Hidayatullah.com | PARA ulama sangat menunggu datangnya bulan Ramadhan. Jabir Radhiyallahu Anhu suatu saat menyampaikan,”Jika engkau berpuasa maka hendaklah memuasakan pendengaran, pandangan dan lisan dari kebohongan dan perkara yang diharamkan. Dan janganlah menyakiti tetangga, hingga har-hari puasamu dipenuhi ketenangan. Dan janganlah engkau jadikan hari puasa dan hari berbuka sebagai hari yang sama.”
Puasa di atas itulah disebut juga oleh Imam Al Ghazali sebagai puasa orang-orang saleh, hingga sejumlah ulama memandang bahwa ghibah dan bohong bisa membatalkan puasa. Imam Sufyan At Tsauri menyatakan,”Ghibah membatalkan puasa.” Imam Al Laits dan Mujahid juga menyampaikan, ”Dua perkara yang membatalkan puasa adalah ghibah dan bohong.”
Dermawan di Bulan Ramadhan
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu menyampaikan bahwa Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau paling dermawan di bulan Ramadhan (Riwayat Al Bukhari).
Demikian pula para ulama, pada bulan Ramadhan mereka banyak memberikan bersedekah. Dikisahkan bahwa Imam Ibnu Mubarak memberikan makanan kepada para sahabat beliau yang memilih berbuka di saat safar dengan berbagai macam makanan lezat, meski beliau sendiri memilih tetap berpuasa.
Imam Ibnu Rajab sendiri menyebutkan kisah salah satu ulama saleh dari kalangan ulama terdahulu yang sudah bersiap-siap berbuka dan ia sendiri sangat ingin menyantap hidangan yang sudah tesedia di depannya. Namun di saat bersamaan seorang peminta-minta menyampaikan, ”Barang siapa meminjami orang miskin maka Yang Maha Kaya akan mencukupinya.” Akhirnya makananya diserahkan kepada orang miskin tersebut meskipun ia merasa lapar.
Hal yang sama terjadi pada Imam Ahmad. Suatu saat beliau sudah mempersiapkan dua roti untuk berbuka puasa, namun ada peminta-minta datang hingga akhirnya beliau memberikan dua roti itu untuk orang miskin tersbut sedangkan ia sendiri memilih lapar.
Qiyam para Ulama di Bulan Ramadhan
Para sahabat Rasulullah ﷺ juga bersungguh-sungguh dalam melaksanakan qiyam di bulan Ramadhan. Dimana saat Umar menjadi khalifah beliau menunjuk Ubai Bin Ka’b untuk menjadi imam. Ubai bin Ka’b sendiri biasa membaca 200 ayat setiap rakaat, hingga para Sahabat lainnya bersandar di tongkat karena lamanya berdiri. Dan mereka tidak menyelesaikan qiyam kecuali ketika fajar sudah terbit.
Di masa tabiin, qiyam Ramadhan didirikan dengan menyelesaikan surat Al Baqarah di rakaat ke delapan. Jika surat itu dibaca dalam 12 rakaat, maka mereka menilai bahwa hal itu termasuk keringanan. Di masa itu juga mereka tidak rela jika dalam satu rakaat hanya dibaca 10 ayat surat Al Baqarah. Maka tak heran Imam Malik memandang bahwa membaca kurang dari 10 ayat dalam satu rakaat sebagai hal yang makruh.
Ibrahim Bin Adham, ulama di kalangan tabiin, pada bulan Ramadhan tidak tidur di malam hari untuk melaksanakan shalat. Namun meski demikian hal itu tidak menghalangi aktifitas beliau di siang harinya sebagai petani.
Di kalangan tabiin ada yang menghatamkan al-Qur`an dalam selama 3 hari dan sebagian melakukannya dalam 7 hari. Sebagian lainnya menghatamkan dalam 10 hari seperti Abu Raja’ Al Utharidi.
Qira`ah para Ulama
Bulan Ramadhan merupakan bulan diturunkannya Al Qur`an dan Rasulullah sendiri dan Malaikat Jibril saling menyimak bacaan al-Qur`an. Para ulama terdahulu pun mengamalkan hal yang sama dengan bersungguh-sungguh.
Di bulan itu para ulama memperioritaskan membaca al- Qur`an di bulan ini dibanding melakukan amalan lainnya di bulan Ramadhan. Imam Malik sendiri selaku ulama Hadits menghindari majelis hadits dan ilmu dalam rangka membaca al- Qur`an. Imam Ats Tsauri juga mengutamakan membaca al- Qur`an dibanding melakukan amalan ibadah lainnya.
Para ulama juga bermujahadah dalam membaca al-Qur`an. Al Aswad menghatamkan bacaan al- Qur`an dalam dua malam di Ramadhan. An Nakha’i juga melakukan hal serupa di 10 hari terkahir, sedangkan di luar hari-hari itu beliau menghatamkan dalam 3 hari. Qatadah menghatamkan al- Qur`an dalam Ramadhan dalam 3 hari dan di 10 hari terakhir beliau menghatamkannya dalam satu malam. Sedangkan Imam As Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menghatamkan al-Qur`an sebanyak 60 kali di bulan Ramadhan dan itu dilakukan di luar shalat.
Para Ulama Menyambut Lailatul Qadar
Lailatul Qadar merupakan malam yang dinanti-nanti oleh setiap orang yang menginginkan kebaikan. Para ulama terdahulu benar-benar bermujahdah untuk memperolehnya, maski mereka sendiri berselisih mengenai kapan malam lailatul qadar jatuh. Pada malam lailatul qadar mereka tidak tidur semalaman dan melakukan ibadah umrah.
Sufyan At Tsauri pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan juga membangunkan keluarga dan anak-anak beliau untuk melaksanakan shalat, sebagaimana dilaksanakan oleh Rasulullah.
Tidak hanya menggalakkan ibadah, para Sahabat dan tabiin menghias diri dalam menyambut malam yang diharapkan bertepatan dengan lailatul qadar. Mereka mandi di setiap malam selama 10 malam terakhir dan memakai pakaian bagus serta wewangian. Sebagaimana Malik malakukanya pada malam 24 Ramadhan, meski di pagi harinya beliau memakai pakaian biasa. Demikian juga Ayub As Sakhtiyani, beliau juga mengenakan dua baju baru beliau di malam 23 dan 24. Bahkan Tamim Ad Dari membeli pakaian seharga 1000 dirham yang beliau pakai khusus di malam-malam yang diharapkan bertepatan dengan malam lailatul qadar.
Mereka melakukan hal itu karena malam-malam tersebut adalah waktu untuk bermunajat dan mereka merasa tidak pantas jika melakukan munajat kepada Allah dengan pakaian seadanya, sebagaimana disyariatkan juga memakai pakaian bagus saat melaksanan shalat.
Nah, bagaimana dengan kita sendiri? Mudah-mudahan apa yang dilakukan para ulama terdahulu bisa menjadi inspirasi untuk kita, agar lebih baik dalam mengarungi Ramadhan tahun ini.* Thoriq