Oleh: Cemal Guzel
Hidayatullah.com | PADA pekan lalu, 3 Juli, 2020 menandai peringatakan kudeta militer yang dilakukan di Mesir tujuh tahun yang lalu. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa itu mengajarkan kita banyak hal. Tak perlu dikatakan lagi bahwa manusia adalah makhluk pelupa, namun ada peristiwa yang tidak boleh kita lupakan demi negara kita dan hari esok, peristiwa-peristiwa yang bahkan bisa berarti pengkhianatan prinsip-prinsip masa depan jika kita menyingkirkan mereka dari pikiran kita.
Diantara peristiwa-peristiwa penting ini adalah kudeta militer di Mesir. Bagaimana kudeta ini terjadi, proses yang menghasilkan kudeta, mereka yang merencanakan kudeta, dan bagaimana kudeta ini menginjak-injak demokrasi adalah kenyataan yang tidak boleh kita lupakan.
Banyak dari mereka meletakkan dasar yang menyebabkan kudeta hari ini hidup dalam rasa malu. Namun, mereka harus tahu bahwa generasi-generasi yang akan datang yang membawa nama mereka juga akan menjalani kehidupan di bawah bayang-bayang rasa malu ini.
Mereka yang hari ini melihat diri mereka perkasa akan melihat hari-hari ketika orang-orang memanggil mereka untuk bertanggung jawab. Di Turki, mereka yang merebut kendali pemerintahan pada 12 September 1980, tampil di depan pengadilan tiga dekade kemudian dan mendapat konsekuensi atas tindakan pengkhianatan terhadap negara mereka. Nama Kenan Evren, kepala Staf Jenderal selama kudeta yang kemudian menjadi presiden, dihapus dari jalanan. Dia menjalani tahun-tahun terakhirnya dengan rasa malu dan aib.
Selama bertahun-tahun, Turki telah mengalami berbagai kudeta militer oleh jaringan pengkhianat dalam militer dan pendukung mereka di media, bisnis dan kehidupan sipil yang mengejar bermacam kepentingan mereka.
Dalam kudeta militer 27 Mei, 1960, Perdana Menteri Adnan Menderes – orang yang mengantar era baru ke dalam Turki dengan ratusan proyek inisiatif di berbagai bidang termasuk industri, pertanian, kesehatan dan transportasi – serta Menteri Keuangan Hasan Polatkan dan Menteri Luar Negeri Fatin Rustu Zorlu, semuanya dieksekusi mati.
Para pelaku kudeta mengajukan alasan-alasan semu. Mereka, dan pendukung mereka di media, berusaha meyakinkan rakyat bahwa itu bukanlah kudeta militer namun sebuah revolusi. Tetapi ini semua sia-sia. Selama bertahun-tahun rakyat mencucurkan air mata untuk perdana menteri dan dua rekannya yang tidak bersalah.
Sekarang para pelaku kudeta dan anak-anak mereka hidup dalam rasa malu. Mereka bahkan menyembunyikan nama mereka.
Di sisi lain, bertahun-tahun kemudian makam almarhum perdana menteri dibawa ke Jalan Vatan di Istanbul. Ini adalah nasib yang ironis bahwa Jalan Vatan juga dibangun oleh mendiang Perdana Menteri Adnan Menderes.
Bentuk demokrasi terburuk lebih baik dari pada kudeta militer apapun. Kami orang Turki telah mengakui hal ini dengan hidup melalui dua kudeta, dua memorandum militer, dan sebuah upaya kudeta. Kudeta telah merugikan Turki dan rakyatnya hingga puluhan tahun. Pengalaman ini berada di balik penolakan publik terhadap upaya kudeta 15 Juli, 2016.
Sayangnya, sekarang Mesir mengalami pengalaman ini dalam bentuk paling vitalnya. Mirip dengan apan yang terjadi di Turki pada tahun 1960, kalangan militer dan anti-demokrasi yang mendukung kudeta mengatakan itu adalah revolusi rakyat, bukan kudeta. Sebuah kebohongan yang kurang ajar, sebuah kebenaran yang akan lebih baik dipahami begitu demokrasi berlaku di Mesir.
Orang-orang di negara modern sangat sadar bahwa itu adalah kudeta militer. Tidak masuk akal bagaimana media Mesir –sebuah alat propaganda pelaku kudeta yang memiliki reputasi buruk di seluruh dunia– berupaya menipu rakyatnya. Semua orang melihat dengan jelas fakta-fakta yang ada. Laporan kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional menunjukkan apa yang terjadi di Mesir adalah kudeta militer.
