Opini oleh Dr Amira Abo el-Fetouh
Hidayatullah.com | PERSATUAN negara-negara Muslim menjadi satu kesatuan telah menjadi mimpi bagi umat Islam di timur dan barat selama hampir 100 tahun, sejak jatuhnya Kekhalifan Ottoman setelah Perang Dunia I dan pembagian wilayahnya kepada negara-negara kolonial pemenang. Perjanjian Sykes-Picot 1916 membagi wilayah Muslim menjadi negara, emirat dan negara kecil, dengan para penjajah menggegoroti tulang belulang Ottoman seperti hyena, menjarah kekayaan mereka dalam prosesnya.
Hari ini, tidak ada yang membela atau berbicara atas nama Khalifah, karena semua orang terkait dengan negara-negara kolonial itu, yang memastikan untuk menunjuk agen mereka sebelum mereka meninggalkan negara-negara jajahan untuk dikelola atas nama mereka daripada terlibat langsung dengan rakyatnya. Ini memungkinkan para penjajah untuk tetap menjaga pengambilan keputusan di tangan mereka sendiri, dengan penguasa baru yang tidak lebih dari boneka.
Apa yang disebut “kemerdekaan” adalah kebohongan terbesar dalam sejarah, karena kekuatan kolonial tidak pernah pergi. Istilah menarik ini digunakan untuk menipu generasi 1950an dan 1960an, ketika dengan kemerdekaan ini, krisis meningkat dan negara baru tidak menikmati kekayaan mereka. Para penjajah, sementara itu, terus menjarah sumber daya lokal seperti yang mereka lakukan sebelum “kemerdekaan”.
Dengan seringnya pembantaian, perang dan serangan militer, rakyat di kawasan itu telah dikalahkan, dengan sedikit atau bahkan tidak sama sekali hak sipil; penindasan semakin marak, karena setiap boneka bersaing untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada tuan kolonial mereka. Tenggelam dalam rawa-rawa pengkhianatan, rakyat sedang dan telah kehilangan nilai-nilai beradab. Di mana setelah mereka mendominasi dunia ilmu pengetahuan dan penemuan sementara Barat berada dalam ketidaktahuan dan “Zaman Kegelapan”, hari ini peran tersebut terbalik.
Organisasi Konferensi Islam didirikan pada tahun 1969 setelah seorang warga negara Australia, Denis Michael Rohan, membakar Masjidil Aqsha di Jerusalem yang terjajah dan demonstrasi kemarahan terjadi di semua negara Muslim menuntut pembalasan dan pembebasan kota. Organisasi itu percaya bahwa pihaknya bisa menenangkan suara Muslim sebagai suara kolektif dunia Islam. Organisasi itu menyatakan tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan vital umat Islam. Konstitusinya berbicara tentang memperkuat solidaritas dan kerja sama antara negara Muslim di bidang sosial, ilmu pengetahuan, budaya, ekonomi, dan politik. Organisasi yang saat ini disebut sebagai Organisasi Kerjasama Islam itu, adalah anggota tetap PBB, mewakili 57 negara di dunia Arab, Afrika, Asia, anak benua India dan Balkan.
Lima puluh tahun setelah pendiriannya, cukup masuk akal untuk bertanya apa yang telah dilakukannya terhadap masalah-masalah di lapangan. Apa yang telah OKI lakukan terhadap pemerintah Muslim yang menindas warga Muslim mereka sendiri? Apa yang telah organisasi lakukan untuk membantu Muslim Rohingya di Myanmar, Muslim Uighur di China, Muslim Kashmir, dan sekarang Muslim di India, apalagi Palestina?
Apa yang dilakukan OKI terhadap Jerusalem yang terjajah? Sangat ironis sekali bahwa para pendiri memutuskan Jeddah sebagai markas sementara untuk organisasi itu, menunda pembebasan Jerusalem, di mana markas permanennya akan berada. Putra Mahkota Arab Saudi yang arogan, Mohammad Bin Salman, telah bekerja dengan para Zionis di Israel dan AS untuk melucuti Palestina di Jerusalem, memberitahu Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas untuk melupakan sepenuhnya Jerusalem dan menerima Abu Dis sebagai ibukota negara Palestina di masa depan. Penasihat Gedung Putih menegaskan bahwa Trump telah berunding dengan para pemimpin Arab, termasuk Putra Mahkota Arab Saudi, sebelum mengakui seluruh Jerusalem sebagai ibu kota Israel, yang oleh mereka semua, tampaknya, disetujui. Oleh karena itu, tidak ada keberatan yang diajukan oleh negara-negara Arab ketika Trump mengumumkan keputusannya dan memindahkan Kedutaan Besar AS ke Kota Suci tersebut.
