Sambungan artikel PERTAMA
Hidayatullah.com–Bagi Turki negara-negara Asia, khususnya Pakistan, merupakan pasar penting bagi produk-produk senjata Turki. Begitu juga dengan Azerbaijan, Bahrain, Bangladesh, Oman, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab sebagai pasar potensial Turki untuk menjual senjata-senjata kelautan dan non-laut.
Disamping terus mengembangkan persenjataan angkatan lautnya, pemerintahan Erdogan juga terus mengembangkan persenjataan angkatan daratnya. Dan dengan menggunakan stok senjata militer Turki yang dibeli dari negara-negara Barat sebagai model atau acuan, maka para Insinyur Turki berhasil mengembangkan senjata asli mereka.
Sebagai contoh Turki berhasil menciptakan senapan nasional MPT-76 dengan gaya senapan M-16. Dan pada bulan Mei 2016 yang lalu Turki mulai melakukan produksi besar-besaran pada senjata ini. Militer Turki juga membuat Meriam Howitzer “Firtina” yang sering digunakan untuk perang melawan Partai Persatuan Demokrat Kurdi di perbatasan Suriah. Hingga saat ini meriam-meriam Turki terus mendongkrak kekuatan militer Turki dan meningkatkan jangkauan mereka, sehingga kebutuhan militer untuk memproduksi peluru kendali semakin terlihat jelas di hadapan mata.
Mendapati kemampuan peluru kendali Iran “Shahab 3” membuat Turki termotivasi untuk mengembangkan jarak tempuh Peluru Kendali Balistik Yildirim. Jika jarak jangkau Yildirim I milik Turki ini dapat mencapai 150 KM, maka peluru kendali Yildirim II mampu menempuh sampai 300 KM, dan Turki terus berusaha mengembangkan Yildirim III dengan hasil jangkauan sampai kepada 900 KM. Terakhir Turki sukses menciptakan Yildirim IV dengan jangkauan sepanjang 2500 KM.
Angkatan Bersenjata Turki juga sukses membangun proyek nasional “Tank Altay“. Meskipun proyek ini digambarkan sebagai kontribusi eksklusif Turki, tetapi harus ditunjukkan juga kontribusi Jerman dan Korea Selatan pada mesin tank dan meriam. Produksi massal Tank Altay dimulai pada bulan Agustus lalu, dengan demikian tentara Turki akan menhasilkan 250 tank jenis ini dalam lima tahun ke depan.
Demikian pula Angkatan Udara Turki juga terlibat dalam proses pengembangan senjata, dan pada tahun 2011 tentara Turki telah mengembangkan sistem identifikasi elektronik sendiri untuk mengidentifikasi antara pesawat kawan dan lawan, sebagai jawaban agar tidak terjadinya pengulangan bentrokan dengan pesawat tempur Yunani seperti yang terjadi pada pada Maret dan Desember 2015 di laut Aegean, setelah insiden armada Mavi Marmara, dimana Israel telah menjadi musuh potensial.
Sampai pada tahun 2011, Turki masih menggunakan sistem Identifikasi Elektronik milik NATO, dimana sistem milik NATO tersebut tidak memperbolehkan Turki untuk menentukan sendiri negara-negara mana saja yang menjadi teman dan lawannya. Namun setelah sukses menciptakan sistem identifikasi elektronik sendiri, Ankara sekarang memiliki kemampuan untuk mengenali pesawat-pesawat tempur milik negara-negara teman atau negara lawan.
Terkait pesawat tanpa awak, perseteruan yang terjadi antara Ankara-Tel Aviv telah membuat para “Decition Maker” di Turki untuk menghentikan ketergantungan mereka kepada Israel.
Pada tahun 2008 Turki sempat membeli 10 unit pesawat tanpa awak jenis “Heron” dari Israel sebesar 183 juta dolar. Namun Turki dengan kemampuannya mengembangkan pesawat drone “Baykaktar” pada tahun 2014 membuat negara Erdogan itu sudah mandiri dalam menciptakan jenis pesawat ini. Selain itu, dengan dikembangkannya helikopter tempur nasional Turki Yang bernama “Atak” maka kekuatan militer Turki sekarang semakin kuat dan bukanlah lawan yang seimbang bagi Partai Buruh Kurdi.
Erdogan dan Politik Persenjataan [1]
Dalam perangnya melawan Partai Buruh Kurdi, selain menggunakan helikopter dan drone sendiri, Turki juga melakukan penguasaan dan pengawasan wilayah-wilayah perbatasan pegunungannya dengan menggunakan satelit militernya yang berakurasi tinggi. Pada tahun 2012 Turki meluncurkan Satelit Göktürk II ke luar angkasa. Selanjutnya, melalui perusahaan jasa spaceflight Eropa “Telespazio” yang bermarkas di Italia, Turki meluncurkan Satelit Göktürk I yang lebih canggih dan lebih kompleks lagi. Meskipun perusahaan jasa Italia sukses meluncurkan satelit untuk kepentingan Turki, namun Presiden Recep Tayyip Erdogan masih berkeinginan keras untuk terus memangkas ketergantungan Turki kepada negara-negara asing.
Disamping memproduksi senjata secara mandiri, Turki juga terus memperkaya gudang senjatanya dengan berbagai ragam persenjataan yang dibelinya dari negara-negara yang tidak tergabung dengan NATO dan terus berusaha untuk melepaskan diri dari senjata-senjata NATO. Langkah ini, dalam jangka panjang akan melemahkan pengaruh NATO di Turki, dan memberi kesempatan kepada Turki untuk bermanuver lebih jauh lagi pada politik luar negerinya. Katanya, upaya Ankara untuk memperoleh sistem pertahanan anti rudal balistik dari China telah terhenti disebabkan tekanan kuat dari NATO.
Terkait ketegangan yang terjadi antara Turki vs UNI Eropa Dan Amerika Serikat, maka itikad Ankara untuk memperkuat hubungan dengan Moskow dan Beijing adalah ancaman nyata bagi Eropa.
Usaha Turki yang sangat ambisius untuk membangun proyek-proyek persenjataannya memberikan gambaran bahwa Turki tidak lagi boleh dipandang sebagai sekutu tradisional barat yang ompong sejak perang dingin yang senantiasa membutuhkan perlindungan dunia internasional.
Seiring dengan Ankara mulai mendefenisikan kembali maksud dan tujuan hubungannya dengan Barat, maka keamanan bukanlah faktor penentu hubungan ini, melainkan Turki akan sangat strik untuk menjalin hubungan atas dasar ekonomi dan perdagangan, karena dari sisi keamanan Turki sudah menentukan jalurnya sendiri dengan cara yang lebih independen tanpa harus memerlukan Barat lagi.*/Syafruddin Ramly, diambil dari laman Journal The Moese Dayan Centre, dayan.org, Desember 2016