Sangat penting bagi kami untuk menganalisis proses menjelang kudeta 2013. Jelas bahwa kudeta itu tidak direncanakan di Mesir tetapi di ibukota AS dan Eropa.
Keputusan untuk menyingkirkan Mohamed Morsi dari kekuasaan, termasuk Ikhwanul Muslimin, diambil pada tahun 2012 tidak lama setelah dia terpilih sebagai presiden. Ini terjadi karena jika langkah ilegal ini tidak diambil, angin demokrasi yang berhembus ke seluruh negara Arab dan Teluk tidak akan dapat dihentikan.
Pondasi-pondasi harus ditancapkan terkait ini dan oposisi internal diperlukan. Sebuah platform yang disebut Front Keselamatan Nasional dibentuk.
Barisan ini terdiri dari tiga kelas berat: Pemimpin Arus Populer Mesir Hamdin Sabahi, Amir Musa, menteri luar negeri era Mubarak, dan Mohamed ElBaradei, mantan kepala Badan Energi Atom Internasional. Media dan miliader Mesir adalah kelompok pendukung terbesar dari ketiganya. Seperti di Turki, kelompok-kelompok kiri adalah pendukung garis keras kudeta.
Demonstrasi yang dilancarkan pada 22 November, 2012, memiliki satu tujuan: Menyingkirkan Morsi dan Ikhwanul Muslimin dari pemerintahan dengan segala cara. Bahwa 51,73% rakyat telah memilihnya tidak ada artinya di mata mereka. Ketika presiden terpilih menyerukan pertemuan dialog nasional pada 8 Desember, 2012, mereka semua memboikotnya.
Proyek berbulan-bulan mereka untuk meningkatkan ketegangan akhirnya membuahkan hasil dan mencapai puncaknya pada 3 Juli, 2013 ketika militer mengumumkan telah merebut kendali pemerintahan. Kudeta telah dilakukan, dan presiden dan menteri-menteri pemerintah yang dipilih oleh 51,73% rakyat disingkirkan, dengan Morsi mengumumkan dia tidak menerima kudeta. Kemudian dia ditahan dan dimasukkan ke dalam tahanan rumah.
Rakyat Mesir turun ke jalan untuk memprotes kudeta. Para penjaga demokrasi dimulai di lapangan terbesar di Kairo itu. Militer Mesir ingin rakyat meninggalkan jalanan dan pulang. Namun, orang-orang itu, yang melindungi eksperimen demokratis mereka yang belum berusia setahun, menolak kudeta. Sangat disayangkan bahwa para penjaga demokrasi ini tidak didukung oleh negara Barat manapun.
Pada 16 Agustus, militer Mesir menembaki para penjaga demokrasi ini dan melakukan pembantaian besar-besaran. Korban terbunuh diperkirakan lebih dari 2.000. Human Rights Watch memberikan penghitungan resmi pada angka 930. Satu detail penting di sini, yaitu bahwa tentara Mesir tidak sendirian saat menembaki warga sipil tanpa pandang bulu. Beberapa elit sekuler Mesir juga mengambil bagian dalam pembantaian ini dengan senjata di tangan mereka. Contoh paling jelas dari ini adalah foto terkenal aktor film Tarek al-Mahdi melepaskan tembakan dengan senjatanya.
Tepuk tangan paling keras untuk kudeta datang dari AS, Eropa, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Israel. Seolah-olah mereka semua menarik nafas panjang dan kemudian berhenti berceramah tentang demokrasi.
Semua negara ini juga mendukung upaya kudeta yang digagalkan di Turki pada 15 Juli, 2016. Ketika rakyat bangkit untuk menghentikan kudeta, selama berhari-hari deretan negara ini membisu. Negara-negara yang sama saat ini mendukung komandan pemberontak Khalifa Haftar di Libya.
Tujuh tahun terakhir pasti telah mengajarkan kita banyak pelajaran. Yang terbesar mungkin adalah bagaimana negara-negara Barat yang sama yang dengan keras memberikan kuliah tentang demokrasi dan kebebasan di seluruh dunia tiba-tiba kehilangan prinsip mereka ketika datang ke kepentingan mereka atau Israel. Selama tujuh tahun terakhir, kami jelas melihat bahwa advokasi mereka untuk demokrasi adalah omong kosong.
Pelajaran terbesar yang harus kita ambil dari ini adalah bahwa kita harus selalu melindungi demokrasi, apa pun risikonya.* Artikel diambil dari Anadolu Agency