Hidayatullah.com | DI Iraq, koalisi partai-partai yang dijalankan oleh Muqtada Al Sadr, yang dikenal sebagai blok Sadrist, dipersiapkan untuk memainkan peran King Maker. Ia mengorganisir basis pendukung yang besar untuk mengamankan lebih dari 70 kursi di Dewan Perwakilan yang beranggotakan 329 orang.
Seperti dalam pemilihan nasional terakhir pada tahun 2018, Al Sadr tampaknya mendapat manfaat dari jumlah pemilih yang sangat rendah, kata Komisi Pemilihan Tinggi Independen Iraq.
Al Sadr dan AS
Latar belakang dan kebijakan Al Sadr menempatkannya sebagai favorit di antara mereka yang memprioritaskan kedaulatan dan kemerdekaan Iraq dari intervensi Iran dan keterlibatan AS di negara itu. Pemilihan Umum Iraq menunjukkan keuntungan bagi blok Muqtada Al Sadr saat suara akhir telah dihitung.
Saat Saddam dijatuhkan tahun 2003, oleh invasi pimpinan AS, Al Sadr pernah mengatakan pada 60 menit CBS: “Ular kecil telah pergi dan ular besar telah datang,” demikian kata Al Sadr, mengacu pada Amerika Serikat (AS).
Gerakan Sadrist yang diciptakan oleh ayah dan ayah mertuanya – keduanya dibunuh oleh rezim Saddam – membedakan dirinya dari gerakan keagamaan Syiah lainnya dengan berfokus pada membantu rakyat Iraq yang paling miskin, daripada hanya menghabiskan waktu untuk menghakimi masalah-masalah ulama.
Ini memenangkan banyak pendukung setia mereka selama pemerintahan Saddam Hussein sebelum 2003, ketika ekonomi Iraq runtuh di bawah sanksi internasional. Sebagai penganut Syiah, mereka melihat AS dan sekutu baratnya berusaha mengubah masyarakat Iraq dengan cara yang bertentangan dengan doktrin unik mereka tentang sosialisme dan kesalehan agama.
Jutaan orang Iraq, terutama petani Syiah miskin dari Iraq selatan dan pengungsi lokal Syiah yang melarikan diri ke daerah kumuh selama pemberontakan yang kacau melawan Saddam pada 1990-an, dengan sungguh-sungguh mengikuti perintah Al Sadr untuk melawan apa yang disebutnya “pendudukan”.
Sebagai imbalan, gerakannya mendukung keluarga miskin, sementara loyalis Sadr menyerang AS dan pasukan internasional lainnya, termasuk Angkatan Darat Inggris. Gerakan tersebut akhirnya memaksa Angkatan Darat Inggris mundur dari kota kaya minyak Basra, tahun 2007.
Ini adalah langkah yang terlalu jauh untuk saingan beratnya, Perdana Menteri saat itu Nouri Al Maliki. Di mana kala itu, Al Maliki memerintahkan tentara Iraq untuk merebut kembali kota itu.
Al Sadr kemudian melarikan diri ke Iran selama beberapa tahun, sebelum kembali ke Iraq berjanji untuk memainkan peran sebagai pemimpin politik, bukan lagi panglima perang.
Penculikan Muslim Sunni
Selama invasi pimpinan AS, milisi bersenjata Al Sadr, Jaish Al Mahdi, melakukan perlawanan sengit terhadap pasukan asing dan secara luas dituduh melakukan penculikan massal dan pembunuhan ribuan warga sipil. Menurut The National, kebanyakan mereka adalah kelompok Sunni yang dituduh memiliki hubungan dengan Partai Baath.
Banyak korban berada di tempat yang salah pada waktu yang salah. Sementara kaum Syiah yang menentang milisinya juga diancam atau dibunuh.
Episode yang paling terkenal selama saat itu adalah pengambilalihan Jaish Al Mahdi dari Departemen Kesehatan pada tahun 2006. Menteri Kesehatan Ali al-Shemari menyalahkan Muqtada al-Sadr karena milisinya Jaih Al Mahdi dipersalahkan karena membunuh dari Muslim Sunni.
Jaish Al Mahdi dituduh membunuh kelompok Sunni dan saingan lainnya di bangsal rumah sakit. Kehidupan warga Iraq, terutama di Baghdad dan kota-kota di pusat negara itu, menjadi semakin tidak dapat dipertahankan. Banyak sekolah gagal dibuka pada bulan September, dan para profesional terutama profesor, dokter, politisi, dan jurnalis jatuh ke pembunuh sektarian dengan kecepatan yang menakjubkan.
AFP melaporkam aksi balas dendam telah dilaporkan terjadi pada kelompok Sunni oleh Syiah. PBB menyebutkan jumlah pembunuhan pada Oktober lebih dari tiga kali lipat, sebanyak 1.216 dan 840 lebih banyak dari 2.870 anggota militer AS yang tewas selama perang.
Hubungannya dengan Iran dan milisi Syiah
Sadar akan kontroversi yang berkembang seputar gerakannya, Muqtada Al Sadr mencoba di tahun-tahun berikutnya untuk menggambarkan dirinya sebagai non-sektarian dan mendukung pasukan resmi pemerintah, daripada kebanyakan milisi di Iraq. Tapi dia tidak pernah sepenuhnya memutuskan hubungan dengan kelompok paramiliter Syiah.
Al Sadr juga telah menjalin hubungan dengan berbagai pemimpin Sunni sejak kekerasan sektarian yang mengguncang negara itu antara tahun 2005 dan 2009. Pada hari Senin, dia memperbaharui sambutannya di semua kedutaan di Iraq selama mereka menghindari urusan internal dan proses politik Iraq.
Dalam pidatonya, Al Sadr juga menikam milisi “perlawanan” gadungan yang didukung Iran. “Bahkan jika mereka yang mengklaim perlawanan atau semacamnya, sudah waktunya bagi rakyat untuk hidup damai, tanpa pendudukan, terorisme, milisi dan penculikan,” katanya dalam pidato yang disiarkan televisi.
Hamdi Malik, seorang rekan di Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat, mengatakan pidato Al Sadr menekankan “Iraq” dari bloknya.
“Dia menyebut bloknya yang terbesar dan menggambarkannya sebagai ‘blok Iraq, bukan timur atau Barat’, mengacu pada Iran dan Amerika Serikat,” kata Dr Malik.
Partai Al Sadr mengklaim kemenangan dalam pemilihan nasional dan para pendukungnya merayakannya di jalan-jalan Baghdad pada Senin malam, meskipun penghitungan suara sedang berlangsung. “Hari ini adalah hari kemenangan rakyat melawan pendudukan, normalisasi, milisi, kemiskinan, dan perbudakan,” kata Al Sadr, merujuk pada normalisasi hubungan dengan ‘Israel’.
Salah satu sikap politik kontroversial Al Sadr lainnya adalah posisinya terhadap Suriah. Ia pernah menyerukan Presiden Bashar Al Assad untuk mundur pada tahun 2017, meskipun kelompok Syiah lainnya justru mendukung Bashal al Assad.*