Sambungan artikel PERTAMA
Kejutan ulang tahun yang tidak pernah ada
Alaa mengatakan dia berusaha selama sembilan tahun untuk mendapatkan anak,”namun akhirnya anak kami, Abdullah, lahir dan membuat dunia kami lebih cerah pada 14 Mei, 2017 jam 1 malam. Satu tahun kemudian, di hari dan jam yang sama dengan kelahiran Abdullah, Shaher meninggalkan dunia ini.”
Masih menjadi seorang pelajar yang ingin mendapatkan gelar sarjana jurusan media, kekuatan, kesabaran dan kemauan Alaa membantunya membesarkan bayi kecilnya sendiri.
Satu-satunya pencari nafkah di keluarga, al-Madhoun membuka usaha foto kopi di rumahnya untuk mendapatkan penghasilan.
Sehari sebelum dia terbunuh, dia mengatakan pada istrinya bahwa dia telah mengatur sebuah kejutan untuknya dan dia memintanya untuk mempersiapkan ulang tahun pertama bayi mereka.
Istrinya belum tahu apa yang dia rencanakan untuknya, setelah peluru merobek lambung kirinya dan menusuk lambung kanan.
“Abdullah biasanya langsung lari ke pelukan ayahnya ketika ayahnya tiba di rumah. Mereka akan bermain hingga mereka lelah dan ketiduran,” kenang Alaa.
Baca: Inilah Nama-nama Warga Palestina yang Dibunuh Israel Sejak Senin
Dalam sebuah postingan di Facebook, Alaa menulis: “Pada fajar pertama setelah kematianmu, O Abu Abdullah, bayi kita membuatku sangat lelah dengan berulangkali memukul tempatmu di tempat tidur dengan tangan kecilnya, meneriakkan ‘Baba, Baba.’ Dia menangis hingga jam 8 pagi… Abdullah menangis setiap hari di waktu biasanya dia bermain denganmu.”
Ibu Al-Madhoun, Halima, membesarkannya sendiri setelah ayahnya meninggal karena serangan jantung ketika dia berumur 11 tahun. Dia ingat kebaikan Al-Madhoun padanya.
“Shaher akan memeriksaku setiap malam untuk memastikan Saya tidur dan apa Saya sudah meminum obat.” Halima menambahkan bahwa cucunya, seperti anak laki-lakinya itu, akan tumbuh tanpa seorang ayah.
‘Ramadhan kehilangan Yazan’
Ayah Yazan Altobasi, Ibrahim, ingin sekali berbuka puasa dengan anak laki-lakinya setiap hari pada tahun ini.
Bagi Ibrahim, sebagian alasan mengapa Ramadhan sangat spesial baginya dan tidak seperti bulan lain ialah ketika keluarganya meliputi dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan berkumpul bersama untuk berbuka puasa dan setelah itu melakukan sholat tarawih.
“Tahun ini, Ramadhan kehilangan Yazan,” kata Ibrahim.
Pada 14 Mei 2018, satu peluru ke arah mata sudah cukup untuk mengakhiri nyawa Yazan. Peluru itu menerjang mata kanannya dan menembus kepalanya.
Baca: Presiden Erdogan Mengutuk Keras Tragedi Kemanusiaan di Gaza
Khawatir akan keamanannya, Ibrahim ingin anak laki-laki berumur 23 menghindari demonstrasi Great March of Return.
Sebelumnya Yazan pernah ikut serta dalam demonstrasi, pada 11 Mei 2018. Di hari dia ditembak, dia bersikeras untuk ikut aksi, jadi Ibrahim menemani Yazan dan saudara laki-lakinya, untuk memastikan mereka tidak terancam bahaya. Sampai di sana, sejumlah demonstran meyakinkan Ibrahim dan demonstrasi itu cukup damai baginya untuk pergi.
Dua saudara itu terpisah dan Yazan tertembak. Keluarganya menerima berita kematiannya pada jam 5.30 sore.
‘Hanya dengan satu peluru’
Yazan dilahirkan di Jordania, dibesarkan di Tepi Barat dan menjalani sisa hidupnya di Gaza. Keluarganya, yang berasal dari sebuah desa kecil di Jenin, terusir dari rumah mereka pada perang enam hari Arab-Israel pada tahun 1967.
Mereka pindah ke Jordan, di mana Yazan akhirnya dilahirkan. Waktunya di sana tidak lama, karena keluarganya pindah sebentar ke Gaza pada 1994, sebelumya ayahnya mendapatkan pekerjaan di Tepi Barat pada tahun yang sama dan kemudian mereka pindah lagi. Pada tahun 2002, mereka termasuk keluarga yang diusir ke Gaza pasca pengepungan Gereja Kelahiran (Church of the Nativity).
“Saya menghabiskan 23 membesarkan anak saya, namun satu peluru cukup mengakhiri hidupnya… ambulans dihalangi dari menyelamatkannya [dengan peluru-peluru Israel]. Yazan jatuh dan terus di sana 10 menit hingga kehabisan darah,” kata Ibrahim.
“Saya sangat khawatir akan kehilangan dia. Sayangnya, kami kehilangannya, meninggalkan anak laki-laki berumur 2 tahun yang tidak pernah dia temui karena dia dan ibu anaknya bercerai.”
Ayahnya menjelaskan bahwa Yazan menghabiskan hampir seluruh waktunya bekerja sebagai tukang bersih-bersih, demi mencari nafkah. Dia ingat makanan terakhir yang mereka makan bersama seharis sebelum anaknya dibunuh, ketika Yazan membawa beberapa hummus dan falafel untuk berbuka.
Ibunya, Manal, mengenal perjuangan anak laki-lakinya. “Dia selalu berkeliling setiap jalanan dan gang di Gaza mencari pekerjaan dan akhirnya mendapat sebuah pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih lima bulan lalu.”
Ibrahim mengatakan Yaza sangat baik pada saudara, tetangga dan temannya. Mengatakan dia telah menerima panggilan telepon dari teman-temannya di negara berbeda, menyampaikan belasungkawa.
“Saya harap dia akan lebih bahagia di akhirat, karena dia menjalani kehidupan yang keras,” ujarnya.*/Nashirul Haq AR