Oleh: Mahmud Budi Setiawan
PADA hari Senin kemarin (08/05/2017) jagat media diramaikan kasus pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah.
Aroma kejanggalan begitu tercium tajam ketika hari ini dilangsungkan sidang putusan terdakwah penistaan agama: Ahok. Apa itu kebetulan atau justru pengalihan isu? Ironisnya, kenapa terhadap HTI penguasa seolah “gagah perkasa”, tapi kepada Ahmadiyah dan Syi’ah misalnya, seakan “tak berdaya”?
Masyarakat mungkin akan bertanya: Mengapa selama HTI masih eksis di Indonesia? Apalagi punya surat izin resmi sebagai organisasi yang legal, kalau memang sejak awal terlarang dan bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 misalnya? Kenapa baru sekarang ditindak?
Kalau pertanyaan tersebut tidak terjawab, akan muncul sedikitnya dua spekulasi: HTI ini, kalau bukan peliharaan pemerintah -yang kapan saja siap diadu domba-, berarti membahayakan kepentingan pemerintah sehingga harus dihabisi.
Berkaca pada sejarah rezim pemerintahan Indonesia, cara-cara represif acap kali digunakan untuk membabat habis setiap kelompok yang dianggap bersebrangan. Di samping itu, yang agak lucu, dalam kasus HTI yang sekarang lagi viral, pembubarannya tanpa proses peradilan, hanya melalui penyampaian pemberitaan via media massa dan ditulis melalui tulisan sederhana yang viral di media. Sudahkah mereka diberi kesempatan berdialog, membela diri, dan kalrifikasi?
Dengan munculnya keputusan pembubaran, maka sangat sulit kalau tidak boleh dikatakan mustahil- untuk tidak mengatakan kasus ini menggunakan standar ganda dan ditunggangi oleh pihak berkepentingan.
Apapun alasannya, benar atau salah, sejatinya yang namanya organisasi bisa saja bubar atau dibubarkan, tapi ideologi akan tetap berkobar. Bisa saja penguasa dengan seperangkat alat kekuatannya menghabisi suatu lembaga, tapi tetap saja, pemikiran tidak akan bisa diberangus, kecuali dengan alternatif pemikiran yang jauh lebih bagus. Kisah tindakan represif Mamun terhadap ulama-ulama yang berseberangan dengan ideologi Mutazilahnya, apa mampu mengoyak ketegaran Imam Ahman bin Hanbal misalnya (al-Kâmil fi at-Târîkh, 3/180), walau harus merasakan pahitnya cambukan dan jeruji besi? Tidak. Pemikiran Imam Ahmad tidak pernah mati.
Peristiwa pembubaran Partai Masyumi (17/08/1960) melalui Keputusan Presiden No. 200, seakan terjadi lagi pada rezim sekarang. Sejak Dekrit 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan sokongan penuh pihak militer berusaha kembali ke UUD 1945. Dengan demikian dirinya memiliki wewenang penuh untuk memutuskan sesuatu (Thohir Luth, 1999: 51).
Oleh karenanya, dengan leluasa ia bisa memaksakan kehendak berdasarkan sistem demokrasi terpimpin. Siapa saja yang bersebrangan, pasti akan diganyang. Justru partai yang berkali-kali memberontak seperti PKI malah disayang.
Proses pembubaran semakin mulus karena menemukan santapan empuk. Natsir, Burhan, Syafrudin (yang merupakan tokoh Masyumi), dianggap bersekongkol dengan pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
Padahal, menurut Mansur Surya Negara dalam buku Api Sejarah 2 menjelaskan bahwa kedatangan Natsir ke Sumatra Barat adalah berusaha keras untuk mengingatkan Letkol Ahmad Husein bahwa PRRI inkonstitusional. Namun, justru Kepres. 200/1960 tetap lahir (2014: 379).
Baca: Sejarawan: Mosi Integral Natsir Selesaikan Konflik Golongan Federalis-Unitaris
Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) menyoal apakah keputusan pemerintah saat itu bisa dipertanggung jawabkan secara yuridis.
Dari Diktum Musyawarah Nasional III PERSAHI (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia: 3/12/1966) dapat diketahui bahwa yuridis formal tidak sah dan yuridis materil tidak beralasan dan hanya menjadi korban Orde Lama (1996: 68).
Justru yang kentara, pembubaran ini adalah alibi Soekarno untuk melicinkan sistem Demokrasi Terpimpin (Mahfud Md, 1998: 149).
Prawoto sempat dihasut untuk mengutuk tokoh-tokoh Masyumi (Seperti: Natsir, Burhan dan Syafrudin), agar Masyumi tak dibubarkan. Ia pun tak mau. Konflik akan bertambah luas jika keinginan Soekarno dituruti. Karenanya, ia rela Masyumi dibubarkan (Iin Nur Insaniwati, Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya, 1924-1968, 2002). Namun, seandainya Prawoto menuruti Soekarno, Syafii Maarif meragukannya karena Soekarno telah menempatkan diri di atas UUD (1996: 68).
Pada akhirnya, terlepas apakah Masyumi benar atau salah, memang partai ini resmi dibubarkan. Walaupun sebulan sebelumnya sudah membubarkan diri sehingga tidak bisa disebut sebagai partai terlarang (M. Zulfikriddin: 2010).
Setelah dibubarkan, justru Natsir menginisiasi berdirinya DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia). Bila sebelumnya beliau berdakwah lewat politik, maka dengan DDII berpolitik lewat dakwah. Memang berbeda, tetapi tidak meninggalkan subtansi awal. Justru jangkauannya semakin luas. Sepeninggal Natsir pun, ideologinya tetap berkobar hingga sekarang dengan baju atau bentuk yang beraneka ragam.
Itu baru Masyumi. Belum lagi PKI, NII atau selainnya yang sudah ditumpas dan dibubarkan sejak dulu lembaganya. Apakah ada jaminan pemikiran mereka lenyap ditelan zaman ketika lembaga ditumpas? Justru sangat besar kemungkinan mereka bermetamorfosa dengan bentuk-bentuk baru dengan cita rasa sama.
Terakhir saya tegaskan, tulisan ini bukan untuk membela HTI karena saya bukan pengikutnya atau menyudutkan pemerintah, demikian juga sebaliknya.
Belajarlah kepada sejarah, menghadapi pemikiran harus dengan pemikiran; ideologi harus dengan ideologi. Pemberangusan lembaga justru akan melahirkan bermacam-macam lembaga yang bersubtansi sama.
Alangkah indahnya jika masing-masing pihak berendah hati duduk bareng untuk menemukan solusi terbaik, tanpa main bubar membubarkan. Karena perkara ini bukan gerak jalan yang harus diakhiri dengan: BUBAR BARISAN, JALAN! Wallahu alam.*
Penulis adalah Alumni Al Azhar Mesir, peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014