Hidayatullah.com | PERJALANAN sejarah kehadiran habaib (para habib-habib) di Indonesia lamanya mungkin sama dengan perjalanan masuknya Islam di Indonesia. Dan sudah barang tentu, Islam hadir dalam syiarnya pun masuk hingga ke relung-relung kekuasaan yaitu kerajaan yang di Nusantara ini.
Tidak terkecuali model dakwah dan syiar Islam pada saat masa-masa kerajaan di Indonesia. Metode dakwah Islam dan ajaran yang mereka bawa dikemas dengan sedemikian harmonis dengan budaya di masyarakat lokal sehingga dalam waktu yang relatif singkat.
Para tokoh di kalangan ini mendapat tempat di hati elit dan akar rumput pada bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Karena pendekatan persuasif dan damai, kerajaan-kerajaan lokal dengan leluasa dan sukarela membuka diri terhadap agama Islam yang relatif baru sehingga peluang dakwah semakin luas. Begitu prolog yang disampaikan Abdillah Toha dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara.
Tidak sedikit dari kaum ‘Alawiyin awal yang datang ke Indonesia masuk ke dalam keluarga berbagai kerajaan lokal melalui perkawinan, kemudian tidak sedikit pula tampuk kepemimpinan kesultanan di Asia Tenggara sampai saat ini berada dalam jalur keturunan tokoh-tokoh ini, antara lain, kesultanan di Pontianak dan tempat-tempat lain. Tidak hanya itu, yang lebih mencengangkan bukanlah betapa cepatnya Islam menyebar di Nusantara pada khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya, melainkan fakta bahwa Islam menyebar dengan cepat dan dengan cara damai.
Dalam tataran yang lebih jauh, habaib dapat masuk ke dalam lingkaran elit kerajaan di Nusantara dan bahkan sampai menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Pada awalnya, sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, seperti Portugis dan Belanda.
Kebanyakan habaib diberi kepercayaan oleh raja-raja setempat sebagai syahbandar, seorang diplomat ekonomi yang bertugas mengatur gerak perdagangan antara kerajaan setempat dengan para importir. Pada masa pemerintah kolonial Portugis dan Belanda, jabatan syahbandar diubah menjadi kapiten atau letnan, yang tidak sekadar menjadi makelar ekonomi, tetapi juga makelar budaya, penghubung antara masyarakat lokal dengan pemerintah kolonial. Bukan hanya para habib, jabatan kapiten atau letnan juga dipercayakan kepada elite Tionghoa dan Melayu. (Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai di Nusantara).
Jika bangsa-bangsa kolonial Eropa mengeruk kekayaan alam daerah jajahan, maka para habib membuat simpul-simpul jaringan intelektual di daerah-daerah tempat mereka berdiaspora. Azyumardi Azra, Ulrike Freitag, dan Michael R. Feener telah memetakan jaringan-jaringan itu secara rinci.
Sebagaimana dikutip oleh Musa Kazhim, paling tidak, ada tiga pola simpul jaringan intelektual para habib. Pertama, jaringan intelektual antara Makkah dan Nusantara, yang sekarang dikenal sebagai Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Kedua, jaringan intelektual antara Hadhramaut dan Asia Tenggara. Ketiga, pusat-pusat studi Islam di kerajaan-kerajaan lokal di daerah-daerah Asia Tenggara, seperti Riau dan Sumenep.
Dalam perkembangannya, habaib juga melakukan perkawinan dengan perempuan-perempuan setempat yang merupakan keluarga bangsawan lokal sehingga memungkinkan mereka atau keturunan mereka pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam. KH. Ali Badri Ketua Dewan Pembina Majelis Dzurriyat Wali Songo, mengatakan tak sedikit dari tokoh ‘Alawiyin awal itu kemudian masuk ke dalam keluarga berbagai kerajaan lokal melalui jalinan perkawinan. Maka, kenyataannya, kemudian tak sedikit tampuk kekuasaan kesultanan di Asia Tenggara sampai saat ini berada di jalur keturunan tokoh-tokoh tersebut. Misalnya, Kesultanan Pontianak.*/ Akbar Muzakki