SEPERTI biasa tiap Senin pagi saya bersama beberapa ustadz mengajar ke Pesantren Husnayain Sukabumi. Saya mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA. Tapi kadangkala juga disuruh mengajar tauhid, sejarah dan lain-lain, seperti pada semester-semester lalu.
Murid di pesantren itu tidak begitu banyak. Rata-rata santrinya sekelas kurang dari 20 orang. Bila pelajaran, mereka laki-laki dan perempuan kumpul dalam kelas. Laki-laki di depan, perempuan di belakang. Dulu pernah ada niat untuk memisahkan laki-laki dan perempuan -atau baniin dan banaat, istilah popular di pesantren itu—tapi karena gurunya kurang, kini dicampur lagi. Meski dicampur interaksi baniin dan banaat dijaga ketat. Bila ketahuan mereka pacaran –misalnya berduaan di tempat sepi tau berboncengan motor- pesantren tak segan-segan akan mengeluarkannya.
Meski total jumlah santri tidak begitu banyak, tapi saya melihat semangat dalam diri mereka menyala dalam belajar. Mereka tiap hari latihan bicara bahasa Arab atau Inggris. Kosa kata ‘bahasa asing’ hampir tiap hari diberikan untuk dihafalkan. Untuk semakin memperlancar bahasa lain, mereka sering mengadakan latihan pidato dalam bahasa Arab/Inggris. Latihan ini diikuti oleh semua santri dan masing-masing mereka gantian ke depan mempersembahkan pidato terbaiknya.
Saya pernah mengikuti acara ini –pada malam hari—serunya bukan main. Saya melihat hampir tidak ada yang malu atau grogi dalam latihan pidato itu. Mereka bertepuk tangan atau tertawa riang bila kawannya yang ngomong berbahasa asing itu salah ucap atau bingung memperpanjang ceramahnya.
Pesantren ini memang ingin mengadopsi Gontor dalam kurikulumnya. Terutama kurikulum pondoknya. Jadi ada pelajaran pondok, ada pelajaran umum. Cukup padat memang. Apalagi kurikulum SMA umum diberikan full di situ. Jam pelajaran dimulai dari 7.30 pagi sampai 15.00, dengan istirahat dua kali. Jam 09.00-09.30 dan 12.00-13.30.
Tapi saya melihat kebanyakan santri di situ (entah saya lebih suka menyebutnya murid, karena lebih membawa makna), semangat dalam belajar. Apalagi kalau diberikan tanya jawab atau kuiz. Mereka akan saling berlomba menjawabnya.
Dalam pelajaran ekstranya, mereka mendapat materi jurnalistik, pencak silat/’wushu’, olahraga, hafalan Al Qur’an, latihan pidato bahasa asing, pramuka dan lain-lain.
Menjadi sekuler
Saya terus terang sebenarnya tidak begitu ahli dalam pelajaran bahasa Indonesia ini. Mungkin karena saya senang menulis, saya diamanahi materi ini. Saya lebih suka mengajar jurnalistik sebagaimana pengalaman saya selama ini mengajar di STID Mohammad Natsir, UIKA Bogor atau Az Zahra. Tapi di pesantren pelajaran itu hanya ekstra.
Dari beberapa semester saya mengajar bahasa Indonesia, buku teks atau kurikulumnya tidak begitu bagus. “kering” dan bisa membuat bosan murid. Bahkan saya melihat materi-materi tentang drama terlalu banyak. Saya menangkap Diknas sendiri ‘bingung’ membuat materi bahasa Indonesia. Maka dalam Ujian Nasional, yang keluar hanya sedikit dari buku teks. Kebanyakan analisa kalimat atau logika. Logikanya pun kadang-kadang ‘linier’ alias tidak memberi kesempatan murid untuk memahami berbeda dalam kalimat bacaan itu. Saya pernah mendiskusikan soal-soal ujian Nasional bahasa Indonesia ini dengan beberapa teman dan kesimpulannya sama, banyak soal yang mestinya bisa dijawab lebih dari satu jawaban.
Yang menyedihkan buat saya adalah lepasnya pendidikan bahasa sekarang ini dari ruh Islam. Pelajaran bahasa sekarang didominasi oleh pakar-pakar Belanda atau sekuler. Maka tokoh-tokoh dalam bahasa Indonesia adalah Prof A Teeuw dan Gorys Keraf. Mereka telah berhasil membuat bahasa Indonesia ini menjadi sekuler. Yakni belajar bahasa hanya belajar tentang struktur kalimat, komposisi, diksi atau lainnya. Tidak ada sedikitpun dalam pelajaran bahasa dikaitkan dengan akhlak atau bahkan tauhid.
Padahal peletak dasar pertama kaidah-kaidah bahasu Indonesia sebenarnya adalah Raja Ali Haji. Dia seorang ulama, sastrawan, penasehat raja dan ahli hikmah. Dilahirkan di Riau 1808 dan meningal dunia 1873, karya-karyanya berbobot dan ditulis dalam bahasa Arab Melayu.
Bila menulis tentang bahasa, syair/gurindam selalu ia kaitkan dengan nilai-nilai dalam ajaran Islam. Bandingkan bila dia menulis dengan pakar-pakar Belanda itu atau pakar-pakar bahasa Indonesia sekarang.
Dalam sebuah bukunya –kebetulan saya dapatkan dari salah seorang professor ketika berkunjung ke Universiti Kebangsaan Malaysia—ia menyatakan bahwa belajar bahasa itu tujuannya adalah untuk semakin makrifat kepada Allah. Yakni menambah keimanan. Apakah ada dalam kurikulum bahasa Diknas sekarang?
