Sambungan artikel PERTAMA
Berbeda dengan Prof Dr Fazlur Rahman yang mengusung pemikiran liberalisasi Islam, Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attasia diakui sebagai tokoh yang sangat gigih menentang sekulerisasi. Bukunya berjudul Islam and Secularism (diterbitkan pertama kali pada 1978) menjadi rujukan penting dalam memahami dan mengkritisi gagasan sekulerisme dan sekulerisasi. Buku al-Attas ini terbukti sangat berpengaruh dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Banyak yang mengakui kedua tokoh tersebut sebagai pemikir besar dan genius. Tetapi mereka saling “bertarung.” Fazlur mengusung liberalisasi Islam, sedangkan al-Attas menentang keras. Sebaliknya, Fazlur menolak Islamisasi ilmu yang diusung al-Attas. Ibaratnya mereka seperti gajah bertarung melawan gajah.
Uniknya, Wan Daud pertama kali bertemu al-Attas saat diminta Fazlur membantu al-Attas pada 1984 di Universitas Chicago. Saat itu, al-Attas sedang menyiapkan kajian tentang Hujjat al Siddiq karya Nur al-Din al-Raniri.
Pertemuan kedua setelah Wan menjadi dosen di Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada 1988, tiba-tiba al-Attas menelepon dan meminta dirinya membantu al-Attas mendirikan ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization). Mereka kemudian bahu membahu membangun ISTAC menjadi lembaga kajian Islam yang sangat disegani. Ada beberapa mahasiswa dari Indonesia yang menimba ilmu di sini, antara lain Adian Husaini, Syamsudin Arif, Adnin Armas, Fahmi Hamid Zarkasyi, dan Ugi Sugiarto.
Sayangnya, setelah berhasil menjayakan ISTAC, al-Attas dicopot dari jabatannya oleh pemerintah Malaysia. Tak hanya itu, kurikulum ISTAC juga diubah secara radikal. Wan kecewa berat dan mengundurkan diri, setelah 15 tahun menemani al-Attas.
Wan kemudian berlabuh di Universiti Teknologi Malaysia (UTM). Di sini ia mendirikan Centre for Advanced Studies on Islam (CASIS).
Terkait hubungannya dengan al-Attas, Wan dikritik sebagai pengagum al-Attas dan tidak pernah mengkritik ide dan perbuatannya. Terhadap kritik ini, Wan menjawab, “Beliau ilmuwan berwibawa, berintegritas tinggi, dan guru saya.”
Wan selalu menghormati semua gurunya, baik Muslim maupun non-Muslim. Namun Wan berterus terang, dari semua gurunya itu, al-Attas berada di peringkat tertinggi.
Namun Wan membantah bila dirinya dianggap mengkultuskan al-Attas. “Tidak pernah terniat begitu. Saya cuma menghidupkan tradisi Islam dalam menghormati seorang guru,” katanya.
Al-Attas, bagi Wan bukan sekadar mengajarkan ilmu, tetapi juga adab. Yaitu disiplin meletakkan setiap sesuatu di tempatnya yang betul sehingga menimbulkan keadilan bagi semua.* (Bersambung)