“Konsentrasi tertinggi prajurit NATO di Afghanistan diiringi dengan konsentrasi tertinggi opium …. Situasi itu menyebabkan keraguan terkait misi anti-teroris dan mengarah pada kesimpulan mengenai konsekuensi bencana atas delapan tahun lamanya [pasukan koalisi menetap] di Afghanistan.”
~Kepala Pusat Pelayanan Federal Obat-obatan Rusia Viktor Ivanov, Januari 2010~
Oleh: Prof Michel Chossudovsk
Pengantar
Pasukan AS dan NATO menginvasi Afghanistan hampir 16 tahun lalu pada Oktober 2001. Dan telah menjadi sebuah perang yang terus-menerus ditandai dengan penjajahan militer AS.
Pembenarannya ialah “counter-terorisme”. Afghanistan ditetapkan sebagai sebuah negara yang mendukung terorisme, yang diduga bertanggungjawab karena menyerang Gedung WTC di Amerika, 11 September, 2011 atau dikenal dengan 9/11.
Perang di Afghanistan terus digembor-gemborkan sebagai sebuah perang balasan terhadap serangan 9/11. Tentara AS masih ada dan ditempatkan di Afghanistan hingga kini.
Argumen resmi yang digunakan oleh Washington dan NATO untuk menginvasi dan menduduki Afghanistan di bawah “doktrin keamanan kolektif” ialah bahwa serangan 11 September 2001 merupakan sebuah “serangan bersenjata” yang tidak dideklarasikan “dari luar negeri” oleh kekuatan asing tak bernama; yaitu Afghanistan.
Namun faktanya menunjukkan, tidak ada satupun pesawat tempur Afghanistan di langit New York, pada pagi 11 September, 2001.
Artikel berjudul asli ini, pertama kali dipublikasikan pada Juni 2010, menunjukkan “alasan ekonomi sebenarnya” mengapa pasukan AS-NATO menginvasi Afghanistan setelah 9/11.
Di bawah pakta keamanan Afghanistan-AS, yang dibuat berdasarkan poros Asia Obama. Washington dan partner NATOnya telah mendirikan sebuah kehadiran militer permanen di Afghanistan, dengan fasilitas-fasilitas militer berlokasi di dekat perbatasan Barat China. Pakta itu dimaksudkan supaya AS dapat mempertahankan sembilan markas militer permanen mereka, yang secara strategis terletak di perbatasan China, Pakistan dan Iran serta Turkmenistan, Uzbekistan dan Tajikistan.
Dalam perkembangan baru-baru ini, Presiden Trump dalam pidatonya di Kongres pada 28 Agustus 2017 berjanji untuk “menghancurkan dan meruntuhkan” kelompok-kelompok ‘teroris’ di Suriah dan Iraq serta di Afghanistan berdasarkan sebuah mandat counter-terorisme palsu.
Menurut Foreign Affairs (Majalah terkemuka yang mengulas analisis dan debat mengenai kebijakan luar negeri, politik dan hubungan dunia), “terdapat lebih banyak pasukan militer AS ditempatkan di sana [Afghanistan] daripada di zona pertempuran aktif lainnya” dan mandat mereka ialah mengejar Taliban, Al-Qaeda dan Ad Daulah Al Islamiyah Fil Iraq wa Syam (ISIS), yang didukung secara rahasia oleh intelijen AS.
Ada agenda geopolitik dan politik di Afghanistan yang membutuhkan kehadiran permanen tentara-tentara AS.
Selain cadangan gas dan mineralnya yang luas, Afghanistan dikenal memproduksi lebih dari 90 persen suplai opium dunia yang biasa digunakan memproduksi heroin tingkat 4.
Markas militer AS di Afghanistan juga diniatkan untuk melindungi perdagangan narkotik bernilai milyaran. Narkotika, saat ini, merupakan bagian utama dari ekonomi ekspor Afghanistan.
Perdagangan heroin, yang dibangun pada awal Perang Afghanistan-Soviet pada 1979 dan dilindungi oleh CIA, menghasilkan pendapatan tunai di pasar Barat lebih dari $200 miliar pertahun.
***
Pengeboman WTC pada 2001 dan invasi Afghanistan telah dihadirkan pada opini publik dunia hanya sebagai sebuah “perang”, perang yang yang dipimpin oleh Taliban dan Al-Qaeda, sebuah perang untuk memberantas “Terorisme Islam” dan mendirikan demokrasi gaya Barat.
Aspek ekonomi dari “Perang Global terhadap Terorisme” (GWOT) sangat jarang disebutkan. “Kampanye counter-terorisme” pasca 9/11 telah mengaburkan tujuan sebenarnya dari perang AS-NATO tersebut.
Perang di Afghanistan merupakan bagian dari sebuah agenda dalam mencari keuntungan: sebuah perang penaklukan ekonomi dan penjarahan, “sebuah perang sumberdaya alam”.
Baca: Tambah Pasukan, Amerika Ingin Keruk Kekayaan Tanah Aghanistan
Sementara Afghanistan diakui sebagai poros strategis di Asia Tengah yang berbatasan dengan mantan Uni Soviet, China dan Iran, dan berada di persimpangan jalur pipa dan cadangan gas dan minyak yang besar, kekayaan mineral serta cadangan gasnya yang belum dimanfaatkan karena belum diketahui oleh publik Amerika, hanya hingga Juni 2010.
Menurut sebuah laporan bersama Pentagon, Badan Survei Geologi AS (USGS) dan USAID, Afghanistan saat ini dikatakan memiliki cadangan mineral “yang sebelumnya tidak diketahui” dan belum dimanfaatkan, diperkirakan secara otoritatif bernilai satu triliun dollar (New York Times, U.S. Identifies Vast Mineral Riches in Afghanistan – NYTimes.com, 14 Juni, 2010, Lihat juga BBC, 14 Juni 2010).
“Simpanan yang sebelumnya tidak diketahui – termasuk lapisan besi, tembaga, kobalt, emas dan logam industri kritis seperti lithium yang besar – sangatlah besar dan mencakup begitu banyak mineral yang penting bagi industri modern sehingga Afghanistan sewaktu-waktu dapat bertransformasi menjadi salah satu dari pusat pertambangan paling penting di dunia, para pejabat Amerika Serikat mempercayai.
Sebuah memo internal Pentagon, sebagai contohnya, menyatakan bahwa Afghanistan dapat menjadi “Arab Saudinya lithium,” bahan baku utama dalam pembuatan baterai-baterai untuk laptop dan BlackBerry.
Cadangan kekayaan mineral berskala besar Afghanistan ditemukan oleh sebuah kelompok kecil berisi pejabat Pentagon dan beberapa geologis Amerika. Pemerintah Afghanistan dan Presiden Hamid Karzai baru-baru ini diberitahu, pejabat Amerika mengatakan.
Sementara dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun industri pertambangan, potensi tersebut sangat besar sehingga para pejabat dan eksekutif di industri itu percaya bahwa hal tersebut dapat menarik investasi besar bahkan sebelum pertambangan memberi keuntungan, memberikan kemungkinan pekerjaan yang dapat mengalihkan dari generasi perang.* >>> Bersambung artikel >> DUA | TIGA