Salam,
Sebut saja namanya Pujito. Dia asli Surabaya. Kerja sehari-harinya sebagai tukang pemulung. Siang itu, lelaki paruh baya ini makan siang di sebuah warung di Surabaya bagian Timur. Tubuh gelapnya tampak letih. Cucuran keringat tampak jelas di sekujur tubuhnya.
Siang yang terik itu, Pujito mengayuh becak yang berisikan barang bekas itu. Hidup Pujito memang tergantung hasil pulunganya. Tak ada barang bekas berarti harus puasa. Sebab, hidup di zaman sekarang tak ada makan gratis. Semuanya bayar. Hatta buang air kecil pun.
Di Surabaya, di tempat saya sekarang tinggal, pemulung seperti Pujito banyak didapati. Hampir di tempat pembuangan sampah ada gubuk-gubuk kecil pemulung. Di pagi buta, mereka berkeliaran dari tong sampah ke tong sampah lainnya memungut sampah. Barang yang sebenarnya menjijikkan dan tidak dipakai lagi.
Itu baru sosok pemulung. Belum lagi pengemis, pengamen dan anak gelandangan. Di kereta api ekonomi, misalnya. Jika Anda naik, apa yang Anda lihat? Hampir tiap sepuluh menitnya ada pengemis. Mereka dari segala jenis umur: kecil, muda, tua hingga kakek-nenek. Bahkan ada yang cacat. Ini realitas nyata.
Ketika mereka kesusahan mencari makan, apa yang dilakukan pemerintah? Membantunya?
Pemerintah justru sibuk menggelindingkan bola panas isu reshuffle kabinet. Beberapa kurun waktu terakhir, berbagai media, baik elektronik dan cetak sibuk membicarakan isu memuakkan tersebut. Seolah-olah, pemerintah hanya bekerja untuk membagi-bagikan kekuasaan.
Bagi saya, sebagai rakyat kecil, ini adalah drama paling memuakkan.
Dan, ketika drama itu kian panas dan akan berending, eh ternyata tiba-tiba presiden tidak akan melakukan perombakan kabinet. Ini seperti lagu “Presiden yang memulai dan presiden yang mengakhiri.” Pantas saja, jika banyak pihak yang menuding jika presiden seolah sengaja membiarkan bola panas itu bergerak. Apa gunanya isu tersebut sengaja dihembuskan?
Padahal, di sela-sela isu tersebut, berbagai masalah terjadi. Seperti kelangkaan BBM di Riau dan Dumai, misalnya. Bisa-bisanya, di daerah yang kaya akan minyak itu justru kekurangan pasokan BBM. Walhasil, masyarakat di sana harus mengantri untuk membeli BBM dan otomatis mengganggu stabilitas perekonomian masyarakat.
Belum lagi untuk kasus korupsi, mafia pajak dan kasus hukum lainnya. Sebagai rakyat kecil, saya seolah tak habis pikir: secara subtantif, angket mafia pajak adalah untuk membongkar jaringan mafia pajak selama ini, tapi, kenapa justru gagal. Malah, partai yang tergabung dalam koalisi tersebut (PKS dan Golkar) partai yang mendukung hak angket tersebut ingin dikeluarkan dari koalisi karena dinilai tidak setia. Lantas, kesetiaan itu diukur dari apa?
Belum lagi tentang sembilan kebohongan yang dirilis lintas agama. Pemerintah, bukannya merespon dengan tindakan nyata, justru seolah menyerang balik. Sungguh miris melihatnya. Inikah potret pemerintah yang baik?
Karena itu, pemerintah sudah saatnya mengakhiri drama yang tak bermutu itu. Pemerintah harus membuat drama yang baik, memiliki nilai jual tinggi dan berending baik. Baik untuk pemerintah dan rakyanya. Tapi, kira-kira kapan, ya? Semoga ini bukan utopia rakyat jelata semata. Amin.
Saiful
Rakyat Kecil, tinggal di Surabaya