Organisasi gagal ini, yang dijalankan oleh Arab Saudi dan keinginan Zionisnya, sekarang mengutuk pertemuan tulus dan jujur umat Islam yang setia kepada Ummat, yang dihadiri oleh para pemimpin yang memiliki tekad dan kemauan keras, dan ingin menyelesaikan krisis dan masalah mereka untuk membebaskan dunia Muslim dari penindasan dan mengembalikan peradabannya yang terhormat.
KTT Kuala Lumpur yang diadakan pada minggu lalu adalah inti dari mimpi Muslim itu. Dunia Arab dan Muslim sangat membutuhkan kepemimpinan baru untuk membawa mereka maju sebagai blok negara yang besar. Inisiatif oleh Perdana Menteri Malaysia Dr Mahathir Mohamad dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk mengadakan KTT Islam adalah langkah penting untuk mencapai aspirasi-aspirasi Muslim.
Gagasan untuk KTT muncul di sela-sela Majelis Umum PBB pada September lalu, ketika pemimpin Malaysia itu bertemu dengan Erdogan dan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan. Malaysia juga menjadi tuan rumah pertemuan para intelektual dan aktivis pada tahun 2014 yang mengusulkan ide dan solusi praktis untuk menyelesaikan permasalahan Muslim di seluruh dunia. Ironisnya, Khan tidak menghadiri KTT itu setelah tekanan dari Bin Salman di Riyadh, yang tampaknya mengancam akan mendeportasi empat juta pekerja Pakistan dari Arab Saudi dan menggantinya dengan pekerja Bangladesh, serta menarik simpanan Saudi dari Bank Negara Pakistan. Itu yang diungkapkan oleh Erdogan. Dia juga mengatakan dalam sebuah konferensi pers bahwa posisi seperti itu diadopsi oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab bukanlah yang pertama kali dari jenisnya. Dan, saya meyakini, juga tidak akan menjadi yang terakhir.
Presiden Indonesia juga absen dari KTT, hanya mengirim Menteri Luar Negerinya, setelah tekanan yang sama dari Arab Saudi dan UAE dan rezim Zionis mereka yang tidak menginginkan Ummat menjadi lebih baik dan bahkan berkonspirasi melawannya.
Arab Saudi ingin memimpin dunia Muslim karena “penjagaannya” atas Dua Masjid Suci Makkah dan Madinah. Dan tidak membiarkan negara lain untuk mengambil posisi ini dari mereka; rezim Saudi akan, Saya meyakini, menghancurkan tempat-tempat ibadah ini daripada membiarkan siapapun mengambil “kepemimpinan” ini. Rezim Saudi memandang Turki sebagai kompetitor kuat di dunia Muslim dan Arab, dan begitu memusuhi Turki dan berkomplot melawan Erdogan, sama seperti mitranya, Uni Emirat Arab. Keduanya diyakini terlibat dalam kudeta gagal tahun 2016 di Turki.
Saudi mengirim Menteri Luar Negeri mereka ke Cyprus sebelum KTT dan mengumumkan bantuan finansial dan politiknya kepada negara itu. Disusul dengan Putra Mahkota UEA yang mengumumkan dukungan negaranya untuk Cyprus. Mereka meyakini, dengan bodohnya, bahwa tindakan kekanak-kanakan semacam itu akan menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional Turki, dan bahwa dukungan mereka kepada Kurdi di Suriah utara akan melakukan hal yang sama.
Meskipun begitu, KTT yang dimaksudkan untuk menghasilkan tindakan daripada hanya pembicaraan tidak memerlukan kehadiran para presiden atau perdana menteri secara langsung. Kita telah memiliki cukup banyak pemimpin yang berfoto bersama sementara mereka saling berkomplot satu sama lain, membuat pernyataan menggebu-gebu atau manis dan kemudian pergi sebelum konferensi berakhir. Hadirnya pemimpin dalam pertemuan itu hanyalah masalah protokol; perjanjian cenderung dibuat antar menteri. Menteri Ekonomi Malaysia menunjukkan bahwa Pakistan dan Indonesia absen dari Kuala Lumpur, tetapi kerja sama, kesepakatan dan hubungan antara keduanya dan mereka yang hadir ada setiap hari dan tidak akan rusak.
Tidak diragukan lagi bahwa kehadiran Presiden Iran Hassan Rouhani sangatlah berharga, karena membuat KTT semakin berbobot, dan membuatnya non-sektarian. Negara-negara Muslim, baik Sunni dan Syiah, sedang bekerja bersama untuk membentuk pondasi bagi entitas Muslim kuat yang akan menjadi kekuatan efektif di dunia, yang sedang direstrukturisasi dan dipetakan kembali.
