Meskipun berstatus tahanan, mereka diperlakukan secara manusiawi. Seperti apa?
Hidayatullah.com–Tahanan atau penjara dianggap sebagai tempat yang menakutkan bagi masyarakat pada umumnya. Sejak masa Romawi Kuno, tempat ini identik dengan kekejian. Menurut informasi yang beredar, di tempat itu terjadi berbagai macam penyiksaan seperti mencabut gigi tahanan, mencongkel bola mata, pemotongan anggota badan, dan sebagainya. (al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah, 2/1799).
Di masa Romawi, ribuan tahanan dan tawanan memang dicongkel matanya. Ada pula yang dikuliti hidup-hidup, atau dicampakkan kepada binatang buas untuk dijadikan santapan. (Qishah al-Hadarah, 1/2/281-282).
Sedangkan di masa kebangkitan Eropa, bangunan penjara dibangun dalam benteng dan dikelilingi dengan parit selebar 25 meter berisi air. (Tarikh ats-Tsaurah Faransiyah, hal 124).
Sel tahanan dibangun di bawah tanah, kondisinya lembab dan gelap. Keluarga tidak mengetahui nasib famili yang ditahan. Dalam proses interogasi, penyiksaan sering kali dilakukan. (Dairah al-Ma’arif al-Qarn ar-Rabi’ Asyar al-Hijr, 2/23-25).
Rumah Tahanan dalam Islam
Meski hukuman tahanan disyariatkan, di masa Rasulullah SAW dan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq RA tidak ada bangunan khusus untuk ini. Justru masjid yang dijadikan sebagai tahanan.. Abu Lubabah dan Tsumamah bin Utsal al-Hanafi pernah ditahan beberapa hari karena tidak ikut dalam perang bersama Nabi. (Fath al-Bari, 1/555, 556).
Rasulullah SAW juga pernah memfungsikan rumah sebagai tahanan. Misalnya rumah Hafshah. Suhail bin Amru pernah ditahan di situ. (Sirah Ibnu Hisyam, 2/299).
Di masa Khalifah Umar bin Khaththab RA, disediakanlah tempat khusus untuk tahanan, karena semakin banyaknya penduduk dan luasnya wilayah kekuasaan. Tempat tersebut adalah rumah Sufyan bin Umiyah di Makkah. (Tahdzib Asma’, 1/2/122-123).
Ketika itu rumah bangsa Arab biasanya memiliki ruang utama yang luas dan beberapa kamar. Rumah berfungsi untuk melindungi penghuninya dari dinginnya cuaca dan panasnya terik matahari. (Dirasat fi al-Imarah, 98).
Barulah di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib RA, dibangun rumah tahanan khusus di Bashrah dan Kufah. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 5/377)
Pemisahan Tahanan
Sesuai tuntunan syariat, tahanan laki-laki dan perempuan dipisahkan. Kata as-Sirakhsi, “Para ulama menyatakan, hendaklah para wanita berada dalam tahanan tersendiri dan tidak disertakan laki-laki di dalamnya, demi untuk menghindari fitnah.” (al-Mabsuth, 20/90).
Pemisahan juga berdasarkan umur. Al-Wansyarisyi, seorang ulama mazhab Maliki, menyatakan bahwa untuk anak-anak yang belum baligh –jika dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang merugikannya– maka ditahan di rumah ayahnya, bukan di tahanan. (al-Mi’yar al-Mu’rib, 8/252).
Sedangkan untuk mereka yang sudah baligh, di dalam tahanan masih dipisahkan antara para pemuda dan mereka yang berusia lanjut, jika hal itu diperlukan. (Hasyiyah ad-Dusuki, 3/280).
Pemisahan tahanan juga dilakukan berdasarkan pelanggaran hukumnya. Mereka yang melakukan tindak pelanggaran perdata tidak ditahan bersama pelanggar tindak pidana. Pemisahan semacam ini telah dilakukan sejak masa khilafah Abbasiyah. (al-Muntadzam, 7/256).
Hak-Hak Tahanan
Para tahanan adalah manusia yang sedang menjalani hukuman sebagai balasan atas perbuatan negatif yang telah dilakukan. Meskipun demikian, tetap ada hak-hak mereka yang dilindungi oleh syariat Islam.
Di antara hak mereka adalah memperoleh makanan dan minuman yang layak selama tinggal di tahanan. Rasulullah SAW memerintahkan para Sahabat untuk mengumpulkan makanan guna diberikan kepada Tsumamah bin Utsal yang ditahan di dalam masjid. Bahkan Rasulullah mengkhususkan susu untanya untuk diberikan kepada Tsumamah. (Sirah Ibnu Hisyam, 4/638).
Para tahanan juga berhak untuk memperoleh perawatan jika mereka sakit. Di masa kekhalifahan Baghdad, Sinan bin Tsabit ditunjuk sebagai kepala rumah sakit Baghdad. Sinan selaku dokter selalu mengunjungi penjara-penjara untuk memberikan terapi kepada para tahanan. Aktivitas ini ia lakukan selama 20 tahun. (Uyun al-Anba fi Thabaqat al-Athibba`, hal. 305, 306).
Di masa Bani Umayah, Umar bin Abdul Aziz juga amat memperhatikan para tahanan. Suatu saat ia mengirim pesan kepada para pejabatnya, “Lihatlah kondisi penjara dan pantaulah mereka yang sakit.” (Tarikh Ibnu Sa’d, 5/356).
Negara juga bertanggung jawab untuk memberikan sandang yang layak kepada tahanan jika ia tidak memilikinya. Rulullah SAW sendiri memberikan bajunya ketika mendapati bahwa seorang tawanan Perang Badar tidak memiliki pakaian. Atas peristiwa ini, Imam al-Bukhari memberi judul untuk Hadits tersebut dengan “Bab Pakaian untuk Tawanan”. (Shahih Bukhari, 4/19).
Masalah pendidikan para tahanan juga tidak boleh dilalaikan. Negara berkewajiban untuk memberikan pengajaran ilmu kepada mereka.
Di masa kekuasaan Abbasiyah, Tsabit bin Qurah, seorang dokter yang juga filosof, sering mendatangi al-Mu’tadzid Billah yang ditahan untuk mengajarinya ilmu. Tsabit mengunjungi al-Mu’tadzid tiga kali sehari. (Uyun al-Anba fi Thabaqat fi Thabaqat al-Athibba’, hal 295).
Saat Hanin bin Ishaq ditahan, Khalifah al-Mutawakkil mengizinkan masuknya buku-buku di tahanan. Sehingga, meski menjadi pesakitan, dokter itu masih bisa menulis buku di dalam tahanan. (Ikhbar Ulama, 131).
Di samping hak-hak di atas, ada hak yang berhubungan dengan pihak lain yang perlu dipenuhi, termasuk hak untuk melakukan hubungan seksual suami-istri. Sebagian ulama berpendapat bahwa tahanan tidak dilarang untuk melakukan hubungan seksual dengan istrinya, jika di tahanan ada tempat yang terjaga untuk melakukan hal itu. (al-Mughi Ibnu Qudamah, 7/34, 35).
Demikianlah Islam menjaga hak-hak para tahanan. Meski melegalkan hukuman penjara, namun hal itu tidak berarti bahwa kehormatan mereka sebagai manusia boleh dilecehkan.*
Video Polisi Banyak Dikecam, Bagaimana pada Zaman Islam? Tonton di sini