“Kesesatan Kaffah”
Tahun 2006, seorang pengagum liberalisme, Muhidin M Dahlan asal menulis buku “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, Memoar Luka Seorang Muslimah”. Seolah buku fiksi seperti ini ada manfaatnya bagi umat.
Tahun 2005, kumpulan artikel di Jurnal Justisia dari Fakultjas Syariah IAIN Semarang (edisi 25, Th XI, 2004), memuat tulisan; “Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual” (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005).
Tahun 2008, seorang dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Musdah Mulia “menghalalkan” penyakit sosial seperti homoseksual dan lesbian. Di Harian The Jakarta Post, edisi Jumat (28/3/2008) berjudul “Islam ‘recognizes homosexuality’ (Islam mengakui homoseksualitas). Ia berpendapat bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. (Homosexuals and homosexuality are natural and created by God, thus permissible within Islam).
Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama aurus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Tepatnya, ditulis oleh Koran ini: “Moderate Muslim scholars said there were no reasons to reject homosexuals under Islam, and that the condemnation of homosexuals and homosexuality by mainstream ulema and many other Muslims was based on narrow-minded interpretations of Islamic teachings,” tulis koran itu.
Seolah ingin mengatakan ada dalil dalam al-Quran atas kerusakan pikirannya, Direktur Indonesia Conference of Religions and Peace (ICRP) ini mengutip QS 49 ayat 3, yang menyatakan, salah satu berkah Tuhan adalah bahwasanya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi sosial atau pun orientasi seksual.
Kini, “kesesatan” tidak hanya milik Cecep atau Lia Aminuddin lagi di negeri ini. Bahkan sudah menjalar kalangan akademik bergelar profesor dan doktor. Sudah begitu, kesesatannya diback-up media mapan. Boleh dibilang, “kesesatan” di Indonesia kini sudah sudah ‘kaffah’.
Yang benar-benar menyedihkan, lembaga pengawal akidah umat seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) terus dirusak reputasinya oleh media massa besar dan umat Islam sendiri. Seolah ada yang ini, lembaga ini tidak lagi terhormat, tidak berwibawa. Bagaimana tidak, setiap mengeluarkan fatwa, mayoritas umat Islam di Indonesia diberi tempat melecehkan di media massa. Jika tidak begitu, media massa seperti TV membenturkan fatwa dengan orang yang tidak punya kapasitas mengeluarkan fatwa. Ada sebuah kesengajaan!
Padahal MUI itu kan kumpulan ulama. Orang-orang yang punya bidang keilmuan khusus tentang Islam. Mereka-mereka yang ada di MUI itu bukan orang-orang yang baru sekali-dua kali ikutan taklim lalu sok-sok’an mengeluarkan fatwa. Mereka itu orang-orang yang belajar Al-Quran dan Hadits sudah puluhan tahun, guru-guru mereka adalah ulama-ulama muktabar. Meskipun mereka bukan orang-orang yang bebas dari kesalahan, tapi didunia ini sedikit sekali kita bisa menemui orang-orang alim dan berilmu seperti mereka yang rela menjaga agama ini dari berbagai niat dan kejahatan yang terang-terangan atau tersembunyi.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dengan tulisan ini, saya bukan ingin merasa sok pintar sendiri lalu menganggap mereka semua bodoh. Bukan! Bukan itu maksud saya. Saya hanya terheran-heran betapa banyak kaum Muslimin di negeri ini yang ‘polos’ dan ‘awam’ yang setiap saat dikerjain media massa untuk melawan dan membenci para ulama nya sendiri. Semoga tulisan ini ada manfaatnya!*
Pengirim
Aditya Abdurrahman Abu Hafizh
Warga Kota Surabaya