Maknanya dalam pelajaran bahasa, karena bahasa ini adalah simbol dari fakta atau ‘benda-benda’ di alam ini, maka semestinyalah dengan belajar bahasa orang akan semakin mengagumi pencipta-Nya. Apalagi proses berbahasa lewat alat indera yang diberikan Allah kepada kita.
Sekarang ini tujuan orang belajar bahasa –bahasa Indonesia atau lainnya—kebanyakan semata-mata tujuannya adalah materi. Sebagai alat komunikasi atau penyebaran ide belaka. Banyak orang belajar bahasa akhlaknya makin buruk dan seterusnya. Karena pelajaran bahasa telah rusak, maka akhlak pelajar kini banyak yang rusak. Dan yang timbul bukan bahasa-bahasa yang beradab, tapi bahasa yang biadab. Maka popular lah kemudian bahasa-bahasa kasar atau bahasa prokem yang tidak mempunyai makna yang berarti.
Maka dalam pelajaran bahasa, saya sering mengingatkan murid-murid tentang Raja Ali Haji ini. Karya Gurindamnya seringkali saya suruh baca mereka di depan kelas. Dan saya kadang-kadang juga memberikan mereka latihan untuk membuat gurindam, pantun, puisi dan lain-lainnya dengan maksud agar suatu saat lahir kembali tokoh seperti Raja Ali Haji ini.
Begitu hebatnya Raja Ali Haji ini, seorang professor dari Malaysia dengan ‘telaten’ mau menerjemahkan karyanya kata per kata dalam bahasa Melayu. Ia pun dalam pengantarnya menyatakan begitu terkesan dengan karya Raja Ali Haji ini.
Sore itu, bertepatan dengan 17 Ramadhan 1433H, saya hadir di acara buka bersama Pesantren Husnayain. Acara ini hampir sepenuhnya diinisiatif oleh para santri sendiri. Terutama oleh murid senior kelas III SMA. Mulai dari penggalangan dana, penyebaran undangan ke masyarakat, jadwal acara dan lain-lain.
Lebih dari dua ratus orang hadir pada acara itu. Di antaranya puluhan anak yatim. Dalam acara ini memang mereka sengaja diundang untuk diberikan santunan sekedarnya agar mereka turut merasakan kebahagiaan di bulan suci ini.
Yang menarik dalam acara itu, adalah ceramah dari pimpinan pesantren KH Ahmad Kholil Ridwan menjelang buka puasa. Dalam ceramahnya ini ia menguraikan tentang lafadz ‘kutiba’ dalam Al Qur’an, terutama dalam surat Al Baqarah. Di surat ini, terdapat empat lafadz kutiba (diwajibkan/kewajiban). Pertama tentang kewajiban puasa, kewajiban menjalankan hukum qishash, kewajiban berperang dan kewajiban menuliskan wasiat sebelum meninggal.
Ketua MUI ini mengingatkan bahwa kini telah berdiri Bank Syariat, Pengadilan Agama dan lain-lain, kenapa tidak sekalian menegakkan syariat Allah yang lain.
“Bila hukum qishash ditegakkan, maka tidak usah memberi makan para pembunuh itu sampai dua puluh tahun atau seumur hidup. Uang rakyat jadi tersedot untuk makan mereka, padahal masih banyak rakyat yang miskin dan kelaparan butuh makan,”urainya.
Ia juga prihatin kenapa pemerintah SBY masih terus memilih hukum peninggalan Belanda daripada hukum Islam. Padahal bila pembunuh dihukum bunuh (qishash) justru akan meminimalkan banyaknya kasus pembunuhan di Indonesia. Karena orang menjadi ngeri bila mau membunuh.
“Walakum filqishaashi yaa Uulil Albaab,” (Dan pada hukum qishash itu ada kehidupan wahai Ulil Albab/wahai orang mempunyai pikiran), katanya mengutip Al Qur’an.
Begitulah sedikit pengalaman mengajar di Pesantren Husnayain, yang mungkin merupakan pesantren dengan view terindah di Indonesia. Dengan latar belakang persis bukit-bukit perkebunan teh Jayanegara, Sukabumi. Karena begitu indah pemandangannya, perusahaan gas Amerika Chevron menempatkan kantor dan pabriknya persis di puncak bukit perkebunan teh itu.
Mengakhiri tulisan ini, saya kutipkan Gurindam dari tokoh bahasa kita Raja Ali Haji. Semoga banyak manfaatnya. Wallaahu aliimun hakim.*/Nuim Hidayat, pengajar di PP Husnayain)
Gurindam I
Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang yang ma’rifat
Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang teperdaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah ia dunia mudarat.
Gurindam II
Ini gurindam pasal yang kedua:
Barang siapa mengenal yang tersebut,
tahulah ia makna takut.
Barang siapa meninggalkan sembahyang,
seperti rumah tiada bertiang.
Barang siapa meninggalkan puasa,
tidaklah mendapat dua termasa.
Barang siapa meninggalkan zakat,
tiadalah hartanya beroleh berkat.
Barang siapa meninggalkan haji,
tiadalah ia menyempurnakan janji.
Gurindam XII
Ini gurindam pasal yang kedua belas:
Raja mufakat dengan menteri,
seperti kebun berpagarkan duri.
Betul hati kepada raja,
tanda jadi sebarang kerja.
Hukum adil atas rakyat,
tanda raja beroleh inayat.
Kasihan orang yang berilmu,
tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai,
tanda mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan dirinya mati,
itulah asal berbuat bakti.
Akhirat itu terlalu nyata,
kepada hati yang tidak buta.