Hidayatullah.com– Hari ini sudah satu bulan krisis etnis Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar terbaru yang memaksa 430.000 etnis untuk melarikan diri ke Bangladesh, sejak aksi kekerasan dan ‘pembersihan etnis’ Jumat, 25 Agustus 2017.
Ratusan orang masih ‘mempertaruhkan nyawa’ yang melintasi perbatasan negara tersebut sejak krisis militer Myanmar memulai pembalasan menyusul aksi gerilyawan Rohingya Arakan Rohingya Security Force/ARSA atau dikenal dengan Harakah al-Yaqin menyerang polisi.
Sejak tanggal tersebut Bangladesh menjadi penampungan para pengungsi Rohingya, termasuk setidaknya 240.000 anak-anak.
Jumlah tersebut adalah 300.000 pengungsi Rohingya tambahan yang berada di kamp pengungsi di sekitar Cox’s Bazar.
Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina mendapat pujian internasional saat membuka perbatasan negaranya untuk orang-orang yang tertindas.
Dalam pidato di Sidang Umum Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-72 di New York, Amerika Serikat (AS), Hasina mencatat, saat ini negaranya menjadi tempat berlindung bagi 800 ribu orang Rohingya.
Mereka dipindahkan dari Myanmar setelah pasukan militer menyerang dan membakar rumah-rumah penduduk.
Namun sambutan Bangladesh bisa cepat reda jika Sheikh Hasina dibiarkan sendiri tanpa bantuan internasional, kata para ahli.
Mereka memperingatkan, sikap terbuka Bangladesh akan segera hilang jika penyelesaian tuntas masalah Rohingnya masih gagal.
Mereka juga memperingatkan, sambutan hangat Bangladesh sejauh ini bisa dengan mudah mendingin jika solusi tidak ditemukan.
“Bangladesh tidak dapat menghadapi krisis ini sendirian,” ujar Champa Patel, kepala Program Asia di lembaga urusan internasional Chatham House di London, kepada kantor berita AFP.
“Bangladesh telah padat penduduknya, notabene mereka juga masih di ambang garis kemiskinan dan sudah menjadi tempat komunitas Rohingya yang tergabung secara historis. Meski saat ini Bangladesh ramah, hal tersebut dapat berubah jika situasinya menjadi berlarut-larut tanpa akhir yang jelas terlihat,” pungkasnya, sebagaimana dikutip dari Aljazeera, Senin (25/9/2017).
Profesor Zachary Abuza dari National War College, Washington mengatakan bahwa tidak satupun negara menunjukkan keinginan untuk terlibat dalam krisis tersebut kecuali beberapa demonstrasi yang diadakan oleh negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Indonesia.
China dan India yang memiliki pengaruh besar terhadap Myanmar menolak untuk campur tangan bahkan mendukung pemerintah Myanmar untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Baca: Amnesty Internasional: Myanmar Lakukan Pelanaggaran HAM Serius
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan adanya peningkatan risiko penyakit tahunan di kamp pengungsian Rohingya di negara tersebut dengan jalur di sepanjang perkemahan yang dipenuhi rumah tersebut.
Sekitar 43.000 pengungsi tersebar di 68 kamp dan pemukiman di sepanjang perbatasan tidak memiliki fasilitas air minum dan kebersihan yang aman.
Kamp-kamp tersebut juga menghadapi kekurangan pangan dan obat-obatan yang cepat yang menjadi salah satu permukiman pengungsi terbesar di dunia.
“Risiko penyakit bawaan air tinggi, terutama ada risiko kolera yang sangat tinggi dan inilah mengapa setiap orang khawatir,” kata WHO dalam sebuah pernyataan, dilansir AFP.
Sementara itu, pasukan Myanmar mengabarkan telah menemukan 28 mayat Hindu, 20 di antaranya perempuan dan delapan anak laki-laki di desa Ye Baw Kya di utara wilayah Rakhine dicurigai dibunuh oleh Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA), meski kelompok ini membantah tuduhan tersebut.
