Apa benar era Amerika Serikat telah berakhir? Apa saja yang sedang terjadi? Sebuah catatan oleh lembaga penelitian HAntarbangsa
Oleh: Dzikrullah
Hidayatullah.com | WARTAWAN The Atlantic Tom McTague mewawancarai beberapa tokoh Eropa, benua yang sejak Perang Dunia II menggantungkan keamanannya pada Amerika Serikat. Diantaranya ia bertanya kepada Michel Duclos, bekas Duta Besar Prancis untuk Suriah yang masih berhubungan baik dengan dunia diplomasi, “Apakah pemerintah negara-negara Eropa membicarakan kemungkinan ambruk mendadaknya Amerika Serikat dan akibat-akibatnya bagi Eropa?”
Duclos menjawab, “Kami tak pernah berhenti membicarakannya.”
Eropa, yang menurut McTague semakin bergantung energinya kepada Russia, perdagangannya kepada China, dan keamanannya kepada Amerika, sedang sangat cemas akan kemungkinan “mendadak ambruk”-nya Amerika Serikat.
Sejak hampir 10 tahun silam, para pengamat hubungan internasional dan geopolitik telah menunjukkan tanda-tanda menurunnya kekuatan dan pengaruh Amerika Serikat di dunia. Setelah hampir seabad mendominasi geopolitik global, AS nampaknya sedang mengalami tahun-tahun lemah yang pernah dialami Kerajaan Britania Raya di tahun 1950-an.
Britania kehilangan kekuasaan atas Terusan Suez, Mesir tahun 1956. Urat nadi perdagangan yang menghubungkan Samudera Hindia lewat Laut Merah dengan Benua Eropa lewat Laut Mediterania (1956). Redaktur Mint Press News Alan McLeod mencatat 10 kejadian yang dialami AS tahun ini:
- Saudi Pilih China dan Russia: Arab Saudi yang selalu taat kepada AS, menyambut kunjungan musuh perang dagang AS Presiden Republik Rakyat China Komunis merangkap Sekjen Partai Komunis China Xi Jinping laksana kaisar penguasa dunia, setelah sebelumnya menolak tuntutan Joe Biden untuk meningkatkan produksi minyak. Pada saat yang sama, Saudi memilih bekerja bersama Russia Putin, melalui OPEC+, untuk mengurangi produksi.
- Kaum Anti-Imperialisme Amerika memenangkan pemilihan umum di berbagai negeri Amerika Latin. Setelah memenangkan kursi kepresidenan di Brazil, Lula da Silva berusaha mengganti dollar Amerika dengan mata uang lain sebagai alat niaga dan menyalahkan Amerika sebagai biang kerok perang Ukraina.
- Keanggotaan poros perdagangan BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) diperkirakan akan meluas setelah Saudi, Aljazair, dan Iran mempertimbangkan untuk bergabung. Organisasi Korporasi Shanghai yang dipimpin China juga telah memasukkan Iran sebagai anggota baru.
- Qatar negeri kecil sebesar provinsi Gorontalo yang selalu berada di bawah perlindungan AS menolak pengetatan harga atas produk minyak dan gas bumi Russia.
- Singapura dan Vietnam memilih netral di tengah perang dagang antara Amerika dan China, dan menandatangani kesepakatan-kesepakatan bernilai besar dengan China. Pemimpin Vietnam juga berkunjung ke Beijing dan memperbarui kemitraan antara kedua negeri.
- Melawan sanksi Amerika, India meningkatkan pembelian produk-produk energi Russia, bahkan mulai melakukan pembayaran dalam mata uang Yuan. Nilai impor barang dari China ke India juga meningkat cepat.
- Setelah kudeta parlementer yang didukung Amerika Serikat terhadap pemerintahan Pemerintahan Imran Khan, perdana menteri baru Pakistan mengunjungi Beijing dan memperbarui komitmen Pakistan kepada China dalam pembangunan Koridor Ekonomi China-Pakistan sebagai bagian One Belt One Road Initiative.
