Sambungan artikel PERTAMA
Hidayatullah.com–Pihak berwenang di Xinjiang menolak menjawab pertanyaan mengenai pengawasan yang mereka lakukan. Pejabat tinggi partai dari Xinjiang mengatakan dalam pertemuan Partai Komunis di Beijing pada Oktober bahwa “keseimbangan sosial dan keamanan jangka panjang” merupakan tujuan penting pemerintah setempat.
Para aktivis kebebasan sipil dari China dan asing mengatakan pengawasan di wilayah barat laut China itu menunjukkan peninjauan apa yang akan terjadi ke seluruh negeri.
“Mereka terus mengambil pelajaran dari aturan bertekanan tinggi yang mereka terapkan di Xinjiang dan menerapkannya di timur,” kata Zhu Shengwu, seorang pengacara HAM China yang bekerja dalam kasus pengawasan sipil.
“Apa yang terjadi di Xinjiang telah mempengaruhi nasib semua rakyat China.”
Selama kunjungan ke Xinjiang pada Oktober di sepanjang jalan raya modern, dua wartawan Wall Street Journal mengalami serangkaian pemeriksaan yang mengubah perjalanan itu menjadi perjalanan yang aneh dan menegangkan.
Di Xinxing Gorge, sebuah jalan berangin kencang yang digunakan berabad-abad lalu oleh para pedagang menjelajahi Jalur Sutra, polisi memeriksa lalu lintas masuk dan memeriksa identitas para wisatawan maupun orang yang lewat. Kedua wartawan Journal juga tidak lepas dari itu, mereka diberhentikan, diperintahkan untuk keluar dari kendaraan mereka dan diminta untuk menjelaskan alasan kunjungan mereka. Para pengemudi, yang kebanyakan bukan dari etnis Han China, dipandu melewati gerbang elektronik yang memindai kartu identitas dan wajah mereka.
Baca: Saya Muslim Uighur yang Melarikan Diri dari Aksi Brutal China
Lebih jauh lagi, di pintu masuk ke Hami, kota dengan setengah juta penduduk, polisi menyuruh kedua wartawan Journal menunggu di depan sebuah bank dengan layar TV yang menunjukkan tampilan kamera-kamera pengawasan sementara para polisi merekam angka paspor mereka.
Kamera-kamera pengawas membayangi setiap beberapa ratus kaki di jalanan menuju kota, merekam setiap sudut kota dan mengawasi kedai-kedai mi kecil di dekat masjid utama. Salah satu pemiliknya, seorang anggota minoritas Hui Muslim, mengatakan pemerintah memerintahkan seluruh restoran di wilayah ini untuk memasang alat pengawas tersebut pada awal tahun ini “untuk mencegah serangan teroris.”
Beberapa hari kemudian, ketika para wartawan Journal sedang berkendara di jalan tanah di daerah Shanshan setelah diperintahkan oleh pihak pemerintah untuk meninggalkan kota terdekat, sebuah mobil polisi muncul entah dari mana. Mobil itu melaju melewati mobil yang ditumpangi para wartawan, lalu berhenti secara diagonal, menyebabkan debu bertengan dan menghalangi mobil para wartawan. Sebuah SUV menyusul dari belakang. Selusinan polisi memerintahkan para wartawan untuk keluar dari mobil dan meminta paspor mereka.
Seorang petugas polisi menjelaskan bahwa kamera-kamera pengawas telah membaca pelat nomor yang bukan berasal dari kota dan mengeluarkan tanda peringatan.
“Kami memeriksa setiap mobil yang tidak berasal dari Xinjiang,” katanya. Polisi itu kemudian mengawal para wartawan hingga ke jalan raya.
Di pos pemeriksaan lebih jauh di barat, bahkan dipasang pemindai mata dan tubuh.
Baca: Kisah Sedih Etnis Uighur yang Lari dari Kekejaman China
Darren Byler, seorang peneliti antropoligi di Universitas Washington yang menghabiskan dua tahun di Xinjiang mempelajari migrasi, mengatakan persamaan kontemporer terdekat dapat ditemukan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, di mana pemerintah Zionis ‘Israel’ telah menciptakan sebuah sistem pos pemeriksaan dan pengawasan biometrik untuk mengawasi rakyat Palestina.