Krisis etnis minoritas Rohingya di Myanmar telah digambarkan sebagai bencana kemanusiaan terburuk selama satu dekade.

Pemerintah Myanmar telah mengkonfirmasi bahwa lebih dari 22 rumah dibakar dan sebuah ledakan bom di dekat sebuah masjid di desa-desa di mana etnis Rohingya di negara bagian Rakhine tinggal dan keesokan harinya sebuah bom diledakkan di luar sebuah masjid di desa Mi Chaung Zay di kota Buthidaung.
Komandan militer Myanmar Min Aung Hlaing memposting sebuah pernyataan melalui akun Facebook yang mengklaim bahwa gerilyawan ARSA yang menanam ranjau buatan sendiri dan meledak di antara sebuah masjid dan sebuah madrasah di utara Kota Buthidaung, Rakhine.
Dia juga menuduh, gerilyawan ARSA sebagai dalang insiden yang mencoba mengusir sekitar 700 penduduk desa yang tinggal di Mi Chaung Zay, namun para aktivis menganggapnya sebagai tuduhan yang tidak masuk akal.
Baca: Ulama Rohingya Syaikh Faizul Islam Dibunuh Serdadu Myanmar Saat Naik Perahu Menuju Bangladesh
Amnesty International telah mengkonfirmasi gambar terbaru dan video satelit yang menunjukkan asap dan rumah hangus, bertentangan dengan klaim oleh pemimpin defacto Myanmar Aung San Suu Kyi bahwa ‘operasi militer’ di wilayah itu telah berakhir.
Tujuh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Inggris juga telah meminta Sekjen PBB Antonio Guterres untuk mengadakan sebuah pertemuan dan pengarahan untuk membahas isu kekerasan yang berlanjut di Myanmar yang dianggap sebagai pembersihan etnis.
Wakil Presiden Amerika Serikat, Mike Pence mengaku bahwa Presiden AS Donal Trump mendesak agar PBB segera mengambil tindakan untuk mengakhiri kirisis Rohingya di Myanmar. AS menganggap kekerasan di negara tersebut sebagai ancaman di dalam dan luar kawasan, demikian dikatakan Pence.
Duta Besar Myanmar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Hau Do Suan membantah tuduhan ada pembersihan etnis di Rakhine utara. Ia mengatakan istilah pembersihan etnis adalah tuduhan serius dan hanya bisa diungkapkan dengan bukti kuat.
“Biar saya jelas. Presiden, tidak ada pembersihan etnik, tidak ada genosida. Para pemimpin Myanmar yang telah berjuang untuk kebebasan dan hak asasi manusia tidak akan mendukung hal tersebut. Kami akan melakukan segala-galanya untuk menghalang pembersihan etnis dan pembunuhan massal, ” euronews.com.
“Kami akan melakukan segalanya untuk mencegah penghapusan etnis dan genosida,” kata wakil tetap PBB untuk ASEAN ini.
Dia juga berjanji, akan membolehkan pengungsi kembali ke Myanmar setelah proses verifikasi dilakukan.
Para ahli menyatakan etnis Rohingya telah ada di wilayah itu sejak abad ke-15, sebelum Myanmar ada. Namun, menghadapi penindasan dan ditolak kewarganegaraan oleh pemerintah Myanmar, dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh hingga saat ini.
Muslim Arakan dibantai dan etnis mereka dihapuskan sejak Burma mencuri Arakan tahun 1784. Mereka ingin mengubah Arakan menjadi daerah Buddhis yang berpengaruh di Myanmar. Bahkan lebih dari 1,5 juta etnis Muslim Rohingya dipaksa keluar dari tanah air mereka ketika junta militer berkuasa sejak 1962.
Masalah yang sudah berjalan sebulan ini masih belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian secara menyeluruh. Diharapkan para pemimpin dunia, khususnya Indonesia dan umat Islam untuk segera membantu memberikan solusi lebih nyata.*