- Bank-bank Swiss mulai meninggalkan Amerika. Pada pertemuan puncak perbankan di awal November yang berlangsung di Hong Kong, Pemimpin Group UBS AG Colm Celleher menyatakan dirinya tak membaca media-media Amerika, dan memilih untuk “Pro-China”.
- Kanselir Jerman Olaf Scholz berkunjung ke China, dan sedang dalam proses bernegosiasi dengan Putin untuk mengakhiri perang di Ukraina. Sikap Jerman ini diduga kuat akan berpengaruh luas ke negara-negara Eropa lainnya.
- Russia tidak terasingkan. Ekonomi Russia tidak mengalami kehancuran bahkan tidak juga mundur, seperti yang diharapkan Amerika Serikat melalui sanksinya saat Perang Ukraina. Malahan mata uang Rubel semakin menguat.
Apakah semua ini berarti era Amerika Serikat segera berakhir? Jawabnya, bisa ya bisa tidak. Seberapa cepat? Tiada yang tahu secepat apa ambruknya Imperium Uni Soviet yang berumur 69 tahun.
Menurut Kantor Berita Aljazeera pangkalan militer Amerika Serikat dalam berbagai ukuran dan bentuk masih hadir di 730 titik di seluruh dunia. Tapi selama hampir dua dekade terakhir, China lebih memilih medan “pertempuran” selain militer. Presiden Republik Rakyat China Komunis Xi Jinping mengakui, “Terobosan teknologi telah jadi medan pertempuran utama dalam panggung dunia, dan persaingan dalam penguasaan teknologi akan berkembang semakin keras di masa mendatang.”
Robert D. Atkinson, pendiri dan presiden Information Technology and Innovation Foundation mengulas di Foreign Policy, bahwa perang ekonomi berbeda dengan persaingan ekonomi. Kanada dan Amerika Serikat, contohnya, bersaing dalam ekonomi dan saling faham bahwa landasan persaingan adalah hubungan saling menguntungkan secara global.
Sebaliknya, China telah melancarkan serangan-serangan keras terhadap kemampuan-kemampuan teknologi dan industri Amerika Serikat. Rencana Jangka Menengah dan Panjang Beijing yang dilancarkan tahun 2006, serta strategi “Made in China 2025” yang dilancarkan Xi Jinping merupakan diantara serangan terbuka terhadap dominasi Amerika Serikat dalam industri dan teknologi.
Kedua proyek raksasa itu bukan saja telah mencapai kemandirian teknologi yang belum pernah dicapai oleh China sebelumnya, namun telah mengetatkan akses pihak asing terhadap industri-industri vital China, semakin luasnya pencurian-pencurian teknologi dari berbagai negara, pemaksaan alih teknologi, penguasaan pasar-pasar industri dunia dan lain-lain.
Perang ekonomi bukan hal baru. Sejak 1900 sampai 1945, Jerman menghalalkan berbagai cara untuk memperluas dominasi ekonomi-politik-militernya. Tapi apa yang dilakukan China dalam satu dekade terakhir jauh lebih raksasa, tulis Atkinson. Serangan-serangan China yang terus meningkat sengaja didesain untuk melumpuhkan ekonomi Amerika dan mengubahnya jadi negara yang akan mentaati apapun yang didiktekan oleh China.
Dalam segala hal, China adalah kebalikan Amerika Serikat. Secara politik, kebudayaan, ekonomi, dan militer. Russia, India, Turkiye dan beberapa negara sedang berlomba bersiap menempati oposisi-posisi baru di dunia pasca-dominasi Amerika Serikat. Bagaimana dengan Indonesia?*
Penulis adalah watawan, artikel ini terbit atas kerjasama Suara Hidayatullah dengan lembaga riset dan kolaborasi Hantarbangsa