Pada periode kedua pemerintahannya sejak Agustus 2021 lalu, Taliban berusaha menampilkan “wajah baru”, mengevaluasi kesalahan masa lalunya
Oleh: Dhurorudin Mashad
Hidayatullah.com | TALIBAN adalah murid-murid madrasah Islam Deobandi. Tetapi Deobandisme yang dipraktikkan Taliban pada periode pemerintahannya dulu (1996-2001), berbeda dengan praktik di bagian lain Asia Selatan.
Kala itu Deobandisme-nya ada campuran dengan Pashtunwali, plus praktik politiko-kultural yang diilhami dari Arab Saudi. Pengaruh Saudi saat itu memang cukup kuat, yang masuk melalui jalur bantuan dana sejak era Mujahidin melawan Soviet (1979-1989), era konflik internal antar-Mujahidin (1990-1995), bahkan sampai ketika Taliban muncul sebagai kekuatan politik alternatif (1994) dan berlanjut ketika menjadi penguasa Afghanistan (1996).
Pada periode ini, pengetahuan Taliban tentang dunia luar masih tergolong “minim”. Ketergantungannya pada satu-satunya sumber yang dimiliki adalah Pashtunwali yang ditafsirkan sebagai Islam “yang benar”.
Pashtunwali sebenarnya bukan bagian dari Islam, tetapi Islam diambil oleh kaum Pashtun menjadi tambahan prinsip, dan hal itu telah menjadi bagian dari budaya mereka. Dengan kata lain, Pashtun telah memeluk Islam, dan dengan cara sendiri telah menyerapnya ke dalam prinsip Pashtunwali.
Seberapa banyak tafsir hukum Islam oleh kaum Pashtun sehingga mereka “berutang” pada syariah, dan sebaliknya seberapa banyak mereka berutang pada Pashtunwali, telah menjadi perdebatan di antara banyak teolog Muslim, baik dari Afghanistan sendiri maupun dari luar.
Pada saat itu, Taliban yang dibesarkan di luar tanah airnya (baca: Pakistan) belum sepenuhnya menyadari apa implikasi Pasthunwali. Dengan demikian ketika secara tiba-tiba memberlakukannya pada subjek non-Pashtun, akhirnya menimbulkan gelombang resistensi, seperti pernah dilakukan kelompok Aliansi Utara.
Masyarakat Afghanistan memang multietnik. Terdiri atas Pasthun 38%, Tajik 25%, Hazara 19%, Uzbek 6%, Aimaq 4%, dan Baluchi 0,5%. Taliban memang didominasi Pasthun, dan Aliansi Utara menolak penerapan prinsip Pashtunwali. Sikap ini melahirkan perpecahan antara utara dan selatan serta antara Pashtun dan non-Pashtun.
Lebih problematik lagi, praktik Pashtunwali-Wahabi dalam konteks global telah menyebabkan tampilnya wajah politik Taliban yang tekstual, kaku, keras alias intoleran. Seluruh dunia kemudian “menjadi tertarik” untuk mengetahui setelah “perlakuan kasar” mereka terhadap perempuan dan kaum minoritas. Padahal sebelum menaklukkan Kabul, Taliban sempat dianggap sebagai agen perubahan dan stabilitas oleh dunia. Bahkan, tidak ada yang keberatan dengan aturan dan metode pemerintahan mereka di daerah yang didominasi Pashtun di mana massa sepenuhnya mengenal aturan Pashtunwali.
Wajah Baru
Taliban kini tampaknya telah mengevaluasi “kelemahan” masa lalunya. Pada periode kedua pemerintahannya sejak Agustus 2021 lalu, mereka berusaha menampilkan “wajah baru”.
Beberapa hari sebelum menduduki Kabul, pimpinan Taliban (14 Agustus 2021) telah mengeluarkan pernyataan resmi antara lain:
- Fakta bahwa berbagai wilayah telah berada di bawah kendali Imarah Islam Afghanistan, menjadi bukti bantuan Allah sekaligus fakta dukungan Imarah.
- Imarah Islam akan melindungi kehidupan, harta, dan kehormatan semua warga serta menciptakan kedamaian.
- Semua aset umum akan dilindungi, sebab seluruhnya adalah amanah dan milik bangsa.
- Mereka yang sebelumnya bekerja dan membantu penjajah, yang berada dalam jajaran administrasi Kabul yang korup, akan diberi amnesti, serta diajak untuk datang mengabdi kepada bangsa dan negara.
- Personil militer dan sipil yang tergabung dalam Imarah Islam dengan cara yang tepat sesuai kemampuan dan bakat akan diangkat untuk mengabdi pada negara dan bangsa.
- Di bawah kendali Imarah Islam, semua orang harus menjalani kehidupan normal, sehingga tak seorang pun harus meninggalkan daerah dan negara mereka. Afghanistan adalah rumah bersama yang akan dibangun dan melayani bersama.
- Imarah Islam membantah berbagai publikasi palsu, propaganda kebohongan dari pemerintah Kabul, bahwa Taliban memaksa menikahi putri-putri warga, Mujahidin membunuh tahanan dan tawanan, dan tuduhan kebohonngan lainnya. Propaganda atas nama Imarah Islam, sangat tidak wajar dan tidak logis, karena hal itu bertentangan dengan prinsip Islam.
- Imarah Islam Afghanistan tidak tertarik untuk merampas properti pribadi (seperti mobil, tanah dan rumah, toko). Perlindungan terhadap nyawa dan properti justru menjadi tanggung jawab Taliban.
- Siapapun yang terpengaruh propaganda musuh, untuk mengungsi di dalam negeri ataupun ke luar negeri, resmi maupun sipil, diserukan untuk pulang, sebab kehidupan, harta, dan kehormatan mereka akan dilindungi.
- Imarah Islam menginstruksikan kepada Mujahidinnya untuk tak memasuki rumah siapapun tanpa izin. Nyawa, harta, dan kehormatan harus dilindungi.
- Semua pihak yang menyalahgunakan nama Mujahidin (Taliban) untuk melecehkan atau menyakiti orang, hendaknya segera dilaporkan ke Komisi Pengaduan dan Pengaduan Imarah Islam.
- Pengusaha, industrialis, dan investor dipesan untuk menjalankan bisnis secara normal untuk melayani bangsa. Imarah Islam akan menyediakan lingkungan yang aman dan kondusif untuk bisnis mereka.
- Imarah Islam berjanji untuk tidak membuat masalah bagi negara tetangga. Diplomat, kedutaan besar, konsulat, dan pekerja amal, internasional atau nasional akan disediakan lingkungan yang aman.* (bersambung)
Peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)