah yang nampak di sini,” lanjut suami Muslihah, 24 tahun, ini.
Kholil dan Muslihah baru saja dikaruniai seorang putri, Khaulah Khalilah, 3 bulan. Sebagai keluarga muda, keduanya menikmati hari demi hari di bulan Ramadhan dengan berbagai lika-likunya. Bagi mereka, berpuasa bukanlah beban, melainkan rahmat dari Allah Subhanahu wata’ala.
“Itulah yang ana rasakan bersama keluarga di sini. Banyak kemudahan dan bantuan Allah yang terasa. Mulai dari kemudahan kami membayar uang kontrakan tiap bulan, sampai tetek-bengek urusan rumah tangga dan keperluan anak,” ujar pria yang menikah pada 12 Februari 2012 ini.
Keluarga Muda Dimanjakan “Sambosa”
Yang paling Kholil rasakan saat hendak berbuka puasa hari pertama Ramadhan. Karena belum punya uang untuk beli makanan yang lumayan, mereka pun bersantap dengan menu ala kadarnya. Jauh dibanding menu saat di kampung halaman mereka. Beruntung, tetangga-tetangga rumah di Yaman datang membawakan bukaan puasa dan makan malam.
“Syukurlah di Yaman ini tetap ada menu ta’jil (berbuka puasa) ala Yaman yang cukup memanjakan lidah Indonesia kami. Apalagi kalau bukan gorengan Yaman bernama “Sambosa”. Gorengan segitiga yang ada isinya, macam lumpia gitulah. Isinya pun bermacam-macam. Ada isi sayuran, kentang, daging sampai keju pun ada,” tutur penghobi sepakbola ini.
Alumnus SMA Ar-Rohmah, Malang, Jawa Timur tahun 2006 ini pun mengaku, tak menjumpai kendala berarti sepanjang Ramadhan. Satu-satunya kendala hanyalah fakta bahwa mereka jauh dari keluarga dan kampung halaman.
Respon keluarga kecilnya sendiri di awal-awal keberadaan mereka di Jazirah Arab awalnya berat. Terutama istrinya yang Ramadhan ini merupakan kali pertama jauh dari sanak saudara.
Namun bagi mereka, itulah perjuangan. Kholil merasa tugasnya suami sebagai menstabilkan emosional istri. Mengingatkan kembali niat awal kedatangan mereka ke Yaman sebagai penuntut ilmu.
“Walhamdulillah, akhirnya jiwa pun semakin tenang. Apalagi di sini banyak umahat lain teman seperjuangan yang selalu men-support satu sama lain,” ujarnya.
Kholil juga bercerita, mereka biasa bangun tidur pukul 03.00 dinihari waktu setempat. Mereka mengawali hari dengan shalat sunnah atau witir, itu jika tidak sempat witir setelah Shalat Tarawih malam hari sebelumnya. Sahur dilaksanakan sekitar pukul 4. Azan Shubuh biasanya dikumandangkan pukul 4.30 atau lebih.
“Ramadhan tahun ini kami jalani lebih lama karena tepat di saat musim panas, yang mana siangnya lebih lama. Waktu berbuka kami biasanya jam setengah tujuh malam. Syukurlah sebelum Ramadhan kami terbiasa men-tarbiyah diri dan keluarga dengan puasa sunnah. Walhamdulillah!” tuturnya berbagi cerita kepada media ini pada pertengahan Juli 2013.
Budaya Begadang
Bicara budaya membangunkan sahur, Kholil menilai cuma ada di Tanah Air. Di Yaman dan mungkin seluruh negeri Jazirah Arab, menurut dia, pada malam harinya kota-kota seakan tidak tidur hingga masuk waktu Shubuh.
“Jadi wajarlah jika masyarakat di sini tidak membutuhkan tenaga siskamling untuk bangun sahur. Apalagi jam 3 pagi azan pertama telah dikumandangkan,” jelasnya.
Uniknya, kata dia, sejak pagi hingga Zhuhur kota terasa mati. Kantor-kantor, toko, rumah-rumah semua tertutup rapat. Rupanya jam istirahat malam mereka bergeser di pagi harinya. Tak heran jika jam kerja pada bulan Ramadhan dimulai paling cepat pukul 10 pagi.