Secara keseluruhan, negara-negara yang menghadiri KTT mewakili populasi gabungan lebih dari 600 juta orang yang meliputi wilayah antara Eropa dan Asia yang lebih dari 6 juta kilometer persegi. Negara-negara ini juga berada di dalam peringkat 50 teratas dalam hal PDB. Persamaan dari mereka semua adalah bahwa ekonomi mereka tidak bergantung kepada sumber daya alam (kebanyakan dari mereka tidak memiliki minyak), tetapi lebih kepada sumber daya manusia dan produksi. Mungkin inilah sebabnya KTT Kuala Lumpur bertema “Peran Pengembangan dalam Mencapai Kedaulatan Nasional”.
Para partisipan mendiskusikan solusi terbaik dan paling efektif – dan dapat diterapkan – bagi permasalahan yang dihadapi Ummat Islam dalam konteks pemahaman modern dan komprehensif untuk mencapai nilai-nilai tertinggi Islam dan kedaulatan nasional. Mereka berupaya mencapai banyak tujuan, yang paling menonjol adalah mengembalikan kejayaan peradaban Islam.
Dr Mahathir Mohamad merangkum hal ini dalam pidatonya dengan mengatakan bahwa umat Islam perlu mencari solusi untuk menghentikan perang, pengusiran, pembantaian dan tirani di dunia. Juga dibutuhkannya kerja sama antar negara Muslim dalam bidang teknologi, industri militer dan perdagangan, yang Malaysia, Turki dan Pakistan maju dalam bidang-bidang ini. Tidak kalah pentingnya, kata pemimpin Malaysia ini, mekanisme-mekanisme harus dirumuskan untuk menantang Israel atas kejahatannya terhadap rakyat Palestina.
Presiden Recep Tayyip Erdogan menambahkan pemberantasan kemiskinan di dunia Muslim dengan pengumpulan Zakat dan membagikannya dengan adil kepada orang-orang yang membutuhkan. Tatanan dunia baru, kata dia, juga dibutuhkan agar lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB tidak memiliki hak untuk mengendalikan 1,7 miliar umat Islam yang merupakan seperempat populasi dunia. Pada akhirnya, kata Erdogan, umat Islam perlu mencari pijakan pada peta dunia mengingat perubahan global yang terjadi dalam aliansi-aliansi internasional.
Dua tujuan lain ditambahkan oleh Emir Qatar, Syeikh Tamim bin Hamad Al-Thani. Pengembangan, dia menekankan, adalah pilar dasar kemerdekaan dan kedaulatan nasional. Ini berarti pengembangan rakyat harus didahulukan agar mereka membangun tanah mereka, dan kedaulatan nasional berarti kebebasan dalam membuat keputusan. Solusi harus ditemukan, tambah sang Emir, pada perang ideologi terhadap umat Islam di Barat sehingga citra Islam yang sebenarnya dapat dihadirkan. Penghasutan terhadap Islam dan Muslim telah menjadi alat bagi politisi Barat untuk mencari suara.
Ini adalah tujuan besar yang Saya harap dapat diterjemahkan ke dalam praktik di lapangan; itulah tantangan terbesar yang dihadapi KTT Kuala Lumpur. Saya terhibur dengan kata-kata Dr Mahathir Mohamad ketika dia mengungkapkan bahwa Malaysia, Iran, dan Turki sedang mendiskusikan bagaimana melakukan transaksi keuangan antar mereka menggunakan emas dan sistem barter sebagai bentuk perlindungan terhadap setiap sanksi yang dikenakan kepada mereka di masa depan.
KTT Kuala Lumpur tidak diragukan lagi hanyalah langkah pertama dalam jalan panjang, sulit dan berduri untuk menyatukan kembali Ummat, menyatukan posisinya, melindungi darah umat Islam dan bekerja demi kebangkitan kembali, kehormatan dan kemerdekaan. Siapapun yang mencintai Ummat harus mendukung hal ini.
Uni Eropa adalah sebuah contoh bagi kita, yang dimulai dengan hanya tiga negara tetapi para pemimpinnya memiliki keinginan, kemauan dan tekad untuk meraih mimpi mereka. Mereka mampu, melalui perdagangan, untuk menarik negara lain, hingga, 50 tahun kemudian, menjadi entitas besar seperti yang kita ketahui saat ini, yang bersatu dalam sikap dan mata uang, meskipun semua perbedaan yang dimiliki setiap anggota negaranya. Berkat kepemimpinan yang bijak, perbedaan umumnya dapat diatasi. Jika kita memiliki kepemimpinan bijak seperti yang didemonstrasikan oleh Dr Mahathir Mohamad dan Recep Tayyip Erdogan, maka kita akan dapat meraih mimpi-mimpi kita.
Akankah Barat memperbolehkan negara-negara Muslim membentuk sebuah aliansi Muslim internasional untuk menghadapi negara adidaya dan memajukan dunia Islam? Ini bisa dibilang tantangan terbesar yang akan dihadapi para partisipan KTT Kuala Lumpur. Ini adalah sesuatu yang Saya ingin diskusikan dalam artikel Saya selanjutnya.*
Artikel dimuat di Middle East Monitor 24 Desember 2019