BAGI sebagian kalangan, hidup itu seni menipu lihatlah bagaimana seorang bapak tatkala mendengar pengakuan blak-blakan tentang putrinya yang lesbian sejak menjadi mahasiswa Psikologi UI.
Cerita pengakuan sang anak yang lesbian itu didahului dengan penyerangan terhadap bapaknya yang selingkuh dengan bule Amerika.
Sambil menyerang bapaknya, dia memberi pengakuan. Lalu hal ini diakuinya sebagai cara yang cerdas dalam mengutarakan pengakuan jati dirinya di saat bapaknya kelimpungan dalam kesalahan.
Semua cerita pengakuan menjadi lesbian tsb belakangan ini dia tulis dan bertebaran di media social (medsos).
——-000o000——–
Kemudian bapaknya yang merupakan jurnalis senior itu pun “terpaksa” menulis pengakuannya terhadap perilaku anaknya di “Catatan Pinggir Seorang Ayah”
Dalam tulisan tsb, berkali-kali si bapak harus mempresentasikan contoh-contoh kebaikan yang pernah dilakukan oleh anaknya yang lesbian itu.
Seolah-olah dia mau meyakinkan bahwa menjadi lesbian itu adalah pilihan seseorang yang tidak ada kaitannya dengan kebaikan dan keburukan..
• Si anak sang pembela pegawai berjilbab yang mau dipecat gara-gara jilbabnya, meskipun anaknya tidak berjilbab,
• Si anak sang pahlawan pembela etnis China,
• Si anak sang penyelamat temannya yang hamil di luar nikah
• dan lain-lain…
Wooww… pokoknya dengan segala kebaikan itu, anaknya tetap seorang lesbian dan itu tidak mengurangi jiwa baiknya.
Tapi di balik itu semua, ada ungkapan si bapak:
“Cinta orangtua harusnya tak pernah menuntut….”
Ungkapan si bapak yang berulang ini setidaknya bisa membuka yang tertutup, dan memberi terang yang gelap. Sisi tabir tersembunyi dari hati dan harapan seorang bapak pada umumnya pada putrinya.
Itulah gambaran orang yang sepertinya tahu, tapi tidak mengerti. Matanya terbuka, tapi sesungguhnya tidak melihat.
Seperti ungkapan Peribahasa Jawa: “Melek walang”.
Kebaikan dan keburukan hanya dimaknai secara empirik, sebatas merugikan atau tidak pada orang lain.
“Tuhan di luar semua konsep-konsep & perilakumu… karena Tuhan tidak terukur dan tidak bisa diukur. Oleh karena itu, jangan kau sandarkan kebaikanmu pada Tuhan. Sebab Tuhan adalah akal kolektif.. maka yang manusia anggap baik, tentu Tuhan “terpaksa” mengakui itu adalah baik juga.”
Begitulah kira-kiradi pikiran orang-orang sakit tapi marah jika dianggap sakit. Bahkan melebeli balik orang-orang yang menganggap sakit itu sebagai “homophobia”.
Padahal Homophobia, itulah jenis penyakit baru di dunia psikologi sekular.
Ternyata kuliah psikologi bukan jaminan memberi jalan pulang.
Sebab psikologi sekular ibarat ilmu jiwa tanpa jiwa.
Semoga kita dianugerahi melihat kebenaran, meyakininya, menjalaninya, mempertahankannya dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.
اللهُمَّ أَرِنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ
Allahumma Arinal haqqo haqqon, warzuqna ittiba’ah. (Ya Allah Tunjukilah kami kebenaran dan berikan kami jalan untuk mengikutinya)
Bangkok 21 September 2015
Henri S.Rejo