BELAKANGAN ini sangat ramai konflik agama terkait pendirian rumah ibadah.
Tentu hal ini sudah tidak sehat dalam keberagaman Indonesia yang konon kabarnya memiliki toleransi dalam bermasyarakat. Mulai dari Tolikara hingga ke Singkil, berlanjut lagi di Bitung.
Apa jadinya jika konflik makin memanas lalu umat Islam yang mayoritas menjadi tersadar akan agamanya, akan pentingnya al Wala dan al Bara?
Jika pemerintah lamban, justru akan ada aksi balas membalas yang tak kalah keras di berbagai tempat karena perbedaan keyakinan.
Ada perbedaan signifikan antara umat Islam dalam membangun masjid/musholla dan umat Krisitani dalam membangun gereja.
Hal ini patut kita pahami untuk menjadi perhatian bersama. Umat Islam pada sebuah kampung kecil biasanya mencukupkan dengan membangun satu tempat ibadah atau satu masjid/musholla.
Paling banyak sekali 2 tempat ibadah, biasanya karena satu kelompok NU dan Muhammadiyah, tapi itupun tidak terlalu banyak terjadi.
Berbeda dengan Kristiani yang memiliki banyak jamaat / kelompok berbeda. Sehingga terkadang pada satu kampung kecil bisa berdiri tiga sampai lima gereja karena perbedaan aliran / jamaat tersebut.
Jika dalam kampung dengan 100 KK misalnya, pada kampung Muslim maksimal 2 masjid / musholla sementara kampung Kristiani bisa lebih 2 gereja. Di sinilah perbedaan yang perlu dipahami bersama.
Menurut saya, masyarakat Muslim tidak menolak gereja, tapi menolak jumlah gereja yang melampaui rasio pemeluknya, implikasi dari sulitnya umat Kristiani sendiri melebur pada kelompok Kristiani lain yang berbeda jamaat.
Sementara masyarakat kristiani menolak satu-satunya masjid/musholla yang dibangun di sebuah kampung, seperti Tolikara dan Bitung baru-baru ini.
Inilah yang perlu dipahami bersama antara pemerintah dan masyarakat agar membangun tempat ibadah sesuai rasio penduduknya, sehingga dapat mengurangi konflik intoleransi beragama yang berkembang beberapa bulan belakangan ini.
Salam,
Nugra – Abu Fatah