Hidayatullah.com | PADA hari Ahad, 5 September 2021, Bentala Tamaddun Nusantara menyelenggarakan acara online bertajuk “Tasyakuran 90 Tahun Prof. Naquib Al-Attas” yang menghadirkan pembicara yang merupakan murid langsung Prof. Al-Attas, yaitu: Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dan Dr. Khalif Muammar. Tulisan ini akan berfokus pada potongan terakhir dari Gus Hamid (Prof Dr Hamid Fahmy) terkait kedatangan Al-Attas ke Indonesia, terkhusus ketika dihadapkan dengan Cak Nur dalam suatu diskusi.
Kata Gus Hamid, Al-Attas pada waktu mungkin tidak begitu tahu situasi di Indonesia, Cak Nur menuduh Al-Attas tidak mengerti teologi dan seterusnya. Putra KH. Imam Zarkasyi ini menduga keras bahwa bisa jadi Cak Nur belum membaca Islam dan Sekularisme karya Al-Attas.
Jelas ada kontradiksi antara keduanya. Jika Al-Attas menentang habis sekularisme; sebaliknya Cak Nur malah memasarkannya. Maka kata Gus Hamid, “Tidak pararel diskusi antaara Al-Attas dengan Cak Nur. Karena Cak Nur muridnya (Fazlur) Rahman, dan Rahman adalah kawannya Al-Attas.”
Selain itu, Prof. Hamid juga menyinggung bahwa wartawan pada waktu itu, ada indikasi bahwa Cak Nur akan diunggulkan dibanding Al-Attas. Kemudian Ustadz Hamid menutup kesan dan pesan beliau terkait Al-Attas.
***
Tulisan ini akan berfokus pada dua poin penting: Pertama, mengenai kunjungan intelektual Prof. Al-Attas di Indonesia. Kedua, secara khusus tentang berlangsungnya dialog antara Al-Attas dan Cak Nur. Al-hamdulillah, penulis memiliki beberapa sumber liputan dari beberapa majalah, yaitu: Panji Masyarakat, Kiblat dan Suara Masjid, yang kesemuanya adalah majalah berbasis Islam.
Menurut sumber yang penulis punya, sebelum Al-Attas berdialog dengan Cak Nur dan kawan-kawan, beliau juga pernah berkunjung ke Indonesia pada tahun 1971. Saat berdiskusi di Teater Arena, Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM). Kala itu beliau menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra pada Universitas Kebangsaan Malaysia.
Pada waktu itu beliau menyampaikan ceramah ilmiah berjudul “Penulisan Sejarah Kesusastraan Melayu.” Untuk detail hasil diskusi dan dinamika dialog acara ini, bisa ditulis pada kesempatan lain. Yang jelas, menurut keterangan di majalah Panji Masyarkat (No. 74, Thn. V/1971: 26-27) terdapat perbedaan pandangan dalam beberapa hal dengan tokoh Indonesia waktu itu seperti HB. Jassin, H. Kasim Mansur dan lain-lain. Meski demikian, dalam penutup liputan disebutkan, “Pada umumnja pokok2 tjeramah dan pendekatan Dr. Naquib, tjukup besar artinja dan manfaatnja bagi penjelidikan sedjarah sastra Indonesia dan Melaju.”
Kenjuang selanjutnya ke Indonesia, penulis dapati dalam Majalah Kiblat (No. 3, Thn. XXVII/1979: 31-32) dengan tajuk utama “Ta’rif Ilmu dan Tujuan”. Waktu itu beliau juga sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Kebangsaan Malaysia.
Beliau berbicara dalam Seminar Sistim Pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggakaran oleh BKS-Perguruan Tinggi Islam dan Swasta. Seminar ini berlangsung di Hotel Sahid Jaya. Redaksi Kiblat juga mewawancari beliau saat di Hotel Sahid, tempat beliau menginap. Inti seminar ini tentang pendidikan dan Al-Attas punya Pilot Proyek sebuah universitas dengan sistim Islam dan metode Islam. (Kelak kita melihat benar-benar mendidikan lembaga tinggi pendidikan yang disebut ISTAC, yang begitu dihormati oleh dunia internasional).
