Hidayatullah.com– Saya mahasiswa di KTH Royal Institute of Technology, Stockholm, jurusan computer science. Seperti kota dan negara Eropa lainnya, menjalani puasa di ibukota Swedia ini punya tantangan sendiri soal waktu.
Tahun ini bulan Ramadhan masih jatuh pada musim panas, dimana lamanya berpuasa bisa mencapai 21 jam per hari. Imsak pukul 01.30 dan magrib baru masuk pada pukul 22.30 waktu setempat.
Tidak banyak yang dilakukan untuk mengatasi hal itu, kecuali menikmatinya saja. Seperti berjalan kaki ke masjid untuk ikut shalat Jumat, dimana semakin jauh berjalan, maka semakin banyak pahalanya.
Saya rasa, berpuasa 20-21 jam juga dapat dilihat seperti itu sisi baiknya, karena kita jadi bisa beribadah puasa lebih lama. Selain itu, Stockholm dan Swedia ketika musim panas adalah kota dan negara yang sangat indah. Jadi seringkali, sambil menikmati keindahannya, bisa lupa waktu.
Di samping itu, karena makanan terasa semakin enak ketika kita lapar, maka berpuasa puluhan jam ini juga membuat makanan semakin enak! Hehe….
Ketiadaan makanan khas Ramadhan ala Indonesia, seperti kolak, awalnya membuat saya merasa khawatir. Akan tetapi ternyata makanan lain yang ada di sini juga terasa enak. Saya rasa ini filosofi yang bisa kita ambil, tak ada rotan, akar pun jadi.
Ada juga pengalaman berinteraksi dengan teman-teman non-Muslim di Stockholm. Biasanya mereka terheran-heran melihat kita mampu melakukan puasa 21 jam selama 30 hari.
Tanpa Dukungan, Tanpa Larangan
Di Stockholm maupun Swedia secara umum, tidak ada tradisi tertentu dalam menyambut Ramadhan. Karena bagi masyarakat umum Swedia, Ramadhan biasa saja, sama halnya bulan-bulan lainnya.
Terdapat kurang lebih 5-6 masjid di beberapa bagian kota ini. Rata-rata tiap masjid dapat menampung 200 orang. Dari tempat tinggal saya, tidaklah jauh untuk ke masjid, hanya harus naik kereta melewati 4-5 stasiun.
Saya kurang tahu pasti jumlah umat Muslim di sini, tapi bisa saya katakan lumayan banyak juga. Karena toko daging halal tersedia di beberapa daerah termasuk di kawasan masjid.
Dari sekitar 250 orang pelajar Indonesia yang berada di Swedia, sekitar 50 persennya adalah Muslim, termasuk saya.
Soal pelaksanaan ibadah Ramadhan, pemerintah Swedia tidak mendukung sekaligus tidak melarang. Secara resmi, pemerintah tidak mengakui bulan Ramadhan.
Tapi hampir semua orang Swedia mengetahui tentang bulan Ramadhan. Kemudahan seperti pulang kantor lebih cepat, tidak ada. Baik di kantor maupun kampus perkuliahan.
Adapun pemerintah Indonesia dalam hal ini KBRI, biasanya mengadakan buka puasa bersama dengan masyarakat Indonesia yang ada di Stockholm.
Jalan Kaki 16 Jam
Yang paling seru adalah cerita 2 tahun lalu, ketika saya juga berada di Stockholm untuk urusan pekerjaan, bukan kuliah. Hampir sebulan penuh saya berpuasa di sini.
Karena dua minggu pertama Ramadhan saya bisa menjalankan puasa 21 jam dengan lancar, di minggu ketiga saya naikkan tantangannya. Yaitu melakukan petualangan (traveling).
Saya menelusuri jalur tersebut, yang disebut di peta sebagai jalur tersulit bagi turis. Selama 8 jam saya mendaki sendiri. Di dalam tas, saya sudah siapkan roti dan air mineral, berjaga-jaga kalau saya tidak kuat.
Alhamdulillah, atas izin dan bantuan Allah, saya kuat juga. Hingga turun dari bukit 8 jam kemudian, lalu berbuka puasa ketika maghrib. Pendakian ini memakan waktu seharian.
Tidak berhenti di situ. Pada minggu terakhir puasa, saya tingkatkan 1 level lagi tantangannya. Maklum, saya memang suka tantangan, hehe….
Kali ini saya bertualang ke Taman Nasional Fulufjället di Swedia tengah. Seperti di Bergen, saya juga berjalan kaki 8-9 jam selagi berpuasa. Demi menelusuri taman nasionalnya, termasuk melihat salah satu pohon tertua di dunia, Old Tjikko.
Kali ini, saya menghabiskan waktu dua hari berturut-turut. Alhamdulillah, tetap bisa menjalani puasa dan shalat lima waktu.
Banyak pelajaran dari petualangan saya tersebut. Di antaranya, jika menikmati dan mau berusaha, insya Allah, kita bisa melakukan apa yang awalnya kita kira sangat sukar. [Baca juga: Puasa 18 Jam di Musim Panas, Bibir Pecah-pecah sampai Berdarah]* Satu Cahaya Langit, seperti dituturkannya kepada Abidurrahman Sibghatullah, kontributor hidayatullah.com di mancanegara