China juga bertekad untuk membangun soft diplomacy-nya dengan menyebarkan pengajaran bahasa China ke dunia Arab
Oleh: Pizaro Gozali Idrus
Hidayatullah.com | KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) China dan Negara-negara Arab untuk pertama kalinya diselenggarakan pada Jumat 9 Desember 2022 lalu di Riyadh, Arab Saudi.
KTT China-Arab ini menjadi sejarah baru bagi hubungan China dengan Timur Tengah bidang keamanan, energi, hingga ekonomi. Sebanyak 21 negara anggota Liga Arab peserta KTT berharap dapat berpartisipasi dalam Belt Road Initiative (BRI) Beijing, yang menghubungkan Asia ke Afrika, melalui dunia Arab.
Presiden Xi Jinping mengatakan China dan negara-negara Arab selama ini sudah menikmati sejarah panjang. Menurut Xi, Timur Tengah juga sedang mengalami perubahan baru dalam perannya di dunia internasional, terutama dalam bidang perdamaian global. Menteri Luar Negeri Wang Yi mengatakan pada bulan Oktober bahwa Arab Saudi adalah “prioritas” dalam strategi diplomatik China secara keseluruhan dan regional.
Merenggangnya hubungan AS-Arab
Namun poros baru yang dibentuk China dan Arab sejatinya merupakan langkah Beijing untuk menggeser pengaruh AS di Timur Tengah. Kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Riyadh ini dilakukan tiga bulan setelah Presiden AS Joe Biden mengunjungi Riyadh di tengah krisis energi yang disebabkan oleh perang Rusia di Ukraina. Kunjungan terakhir Xi ke Arab Saudi dilakukan pada tahun 2016.
Kita ketahui bersama negara-negara Teluk adalah sekutu lama Amerika Serikat. Baik dalam bidang keamanan dan ekonomi, AS selama ini menjadi jantung utama dalam kerja sama ekonomi dengan dunia Arab. Tanpa peran serta AS, ekonomi dunia Arab tidak akan banyak berkembang.
Namun hubungan AS dan Arab Saudi perlahan mulai merenggang. Hubungan kedua sekutu ini memburuk usai Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPECCovid) memutuskan mengurangi produksi minyak.
OPECCovid merupakan organisasi yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia. Badan itu mengurangi produksi minyak hingga dua juta barel per hari untuk menstabilkan pasar energi global.
Keputusan ini dikecam oleh Amerika Serikat. Seorang pejabat AS bahkan sempat meminta Washington menangguhkan penjualan senjata dengan Riyadh. AS juga menuduh Saudi mendukung Rusia dengan meningkatkan keuntungan di sektor minyak negara itu dan membuat Moskow bisa membiayai perang di Ukraina.
AS dilaporkan membatalkan pertemuan dengan Saudi dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), sementara pejabat AS tak diundang ke konferensi investasi Saudi pada akhir Oktober.
Para pejabat AS diam-diam berusaha membujuk Arab Saudi selaku mitra terbesarnya di Timur Tengah agar menolak gagasan pengurangan produksi minyak tersebut. Akan tetapi, penguasa de fakto Arab Saudi, Putra Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman (MBS), tidak terpengaruh oleh bujukan Washington itu.
Apalagi MBS dan Biden sempat terlibat perselisihan selama kunjungan Biden ke Jeddah pada Juli lalu. Perselisihan itu muncul lantaran presiden AS itu mengungkit-ungkit kembali kematian jurnalis Washington Post, Jamal Khashoggi.
Motif ekonomi China menggeser AS
China menyadari betul dinamika hubungan AS dan Arab. Hal inilah yang mendorong Beijing untuk masuk di tengah rivalitasnya dengan Washington. Di satu sisi, AS mencoba mengalihkan fokus ekonominya dari Timur Tengah ke Indo-Pasifik.
China adalah negara yang haus energi dan Arab menyumbang 17 persen impor minyak kepada negara raksasa Asia itu pada 2021. Negara-negara Teluk juga merupakan surga bagi supply minyak secara internasional.
Hubungan simbiosis mutualisme ini pada gilirannya memperdalam ikatan ekonomi antara China dan negara-negar Timur Tengah. Xi Jinping mengatakan Beijing akan terus mengimpor minyak dalam jumlah besar dari negara-negara Teluk Arab dan memperluas impor gas alam cair.
Kemesraan baru dengan China sebabnya dianggap sebagai pergeseran haluan ke Asia, antara lain demi diversifikasi ekonomi yang masih ditopang sektor energi. Pada tingkat bilateral, China menjalin kemitraan strategis komprehensif dengan Aljazair dan Mesir pada 2014, dengan Arab Saudi pada 2016, UEA pada 2016.