Di Erdaoqiao, pemukiman di mana pedagang buah bernama Imin tinggal, tempat kecil yang dikenal sebagai “pos polisi kecil,” ditandai dengan lampu berkedip di atas tiang, terlihat di setiap beberapa ratus yard. Polisi yang ditempatkan di sana menawarkan air, pengisian baterai ponsel dan pelayanan lain, sementara juga merekam sekitarnya dengan kamera-kamera pengawas.
Para pemuda Uighur secara rutin diperintahkan berhenti di pos-pos tersebut untuk pemeriksaan telepon genggam, mendorong mereka memiliki dua ponsel – salah satu di rumah dan satunya, yang tidak memiliki konten atau aplikasi sensitif, untuk dipakai di luar, menurut para Uighur di pengasingan.
Erdaoqiao, jantung budaya dan perdagangan Uighur di Urumqi, merupakan tempat di mana kerusuhan etnis bermula pada tahun 2009 yang menyebabkan banyak kematian. Pintu masuk menuju Masjid Erdaoqiao saat ini ditutup, begitu juga sebagian besar pintu masuk ke International Grand Bazaar (sebuah pasar islami di Urumqi).
Para pengunjung yang ingin masuk harus melewati pintu gerbang utama yang dijaga sangat ketat. Wajah dan kartu identitas para penduduk Xinjiang dipindai. Berbagai kamera pengawas terus memantau.
Setelah kerusuhan, pihak berwenang dari partai Komunis datang untuk menyegel toko yang Imin jalankan saat itu, yang menjual pakaian dan peralatan ibadah. Ketika dia memprotes, katanya, mereka mukul belakang kepalanya, yang hal itu menyebabkannya pincangn. Mereka kemudian memenjarakannya selama enam bulan karena menghalangi urusan pemerintah, katanya. Dilanjutkan dengan hukuman penjara lain, termasuk delapan bulan karena membeli hasis.
Kepolisian di Urumqi tidak menanggapi permintaan untuk mengomentari hal itu.
Pak Imin saat ini menjual buah dan jus buah delima menggunakan gerobak. Dia khawatir bahwa kartu identitasnya akan menarik kunjungan polisi. Dia yang baru-baru ini menikah lagi, tidak berani mengunjungi keluarga istri barunya di Xinjiang selatan.
Para penguasa China telah berjuang selama dua melinium untuk mengendalikan Xinjiang, di mana 23 juta orang tersebar di wilayah dua kali luas Texas. Beiking melihatnya sebagai bagian penting dari langkah awal Jalur Belt and Road Initiative (Inisiatif Sabuk dan Jalan) yang dirintis Presiden Xi Jinping, yang bernilai satu triliun dollar untuk membangun infrastruktur di sepanjang rute lama Jalur Sutra ke Eropa.
Tahun lalu, Presiden Xi menunjuk pemimpin baru untuk Xinjiang, Chen Quanguo, yang sebelumnya menangani perselisihan etnis di Tibet, tempat panas lain. Chen mempelopori “pos polisi kecil” di wilayah tersebut, sebagian untuk menanggapi serangkaian bakar diri oleh para biksu yang memprotes pemerintah Tiongkok.
Di bawah Chen, kehadiran polisi di Xinjiang telah meroket, berdasarkan data yang menunjukkan peningkatan eksponensial dalam iklan perekrutan polisi. Departemen kepolisian setempat tahun lalu mulai memesan kamera-kamera yang mampu menampilkan gambar wajah tiga dimensi serta sistem perekam DNA dan sistem analisis pola suara, menurut dokumen pengadaan pemerintah yang ditemkan oleh Human Rights Watch dan ditinjau ulang oleh Wall Street Journal.
Selama tiga bulan pertama tahun 2017, pemerintah mengumumkan telah menjalankan proyek investasi yang berhubungan dengan keamanan senilai lebih dari $1 miliar di Xinjiang, naik dari $27 juta pada tahun 2015, menurut penelitian pada April oleh perusahaan pialang Industrial Securities.**>>> (BERSAMBUNG)>>>