Hidayatullah.com–-Mahmoud kecil hidup di tengah pertempuran sengit di Jalur Gaza. Sosok-sosok seperti Shaikh Ahmad Yassin, Abdul Aziz Rantisi, Yahya Ayyash, dan lusinan As Syahid (Insya Allah) di Palestina merupakan teman sejarah yang pernah menjadi bagian penting dari inspirasi hidupnya.
Tahun 1998 setelah dia menuntaskan gelar sarjana di Universitas Islam Jalur Gaza, orang tuanya membawa dia melalui terowongan bawah tanah Jalur Gaza, tembus menuju Mesir. Di zaman tirani Husni Mubarak tersebut, Mahmoud Al Hirthani -nama lengkapnya- harus berpisah dengan kedua orang tuanya.
Kedua orang tuanya sengaja menitipkannya pada kerabat Palestina yang tinggal di luar negeri. Sang orang tua menginginkan Mahmoud untuk terus berjihad di bidang pendidikan. Hingga suatu saat ia akan kembali mencerdaskan generasi-generasi Islam di Palestina.
“Ada sebagian orang berjihad dengan senjatanya, namun sebagian juga harus fokus pada tarbiyah (pendidikan). Saya saat itu memilih berjihad pendidikan sebagai bekal tarbiyah Palestina di masa yang akan datang,” jelasnya mengenang momen-momen perpisahan yang berat saat itu kepada Hidayatullah.com.
Dari Mesir, lelaki yang kini menjadi Direktur Centre for Political and Developmet Studies (CPDS) dibawa ke beberapa tempat pengungsian warga Palestina. Hingga akhirnya ia bisa tiba di Inggris dan menjalani proses pendidikannya. Tahun 2008 Mahmoud akhirnya menyelesaikan gelar Master-nya di salah satu Universitas di London, Inggris. Lalu ia menuntaskan gelah PhD-nya di Universitas Manchester.
Hidup Mahmoud secara ekonomi terus membaik. Pasca-kelulusannya dia mengajar di beberapa universitas di Inggris.
“Salah satu yang saja ajar adalah pelajaran bahasa Arab di Universitas Manchester,” jelasnya di sela-sela kunjungannya ke Jakarta, Juli 2012 ini.
Baginya, kondisi Arab Spring yang saat ini sedang bergejolak di Timur Tengah menjadi angin segar bagi proses pembebasan Palestina. Salah satunya kemenangan Dr Muhammad Mursi di Mesir merupakan hal yang membahagiakan bagi rakyat Palestina. Terlebih, dia sangat berharap pintu perbatasan Mesir menuju Jalur Gaza bisa segera dibuka.
“Di masa Husni Mubarak, saat tiba di perbatasan Mesir kita selalu dipersulit untuk masuk Mesir hanya karena kendala administrasi yang dibuat-buat oleh tentara Mubarak, bahkan sering kami ditangkap tanpa alasan jelas,” jelas ayah dari tiga orang anak ini.
Mahmoud juga mengerti, walaupun kelompok Ikhwanul Muslimin menang di Mesir, namun penyelesaian masalah Jalur Gaza tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Ini karena kondisi internal Mesir sendiri memiliki masalah dalam negeri yang cukup pelik.
Ramadhan ini, Mahmoud menikmatinya bersama keluarga besarnya di Jalur Gaza. Mahmoud telah memutuskan kembali ke kampung halamannya. Ia yang kini bekerja sebagai salah satu dosen di Universitas Islam Gaza tak khawatir dengan gajinya yang jauh lebih kecil dibandingkan ketika dia masih di Universitas Manchester.
“Gaza adalah tanah yang diberkati, saya memutuskan kembali karena saya ingin mencari Ridho Allah. Saya ingin berjuang di sini, salah satunya mencerdaskan anak-anak di Gaza,” jelasnya.
Tak ada tempat paling indah di dunia ini baginya selain Jalur Gaza. Senyum para nelayan, keramahan masyarakat dan kemesraan ukhuwah Islamiyah yang begitu kuat di Jalur Gaza adalah ciri yang tidak ia temukan di belahan bumi yang lain.
Mahmoud mengingatkan betapa pentingnya Ramadhan sebagai refleksi tarbiyah islamiyah umat Islam. Ruangan refleksi ini seyogyanya tidak disia-siakan oleh umat Islam. Menguatkan pondasi-pondasi ruhiyah sebagai amunisi keimanan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan bagi seorang muslim.
Mahmoud bersyukur kepada Allah, hingga hari ini tidak masuk akal jika Jalur Gaza masih berdiri di antara cengkeraman peralatan perang moderen Israel. Ia juga semakin sadar perjalanan perjuangan Palestina yang telah dibesarkan Shaikh Ahmad Yassin ini masih panjang.
Menurutnya, selama Israel masih berdiri di atas tanah Palestina, maka selama itulah perlawanan Jalur Gaza tidak akan berhenti.
Tak ada yang perlu dikhawatirkan, selama rakyat Gaza masih berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah, selama itu ia selalu yakin Allah Subhana wa ta’alah tidak akan membiarkan rakyat Gaza berjuang sendirian. Itulah kenikmatan Ramadhan yang selalu menguatkan, baik bagi dirinya maupun bagi seluruh rakyat Gaza.*