China juga menjalin kemitraan strategis dengan Qatar pada 2014, Irak pada 2015, Maroko pada 2016, dan dengan Oman dan Kuwait pada 2018. Pada Januari 2022, 20 negara Arab telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan China di bawah Belt Road Iniative di berbagai bidang yang meliputi energi, investasi, perdagangan, keuangan, infrastruktur, dan teknologi tinggi.
Arab Saudi adalah pengekspor minyak mentah China. Mereka juga menyatakan tekad untuk mengembangkan kerja sama dan koordinasi di bidang pertahanan, serta terus bekerja sama dalam memerangi terorisme dan pendanaannya.
Media-media pemerintah Saudi melaporkan, kedua negara menandatangani kesepakatan senilai USD30 miliar selama kunjungan Xi. Dilaporkan Arab News, antara 2005-2020, Arab Saudi menerima porsi terbesar investasi China di Dunia Arab. Arab Saudi mendapatkan porsi 20,3 persen atau senilai USD196,9 miliar dari investasi China di kawasan tersebut.
Pada kunjungan terkini, Saudi-China akan menandatangani 20 perjanjian senilai 110 miliar riyal. Ada juga agenda harmonisasi Vision 2030 dari Arab Saudi dan Belt and Road Initiative dari China.
Kedua negara turut bersiap meluncurkan SABIC-Fujian Petrochemical Industrial Group, sebuah joint venture senilai 22,5 miliar riyal. SABIC yang dimiliki oleh Saudi Aramco memiliki 51 persen saham.
Selain itu, Xi menyatakan China lebih tertarik membeli minyak dan gas dalam mata uang Yuan, yang merupakan kebijakan China untuk menetapkan mata uangnya secara internasional guna melemahkan cengkeraman dolar AS pada perdagangan dunia. China juga bertekad untuk membangun soft diplomacy-nya dengan menyebarkan pengajaran bahasa China ke dunia Arab.
Paul Sullivan, analis Timur Tengah dari Atlantic Council, mengatakan bahwa KTT China-Arab merupakan bagian dari uupaya China menebar propagan dadan citra yang baik ke dunia Arab. Namun upaya China mendorong agar AS menarik diri dari kawasan tersebut, diprediksi tetap tidak berhasil.
Menurut dia, banyak perusahaan AS berbisnis di Mesir, Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya, sementara Armada ke-5 AS dan Angkatan Udara AS masih ada di Pangkalan Udara Al-Udeid di Arab Saudi.
Investasi China di dunia Arab hanya sebagian kecil dari keseluruhan investasi China di dunia, yang sebagian besar masih dan akan tetap berada di Asia. Negara-negara Arab harus melangkah dengan waspada, kata Sullivan.
Problem dunia Islam yang tidak selesai
Meski China dan negara-negara Arab sepakat dalam KTT untuk melawan Islamfobia, persoalan muslim Uighur yang tertindas di Xinjiang sama sekali tidak disentuh. Xi Jinping juga menyerukan dukungan bagi bangsa Palestina, namun di saat bersamaan abai dalam menjamin hak-hak etnis Uighur di negaranya.
Diamnya China dan Arab dalam KTT terkait persoalan Uighur memang sudah bisa diprediksi. Sebab semangat dalam KTT lebih pada muatan ekonomi sekaligus membangun tembok tebal agar antara dunia Arab dan China tidak ikut campur urusan dalam negeri masing-masing.
“Arab Saudi dan China menegaskan akan saling mendukung kerja sama antara kedua negara tanpa mencampuri urusan dalam negeri satu sama lain,” ucap Xi.
Sebelumnya, lebih dari 50 kelompok Uighur mendesak kepala negara dan pemimpin organisasi internasional yang bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Arab Saudi untuk mengutuk kejahatan kekejaman China terhadap Uighur. Mereka mendesak penghentian genosida di wilayah Xinjiang.
Mereka mengatakan otoritas China telah menghancurkan atau merusak ribuan masjid dan kuburan di Xinjiang, yang oleh orang Uighur disebut sebagai Turkistan Timur.
Mereka juga melarang praktik keagamaan seperti memberi nama Islami kepada anak-anak, berpuasa selama bulan suci Ramadhan, dan memaksa Muslim untuk makan daging babi dan minum alkohol.
Peneliti Center for Islam and Global Studies. Mahasiswa Doktoral International Relations Universiti Sains Malaysia