Hidayatullah.com– Ramadhan tahun 1438H ini adalah Ramadhan kedua bagi saya dan keluarga selama berada di negara yang menjadi pintu penghubung kawasan Skandinavia dan dataran Eropa.
Skandinavia merujuk kepada dua negara, Norwegia dan Swedia yang terletak di Jazirah Skandinavia, ditambah Denmark. Denmark adalah negara Skandinavia yang terkecil, populasinya lebih padat, dan kebanyakan dari lahannya digunakan untuk pertanian. Kopenhagen, ibukota dari Denmark, adalah kota terbesar di Skandinavia.
Ramadhan kali ini lebih berwarna karena selain datang saat peralihan musim dingin dan panas yang identik dengan bermunculan aneka ragam bunga kaya warna.
Sejak pagi, saya sudah berencana mendirikan shalat Jumat di Masjid Agung Kopenhagen. Dengan demikian saya tidak berangkat ke pusat riset yang berjarak 45 menit perjalanan dengan bus jemputan kampus untuk menjalani aktivitas rutin penelitian.
Subhanallah, salah satu nikmat terbesar yang kami rasakan di permulaan tahun 2017 ini adalah menjadi tetangga masjid dengan daya tampung jamah terbesar di Skandinavia.
Masjid ini secara resmi memiliki nama Hamad Bin Khalifa Civilisation Center. Penamaan masjid diambil dari nama seorang Emir Qatar yang memimpin pada periode tahun 1995-2013: Hamad bin Khalifa Al-Thani.
Masjid ini dibangun dengan dana sebesar 27.4 juta dolar Amerika dan Qatar menjadi donatur tunggalnya. Banyak cerita bertajuk perjuangan sarat ujian dari sejak permulaan pengajuan pembangunan masjid hingga hari pertama peresmiannya.
Baca: “Ramadhan di Birmingham, Anak Saya Berpuasa Sendirian di Kelas”
Meski tak sedikit pihak menolak kehadiran masjid, para pengelola masjid tetap mengedepankan spirit perdamaian yang mendasari keberaadan masjid di tengah-tengah komunitas bangsa Viking dalam melayani jamaah Muslim maupun warga lokal non-Muslim yang berkunjung hingga detik ini.
Masjid Khalifa mampu menampung 677 jamaah. Dijelaskan dalam beberapa berita dan ulasan, interior masjid merupakan ekspresi perkawinan seni lokal Denmark dan dunia Islam dalam seni bangunan.
Dari luar, bangunan tingkat 3 ini terlihat menyatu dengan bangunan sekitar yang kebanyakan adalah showroom penjualan mobil. Mengusung nilai kesederhaaan gaya bangunan, masjid tak akan memberikan kesan wah kepada para pengunjung sejak kali pertama melihatnya.
Namun jika mengetahui secara detil heroiknya perjuangan realisasi pembangunan masjid dan menggunakan mata iman untuk melihatnya, saya jamin pengunjung akan menemukan kesan tak terlupa yang akan lekat lama dalam memori ingatan mereka.
Masjid ini berada di distrik Norrebrø, sebuah kota tetangga Kopenhagen yang paling multikultural dan internasional karena dihuni banyak warga dari berbagai ras dan suku bangsa.
Lokasi masjid ini berjarak sekitar 20 menit perjalanan dari pusat kota stasiun Norreport. Dari apartemen saya, masjid ini sudah dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki santai selama 10 menit.
Baca: Menariknya Ramadhan di Mesir: Dari Maidaturrahman, Musa’adah, sampai Fanush
Khutbah Dua Bahasa
Baru-baru ini, lepas menyelesaikan beberapa aktivitas rutin rumah tangga, saya segera bersiap menuju masjid dengan bersepeda. Suasana masjid belum terlalu ramai. Saya masuk ke dalam ruang utama masjid. Beberapa jamaah tampak sibuk membaca al-Qur’an, menunaikan shalat sunnah atau sesekali tampak sedang berdzikir. Suasana di dalam masjid persis seperti suasana Jumatan di masjid-masjid tanah air. Adzan dikumandangkan dengan syahdu tepat pukul 13.30 waktu Denmark.
Khatib memulai khutbahnya dalam bahasa Arab dan Danis beberapa menit kemudian. Komposisi penggunaan bahasanya adalah bahasa Arab penuh digunakan di khutbah pertama dan bahasa Danis di sebagian khutbah kedua sebelum doa.
Jika yang bertugas adalah seorang khatib tamu dan tak pandai bertutur Danis, maka akan hadir satu alih bahasa yang akan memberikan penjelasan isi khutbah dalam bahasa Danis di atas mimbar lain, yang secara permanen disusun bersisian satu sama lain dan dipisahkan oleh mihrab imam di antara keduanya.
Secara jujur, saya sebagai warga asing yang berbicara dengan bahasa nasional sendiri dan Inggris saja, keadaan ini menjadi kendala utama selama menjalankan ibadah shalat Jumat di hampir seluruh masjid Denmark.
Dan saya percaya hal itu bukan hanya masalah bagi saya pribadi, namun juga dialami oleh semua warga asing non-Danish di Denmark.Untuk mengakali permasalahan bahasa selama shalat Jumat di Denmak, saya sering bertanya kepada teman-teman -biasa disapai brother, artinya saudara- yang saya kenal dekat terkait isi khutbah secara umum setelah pelaksaaan shalat Jumat selesai. Saya pun bertemu brother Osama, warga Denmark keturunan Palestina dan mahasiswa master ilmu politik di Copenhagen University.
Baca: Umat Islam Pakistan Berpuasa di Bawah Suhu 46 Derajat Celsius
Keramaian Usai Jumatan
Usai Jumatan, seorang teman Indonesia, yang telah membuat janji dengan saya untuk berangkat bersama dan bersepeda ke KBRI, sudah menunggu di laman depan masjid. Karena saya memarkirkan sepeda di area parkir bagian belakang masjid, maka saya harus mengambilnya dengan memutar keluar kompleks menggunakan jalan yang sama dengan mobil para jamaah.
Tak ubahnya suasana jalanan pasca pelaksaan shalat Jumat di Indonesia, jalanan di sini mendadak menjadi cukup padat. Saya yang hanya bersepeda pun harus ekstra hati-hati, agar tidak terjadi insiden menyenggol badan mobil yang berjalan super pelan, merayap dan saling berdekatan satu sama lain. Setelah berjalan beberapa menit, saya berhasil mencapai jalan utama yang berada di depan masjid.
Tak ada yang perlu dikhawatirkan karena semua berjalan normal-normal saja. Para pengguna jalan tak menjadikan tumpahan jamaah di jalan umum sebagai permasalahan yang serius. Mungkin logika umum dan sederhana yang mereka pahami bersama sudah cukup menjadi alasan mengapa mereka bisa hidup saling berdampingan.
Adapun logika sederhana yang saya maksud adalah jika semua mematuhi aturan dan mampu menjalankan peran secara proporsional, maka tak perlu ada pembicaraan serius untuk menyelesaikan sebuah permasalahan.
Meski hari ini kami berpuasa selama kurang lebih 20 jam dan mentari bersinar terik di atas langit, atas izin Allah, pengalaman menjalani Ramadhan di Denmark tak seberat apa yang kebanyak orang di luar sana bayangkan.* Kiriman Syahnada Jaya, mahasiswa Indonesia di Denmark untuk hidayatullah.com