Dalam majalah Suara Masjid (No. 58, Thn. V/1979), seminar yang dihelat di hotel Sahid ini diperjelas bahwa ini diselenggarakan dari tanggal 13-16 Mei 1979. Seminar ini menghasilakan beberapa keputusan yang diserahkan kepada Menteri Agama RI. Saat itu ketua Panitia Seminar adalah Drs. Yusuf A. Faisal.
Kunjungan intelektual selanjutnya, adalah pada tahun 1987. Dalam majalah Panji Masyarakat (No. 531, Thn. XXVIII/1987: 15-23) dengan judul besar “NAQUIB AL-ATTAS VERSUS NURCHOLISH MADJID”. Pada pertengahan Januari 1987 banyak mendapat undangan dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga Islam. Salah satunya yang disebutkan adalah diskusi di Lembaga Studi Agama dan Filsafat pada tanggal 14 Januari. Dalam diskusi ini, beliau menyinggung tema skularisasi yang sama sekali berbeda dengan Cak Nur. Jika Cak Nur membedakan skularisasi dengan sekularisme, Al-Attas justru itu terkait dan tak terpisahkan.
Pada diskusi itu juga, Al-Attas juga menyinggung masalah penerjamahan la ilaaha illallah ala Nur Cholish Madjid yaitu : Tidak ada tuhan (huruf kecil) selain Tuhan (dengan huruf besar). Dalam pandangan Al-Attas, Allah tidak bisa diartikan dengan Tuhan atau God. Tidak ada tafsir yang memadai dalam bahasa lain untuk menjelaskan maknanya. Beliau sendiri menerjemahkan: “Tiada tuhan selain Allah.” Maka ide Cak Nur itu, menurutnya, sudah terkontaminasi dengan sekularisasi.
Dibahas juga dalam diskusi itu ciri-ciri paham sekular di antaranya: menafikan hal mutlak. Pembahasan lain yang tak kalah menarik tentang maraknya reaktualisasi ajaran Islam dan tanggapan Al-Attas terhadapnya, hingga pada tema besar terkait punya tidaknya Islam mengenai konsep kenegaraan.
Setelah itu, diadakan wawancara khusus dengan Prof. Al-Attas dan Cak Nur secara terpisah. Yang ditugasi mewancarai Al-Attas adalah M. Syafi’i Anwar dan Badri Yatim. Di situ Al-Attas menjelaskan bahwa isu pemikiran Islam Indonesia tidak fundamental. Salah satu komentar pendiri ISTAC ini, “Saya berpendapat, banyak persoalan yang dilontarkan para pemikir Islam di Indonesia, tidak fundamental. Mereka hanya menyerang fikih, golongan fikih yang lemah. Mereka ini sudah mengikuti cara-cara Barat, karena itu harus disadarkan bahwa harus berdasarkan nilai-nilai Islam.”
Ketika Badri Yatim mewancarai Cak Nur, ada beberapa tanggapan yang beliau berikan pada Al-Attas. Judul besarnya “Argumen Al-Attas Sulit Dipertahankan”. Di antara yang disoroti sempitnya Al-Attas dalam memahami syariat hanya pada ranah hukum, konsep adabnya Al-Attas (maksudnya pendidikan dengan ta’dib) itu dianggap tidak ada dasarnya justru yang ada dasarnya adalah tarbiyah dan sebagainya.
Di akhir wawancara Dr. Nurcholish berkata, “Apa yang diungkapkan oleh Al-Attas adalah suatu ijtihad juga. Kita harus menghargainua. Dan di mata Tuhan, ia mempunyai kredit tersendiri. Kalau benar, ia dapat pahala dua, kalau salah ia dapat satu. Sesuai dengan falsafah ijtihad sebagaimana diajarkan Nabi.”
Rupanya, debat terbuka melalui wawancara Panji Masyarakat pada tahun 1987 ini sangat membekas, terutama pada Prof. Al-Attas. Beliau tidak puas dengan debat di halaman terbatas itu. Maka pada tahun berikutnya (1988) pengajian Empathy (Kajian yang digerakkan Abdurrahman Wahid / Gusdur) pada hari Kamis tanggal 20 Oktober di Gedung Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia di Jakarta menyampaikan pembelaan atas kritik yang dilontarkan Cak Nur pada tahun 1987 itu. Dalam acara itu, hadir tokoh-tokoh seperti Quraihs Shihab, Cak Nur, KH. Ali yafie. (Baca: Majalah Panji Masyarakat, No. 592, Thn. XXX/1988: 48-53).
