HIRUK pikuk pesta Demokrasi sepertinya akan terus menghiasi jagat politik Indonesia. Gelaran Pilkada kali ini wa bil khusus Pilkada DKI benar-benar menguras energi. Tak pelak jiwa ke-Indonesiaan yang telah terpatri sekian lama itu hari demi hari terkikis.
Kalimat-kalimat kotor, sumpah serapah, sikap menyombongkan diri, sampai duel ala “smackdown” tersedia di lini masa. Agama Allah dianggap seperti guyonan, padahal berkat rahmat Allah-lah Indonesia menghirup kemerdekaan. Mereka berani menantang banjir, seketika itu Ia kirimkan banjir di ibukota.
Ulama menjadi bahan olokkan, padahal di pundak mereka tugas kenabian di wariskan. Boleh saja ada yang bilang “Saya lebih sreg dengan ulama yang ini”. Pertanyaannya, siapakah ulama yang lebih tidak berkompromi terhadap kemaksiatan, yang lebih memerangi segala bentuk penjajahan yang kini dalam bentuk non fisik seperti ekonomi, sosial dan budaya. Yang lebih tidak bermesra dengan kekufuran.
Syariat dianggap budaya Arab. Lebih pantaskah dengan kebiasaan mengumbar aurat yang notebene dari Barat. Lebih cocokkah dengan sistem politik sekulerisme ala Plato, Aristoteles, Machiavelli, hingga Thomas Hobbes dari Eropa. Atau bahkan Karl Mark dari Rusia.
Lebih hebat manakah leberalisasi ekonomi ala Adam Smith yang mengakibatkan ketimpangan kesejahteraan, liberalisasi pemikirannya Mr. John Stuart Mill membidani kelahiran peniadaan sebutan kafir atau Muslim, Liberalisasi politik oleh John Locke yang melahirkan politisi opurtunis sekedar mementingkan perut.
Atau pilih sistem Ala Nabi terbimbing wahtu Ilahi? Merekalah orang-orang yang beriman pada Allah, Malaikat, kitab-kitab-Nya, pada Rasul-Rasulnya, dan Hari Akhir, qadha dan qadar, yang yakin akan hal ini.
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?.” (Al-Maidah 50)
Baca: Pandangan Sekuler Tentang Ketahanan Keluarga Tidak Pas Bagi Masyarakat Indonesia
Hukum Allah dituding mengancam kebhinekaan, ironisnya dimana kemampuan sekulerisme menjaga lepasnya sebagian wilayah. Kemana kredibilitas sekuler saat terjadinya pembakaran tempat-tempat ibadah. Bagaimana pula dengan bentroknya antar masyarakat berbagai Suku, Ras, dan Agama.
Bukan sekedar nostalgia, realitanya sistem Islam berhasil mensejahterakan, membuat aman, damai dan rukun rakyatnya baik muslim maupun bukan muslim selama berabad-abad lamanya dikenal dengan zaman keemasan (golden age), tidak ada sejahrawan yang sanggup menyangkal. Hal itu.
Sungguh, semua ini tampaknya perlu kita cermati dengan kaca mata yang jernih, kaca mata cinta. Kita merindukan Indonesia yang damai hidupnya rukun antar agama, sejahtera, aman. Apakah anda percaya Hukum Allah mempu menjadi solusi Indonesia? Jika Anda menganggukkan kepala, selamat! Anda masuk kategori orang-orang yang Yakin. Wallahu A’lam.*
Ali Mustofa