PENGALAMAN puasa Ramadhan di Madinah saya awali saat masih menjadi mahasiswa baru yaitu ketika tahun 2006-2007. Awalnya, berpuasa di Madinah pertama kali cukup sulit, itu dikarenakan kami baru pertama kali merasakan puasa di luar negeri dan Madinah (Saudi Arabia) yang merupakan kota yang cukup panas.
Kebetulan, kala itu musim panas tiba dengan suhu mencapai 45 derajat celcius. Ditambah lagi di Madinah jika musim panas tiba waktu siang lebih lama ketimbang waktu malamnya dan begitu sebaliknya, di musim dingin di mana malam lebih panjang daripada siang, berbeda keadaannya dengan saat kami berpuasa di Indonesia yang memiliki iklim tropis tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin dan perbedaan rentangan waktu antara waktu sahur dan saat berbuka antara bulan/musim yang satu dan yang lainnya tidak jauh berbeda.
Kendala cuaca yang cukup panas ini, tidak jarang beberapa orang mahasiswa mengalami mimisan.
Yang istimewa, puasa di Madinah cukup istimewa, itu disebabkan karena penduduk Madinah merayakan kedatangan bulan tersebut dengan banyak bersedekah dan memberi, puncak kebahagiaan tersebut dapat kita rasakan begitupun halnya dengan jamaah umrah yang saat itu berada di Madinah khususnya di masjid Nabawi, di mana para Muhsinin/faa’ilul khair (dermawan) berlomba-lomba menyajikan hidangan berbuka di sekitar pelataran masjid Nabawi.
Bisa dibilang, soal makanan berlimpah, tak perlu khawatir. Kurma, yoghurt haitsah (sebuah makanan khas Madinah yang terbuat dari roti dan kurma yang dihaluskan dengan mesin seperti blender) dipadu dengan segelas zam-zam dan secangkir kopi Arab (gahwa) atau teh manis hangat, tumpah ruah.
Usai berbuka, para jamaah menunaikan shalat Maghrib berjamaah. Usahai shalat di masjid Nabi, jamaah keluar ke sekitar pelataran masjid untuk mengantri pembagian makanan berat seperti nasi dan ayam khas Arab (mandi, biryani dll) ataupun ayam broast yang ditemani dengan 1 buah roti shamuli.
Adat antara satu kota dengan kota yang lain di Arab Saudi tidak jauh berbeda, di mana ummat Muslim di Arab Saudi berbuka puasa kemudian shalat dan setelah shalat tidak sedikit yang mencari menu makanan berat seperti di atas, namun ada juga yang menunda makan makanan berat hingga setelah shalat tarawih/witir.
Seperti halnya kegiatan di Indonesia, saat berpuasa mahasiswa melakukan ibadah-ibadah sunnah seperti tadarrus, shalat Dhuha dll dan menjelang maghrib berangkat menuju masjid Nabawi dan pulang setelah sholat tarawih/witir. Untuk diketahui bahwa jarak antara kampus Universita Madinah (tempat saya kuliah) dengan masjid Nabawi lebih kurang 8 KM. Jadi pulang pergi mahasiswa harus menggunakan mobil atau bus yang disediakan oleh kampus.
Kegiatan seperti itu merupakan kegiatan mahasiswa dari tanggal 1-19 Ramadhan. Sedang, pada tanggal 19 malam setelah tarawih/witir di masjid Nabawi mahasiswa yang hendak melakukan i’tikaf di masjidil haram bersiap-siap packing (mengemasi, red.) barang dan menyiapkan 2 helai kain ihram untuk digunakan umrah pada hari selanjutnya tanggal 20 Ramadhan.
Usai umrah para mahasiswa mencari tempat untuk i’tikaf di mana tanggal 20 Ramadhan malam (tarawih untuk malam ke-21) sudah mulai masuk 10 hari terakhir untuk menggapai lailatul qadar di masjidil haram, dan di 2 masjid tersebut (Masjid Nabawi dan Masjidil Haram) pada malam ke 21 melaksanakan shalat sunnah tambahan, yaitu shalaatul qiyaam 11 raka’at 8 tarawih 3 witir.
Pada hari biasa yaitu malam 1-20 Ramadhan jumlah raka’at shalat tarawih di 2 masjid (Masjidil Haram dan masjid Nabawi) dengan total berjumlah 23 (20 tarawih dan 3 witir) namun pada 10 malam terakhir Ramadhan jumlah raka’at di 2 masjid berubah menjadi 31 raka’at dengan rincian (20 rakaat tarawih setelah isya tanpa witir kemudian istirahat, dilanjutkan malam hari jam 01.00, 8 raka’at qiyaam 3 raka’at witir).
Untuk mengingatkan bangun sahur di Madinah dilakukan dengan cara 2 adzan. Adzan pertama untuk membangunkan sahur dan adzan berikutnya 1 jam sebelum adzan yang kedua yaitu adzan subuh.
Bersilaturrahmi
Umumnya para mahasiswa Indonesia di Madinah bertelebaran di Makkah al Mukarramah, karena biasanya selama 10 hari terkhir banyak mahasiswa yang memilih umrah atau langsung beri’tikaf di masjid tersebut.
Saat berlebaran kami tidak di Madinah namun kami berlebaran di Makkah, karena sebagian mahasiswa beri’tikaf pada 10 hari terakhir di masjid Nabawi di Madinah sedang sebagian yang lain melaksanakan i’tikaf di Masjidil Haram di Makkah.
Tak seperti di Indonesia, saat lebaran Saudi terasa asing karena sepi. Namun ramainya justru sebulan penuh, selama Ramadhan.
Bagi kami melaksanakan Idul Fitri yang sepi semua tergantikan dengan adanya kawan-kawan mahasiswa yang ada di sekitar kami. Kadang kami berlebaran bersama-sama kawan-kawan TKI yang ada di Arab Saudi karena memang TKI jumlahnya terbesar di Saudi. Jadi tidak jarang kami dapatkan tawaran mampir untuk berlebaran di rumahnya.
Ada juga beberap kawan mahasiwa yang merayakan lebaran di Jeddah seperti kami sendiri di Sharafiyyah Khaleed bin Al-Waled Street, Jeddah, KSA.
Ada juga yang tetap memilih di Madinah bersama-sama mahasiswa-mahasiswa yang lainnya. Atau di rumah para senior yang telah membawa istri dan keluarga di Madinah. Bahkan ada yang hanya merayakannya di kampus Universitas Islam Madinah saja.
Umumnya para mahasiwa di Makkah dan Madinah akan bergegas menuju Jeddah untuk bersilaturrahim dengan pejabat Indonesia yang bertugas di Konsulat Jenderal RI di Jeddah.
Di Jeddah, kerinduan kami akan tanah air cukup terobati, apalagi jika sudah disajikan makanan khas Indonesia oleh pihak KJRI. Wow, selasa di rumah sendiri.
Nikmat libur lebaran terasa lebih menyenangkan ketika kami diajak oleh Sstaff Lokal KJRI Jeddah mancing di pantai Jeddah yang terkenal dengan sebutan Al-Hamraa’.
Kami tinggal di Jeddah cukup lama sebab liburan di kampus juga lumayan panjang ketika Idul Fithri tiba, terlebih para masyayikh (para syeikh) dosen-dosen juga mudik di kampung mereka sendiri-sendiri, sebagaimana halnya warga Indonesia.*/Jihad El-Banna Quthuby, Mahasiswa S2 jurusan Dakwah, Universitas Islam Madinah