“Inilah budaya yang kurang baik di negeri ini. Akan tetapi itu tidak mutlak berlaku bagi semua orang. Masyaikh (para syaikh) dan ulama telah memperingatkan akan jeleknya kebiasaan tidur di waktu pagi dan begadang di malam hari pada bulan Ramadhan. Sebab kebanyakan mereka begadang bukan dalam rangka ibadah akan tetapi bersuka-suka semata,” papar pria berdarah Bugis Duri ini.
Apa tidak terganggu dengan budaya begadang masyarakat Yaman?
“Syukurlah kami dan keluarga hidup di kota kecil, jadi kehebohan malam hari tidak begitu terasa. Berbeda dengan kota-kota besar seperti Sana’a, dan lain-lain, pengaruhnya cukup berdampak,” jelasnya.
Dia teringat saat belajar di Sana’a semasa bujang, bagaimana pola hidup semacam itu terjadwal dalam hidup bersama kawan-kawannya dulu. Sulit memejamkan mata, apalagi jika jam meleknya diisi dengan senda gurau, jalan-jalan dan ngalor-ngidul tak jelas.
“Kesimpulannya, budaya begadang di Ramadhan bisa menjadi kebiasaan baik dan buruk semua tergantung tujuan kita masing-masing,” tambahnya berpesan.
Tangisan Tengah Malam
Suasana Shalat Tarawih dan Shalat Lail (Tahajud) di Negeri Saba itu tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Masyarakat Yaman juga berbondong-bondong menyemarakkan Shalat Tarawih di masjid. Mulai dari anak-anak sampai para kakek. Begitu pula sebagian kaum wanita turut hadir ke masjid.
“Shalat Tarawih biasanya dimulai tepat setelah Shalat Isya. Pada umumnya Shalat Tarawih dilaksanakan sebanyak 11 rakaat dengan diisi ceramah dari salah satu syaikh setelah 4 rakaat pertama. Kira-kira sejam atau lebih Shalat Tarawih pun kelar,” jelasnya.
Sedangkan Tahajud berjamaah, kata dia, biasanya dilaksanakan pada 10 malam terakhir Ramadhan. Pada saat itu, semua masyarakat dari berbagai usia dan kalangan berbondong-bondong rukuk, bersimpuh mohon ampunan, mengejar lailatul qadr (Malam Kemuliaan).
“Kami pun sempat takjub dengan suasana itu. Tak terbayang kagetnya melihat anak-anak muda dengan penampilan funky dan gaul menangis tersedu-sedu meramaikan suara tangis jamaah lainnya. Tangis mereka pecah mengharap ampunan Allah ta’ala. Sungguh pemandangan yang sangat asing kita jumpai di negeri kita,” ujar ini.
Di mata Kholil, para pemuda Yaman khususnya di kota-kota besar, mayoritas terpengaruh budaya barat. Tetapi mereka tidak buta ilmu agama. Mereka tidak lupa akan pahala dan ampunan Allah di bulan Ramadhan.
Selama Ramadhan ini, ada dua masjid di Ma’bar yang biasa dia tempati shalat. Pertama Masjid an-Nur di pesantren Darul Hadits Ma’bar, sekitar 200 meter dari rumah. Yang kedua Masjid Said, terletak di belakang rumahnya. Di Masjid Said lebih cepat shalatnya dibanding Masjid an-Nur.
“Tapi tetap aja keduanya menghabiskan 1 juz dalam semalam,” terangnya.
Yang paling berkesan baginya selama tiga kali berpuasa Ramadhan di negeri Ratu Balqis itu adalah perasaan senang dan ringan dalam beribadah. Waktu dia rasakan lebih cepat berlalu. Maksiat yang tampak pun lebih sedikit dibanding di Indonesia.
“Momen yang tak kalah menarik saat ada undangan buka bersama seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) yang diadakan di Wisma Indonesia, tepatnya di Rumah Bapak Dubes RI (untuk Yaman). Jumpa masakan Indonesia lagi, jumpa suasana dalam negeri,” kenang WNI asal Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ini.*