Di awal penjelasan Al-Attas mengetakan, “Apa yang sesungguhnya saya maksudkan dalam perbincangan kita sebelumnya, saya harap tidak menjadi masalah-masalah yang dimain-mainkan. Karena apa yang kita perbincangkan masalah-masalah yang amat serius, dan berkait dengan agama, masyarakat, dan nasib kita serta anak-anak kita. Oleh karena itu, saya minta supaya ada keadilan, yaitu meletakkan sesuatu itu pada tempatnya yang wajar. Kalau tidak, itu sudah merupakan kezaliman. Saya tidak mau, apa yang ingin saya katakan ini dibuat semacam karikatur dan dianggap main-main.”
Dalam diskusi ini Al-Attas menjawab tentang berbagai persoalan seperti: kritik atas pembaharuan moedel Fazlur Rahman, reaktualisasi Islam di Indonesia, kata Allah sebelum Islam yang sudah dipakai zaman jahiliyah, termasuk juga meng-clear-kan masalah dalam polemik dengan Natsir pada tahun 1987, seperti masalah sekularisasi, bahasa terkait Allah, aqidah ‘Asyairah, ilmu dan lain-lain yang pernah dilontarkan Cak Nur sebagai kritik atas Al-Attas. Sayangnya, meski Nur Cholish ikut dalam acara ini, tapi ia datang terlambat sehingga hanya mengomentari apa yang bisa dikomentari.
Ketika Cak Nur diberi kesempatan untuk menanggapi, sebagaimana dugaan Dr. Hamid, rupanya Cak Nur belum pernah membaca karya Al-Attas sebelumnya sehingga timbul kesalahpahaman. Demikian juga Al-Attas, tuturnya, belum pernah membaca karya Cak Nur sehingga miskomunikasi rentan terjadi.
Mengenai Fazlur Rahman, Nurcholish mengakui ia gurunya, tapi ia juga berkata, “Tak perlu harus sama. Menurut saya, Fazlurrahman tidak bebas dari kesalahan. Dia tidak kenal ilmu-ilmu sosial.” Dalam masalah akidah, Cak Nur sepakat dengan Al-Attas. Sedangkan dalam masalah penggunaan istilah Allah yang dikritik Al-Attas, Cak Nur tetap bersikukuh pada pendapatnya. Katanya, itu persoalan semantik, meski begitu bukan berarti Cak Nur ingin menghilangakan kata Allah karena sudah menjadi bahasa Indonesia juga. Sebelum ditutup, Al-Attas menyela, “Ini bukan hanya soal semantik, tetapi ini adalah soal makna. (Kalau demikian) lama-lama orang bisa keliru,” pungkasnya.
Kemudian, sebagai moderator Dr. Quraish Shihab menyimpulkan, permasalahan yang menyangkut kata Allah, “Cak Nur benar, sejauh menyangkut akar kata (semantik), Prof. Naquib Al-Attas benar berkenaan dengan makna, dan kita mengamalkannya.”
Sebenarnya, tujuan diselenggarakannya acara ini agar berlangsugn dialog terbuka yang cerdas, dan menukik pada masalah yang dianggap kabur dan krusial. Sayangnya tak sepenuhnya terwujud karena Cak Nur datang terlambat. Akhirnya, dialog tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan.
Diskusi ini menggambarkan bahwa antara Al-Attas dan Cak Nur, dari awal sudah memiliki titik pandang yang berbeda. Jadi susah untuk dicari titik temu. Apalagi, Cak Nur datang tak tepat waktu. Maka dalam akhir liputan majalah Panjimas No. 592 yang bertajuk utama “Pembelaan Alatas terhadap Cak Nur” ada pertanyaan: “Apa masih terbuka bagi kesempatan serupa di masa depan?” Rupanya, sampai Nur Cholis meninggal, harapan itu tinggal menjadi harapan.*/Mahmud Budi Setiawan