CRING, cring… Seorang karnet bis di ibukota menggoyang-goyangkan uang logam di tangannya. Isyarat penagihan ongkos ini direspon tiga orang penumpang. Mereka berbisik-bisik mengatur siasat. Karnet pun mulai mendekat.
Lantas seorang dari mereka maju dan menyerahkan sejumlah uang. Namun karnet tidak terima, ia meminta tambahan ongkos. Yang ditagih enggan menambah. Kedua pihak pun bersitegang, masing-masing melontarkan argumen dalam bahasa Arab.
Ya, bahasa Arab, bukan bahasa Jakarta. Keempat penumpang tersebut adalah Faiz Ahmad Kholis dan tiga rekannya, sebut saja Muis, Saddad, dan Atung. Semuanya mahasiswa Intenational University of Africa di Khartoum, ibukota Sudan. Bersitegang dengan karnet bis sudah biasa bagi mereka belakangan ini.
Seperti malam itu sekitar pukul 21.00 waktu setempat. Faiz dan kawan-kawan hendak pulang dari Markaz Islami, Kantor Universitas, menuju asrama mahasiswa yang berjarak sekitar 2 kilometer. Menumpanglah mereka di bis nomor 95. Sebelum membayar ongkos, mereka mengatur rencana pembayaran.
Usai berembug, Muis menyerahkan uang sejumlah 2 pound Sudan (SDG) kepada sang kernet. Mengetahui uang segitu untuk 4 orang, penarik ongkos tidak terima. Pasalnya tarif angkutan umum sudah naik.
“Ya zull, zid tani!” (Eiii, tambah 2 pound lagi!) tukas karnet kepada Muis.
“Maa fi! (tidak ada!),” jawabnya.
“Zid, zid, zid! (Tambah lagi!)” balas karnet, tetap ngotot minta tambahan. Sedangkan bis terus berjalan.
Sementara Faiz meminta rekan-rekannya tetap tenang. “Ntar lagi sampai asrama,” ujarnya dalam bahasa Indonesia agar siasat mereka tak ketahuan karnet.
“Tholabah, ya akhi,” ujar Faiz kemudian mengaku sebagai pelajar. Maksudnya hendak meluluhkan hati karnet. Namun tidak digubris. Menurut karnet, kalau empat orang harus bayar SDG 4. Saat mereka sudah sama-sama lelah, tiba-tiba muncul Saddad dari belakang, mencoba mengakhiri perdebatan.
“Kholas, ahsan nanzil huna, (udah-udah, kita turun di sini aja),” seru Saddad cepat.
Sejurus kemudian, keempat mahasiswa tadi turun dari bis. Sang karnet pun melepas mereka tanpa tambahan ongkos. Belum hilang rasa penat dan lapar, keempat mahasiswa itu sudah harus berdebat dengan karnet. Namun mereka terhibur dan tersenyum geli karena bisa menghemat ongkos dan turun tepat di gerbang asrama.
Bagi mereka, jarak 2 kilometer yang ditempuh tidak layak dihargai SDG 1. Sebab, dalih Faiz, semua penumpang paham kalau SDG 1 itu untuk ongkos sampai terminal akhir, yang jaraknya sekitar jarak 8 kilometer dari Markaz Islami.
“Begitulah salah satu cara untuk menghemat biaya dengan kebersamaan, mengajak bicara karnet hingga sampai asrama. Dan karnet tidak macam-macam karena kita bersama,” tutur lajang asal Dumai, Kepulauan Riau ini saat bincang-bincang dengan Hidayatullah.com di Depok, Jawa Barat melalui sambungan internet beberapa waktu lalu.
Buku Susah, Sabun Pinjam Giliran
Begitulah Sudan yang kini tengah dirundung ketidakstabilan ekonomi. Harga kebutuhan barang dan jasa mengalami kenaikan drastis hingga 100 persen. Dipicu naiknya harga BBM di negara pimpinan Presiden Omar al-Bashir ini.
Kenaikan tersebut, menurut Faiz, imbas dari naiknya nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD) terhadap SDG. Para mahasiswa Indonesia di Sudan pun dituntut pintar-pintar berhemat, apalagi kurs rupiah terhadap dolar juga menurun.
Cerita lain dituturkan Fathi Farhat, mahasiswa Ma’had Lugho Arobiyyah Wa Dirosatil Islamiyah Li Annatiqin Ghoiru Arob, Wilayah Hajj Yusuf, pinggiran Khartoum. Farhat mengaku, dia harus berhemat sedemikian rupa dalam hal keuangan. Penghematan ini memberi dampak positif baginya.
“Naiknya dolar sebenarnya ada hikmahnya. Biasanya saya sepekan sekali ke ibukota Sudan buat ketemu teman. Sekarang tidak bisa lagi. Selain transportasi yang relatif mahal saya juga butuh muroja’ah (mengulang-ulang) pelajaran baik al-Qur’an maupun Hadits, dan lain-lain,” tutur pria kelahiran Bontang, Kalimantan Timur ini.
Soal makanan pokok, lanjut Farhat, biasanya dia dan kawan-kawannya membeli berbagai macam lauk dan sayur-mayur untuk makan malam, seperti ayam dan telur. Ini menu yang sering mereka cicipi sebelum harga-harga pada naik. Kini menu tersebut hanya sesekali dalam sebulan menyapa mereka.
Karena sudah jarang makan dengan menu andalan itu, Farhat mengaku banyak hikmah di baliknya. Misalnya dulu malas mengulang pelajaran, kini lebih rajin. Sebab, dulu malam hari yang seharusnya dipakai untuk belajar malah dipakai masak-masak.
“Soal alat cuci, sabun, saya pribadi menggilir untuk minta sabun teman. Di sini ada 5 kamar, satu kamar (ada) 20 hingga 50 orang. Jadi saya gilir ke kamar-kamar. Setelah 5 kamar selesai, cari target baru,” ungkap mahasiswa semester 3 yang menetap di Syar Nil Hajj Yusuf Wahidah 14, Syari Wahid ini.*/bersambung kewalahan mensiasati kebutuhan hidup sejak 3 bulan