Hidayatullah.com–Adalah Zahid Hussain, 48 tahun, yang menjelaskan mengapa dia dan 7.000 anggota etnis Rohingya memilih untuk lari dari penganiayaan yang terjadi di kampung halaman mereka untuk tinggal di Jammu dan Kashmir. Kebanyakan dari mereka tinggal di distrik Jammu dan Samba.
“Penduduk Jammu telah menerima kami,” kata Hussain, yang tiba di Jammu pada 2009 dan membuka sebuah dhaba sederhana di kamp pengungsi di daerah Narwal. Tidak lama setelah kebakaran yang menimpa 81 rumah penampungan Rohingya di kamp Narwal pada November, warga setempat segera mengirimkan bantuan berupa uang dan material.
Tetapi saat ini, komunitas Rohingya di Jammu berada dalam kekhawatiran. Sebuah kebakaran yang terjadi di kamp pengungsi Bhagwati Nagar pada April menghasilkan sikap bertetangga yang serupa. Meskipun otoritas berwenang meyakini bahwa kebakaran tersebut dikarenakan hubungan arus pendek, beberapa orang di komunitas tersebut bersikeras bahwa itu merupakan sebuah tindakan sabotase.
“Haalat nazuk hai,” Hussain terlihat muram. Keadaan sedang sulit. “Pada dua bulan terakhir ini, orang-orang mulai memandang kami dengan curiga. Kami tetap terjaga di malam hari, melakukan penjagaan.”
Digambarkan sebagai komunitas paling teraniaya di dunia, rakyat Rohingya merupakan sebuah kelompok etnis minoritas yang paling banyak ditemukan di wilayah barat negara bagian Rakhine, Myanmar. Rakyat Rohingya telah menjadi korban penindasan selama beberapa dekade di Myanmar, yang menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh – sebuah tuduhan yang dengan tegas dibantah oleh komunitas itu. Karena penindasan itu, ribuan rakyat Rohingya telah lari dari Myanmar menuju Bangladesh, serta beberapa yang menuju India.
Menurut Komisi Tinggi Pengungsi PBB, terdapat 14.000 pengungsi dan pencari suaka Rohingya di India saat ini, yang setengah jumlah tersebut berada di Jammu dan Kashmir.
‘Tinggalkan Jammu’
Pada bulan-bulan ini, kehadiran mereka mendapat pertentangan. Februari lalu, sebuah kelompok yang menamakan diri mereka Partai Nasional Panther Jammu dan Kashmir memasang papan reklame di kota Jammu yang meminta penduduk untuk “bangun” dan “menyelamatkan sejarah, budaya, dan identitas Dogras”. Papan reklame itu secara langsung menunjuk pengungsi Rohingya dan Bangladesh agar “pergi dari Jammu”.
Sejak itu kampanye pengusiran rakyat Rohingya dari Jammu semakin intensif. Pada tanggal 7 April dalam sebuah konferensi pers, presiden Dewan Dagang dan Industri Jammu, Rakesh Gupta, menyatakan bahwa para pengungsi merupakan “para penjahat”. Dia mengancam akan melakukan sebuah gerakan “kenali dan bunuh” jika pemerintah tidak mendeportasi para pengungsi.
Baca: Nasionalis dan Buddha Burma Tolak ‘Rohingya’di Kedutaan AS di Myanmar
Pernyataan Gupta itu mendapat kecaman dari berbagai pihak. Masyarakat Hindu menyalahkan Muslim karena memperbolehkan orang asing untuk tinggal di Jammu, sementara masyarakat Muslim melihat sikap permusuhan itu sebagai bukti tumbuhnya sentimen anti-Muslim.
Situasinya semakin mengarah pada politik setelah para separatis, yang kebanyakan berbasis di Kashmir, menyatakan dukungan mereka pada komunitas Rohingya.
Kehidupan pengungsi
Ketika junta Burma merubah nama Burma menjadi Myanmar pada tahun 1989, negara bagian Arakan juga dirubah menjadi Rakhine. Rakyat Rohingya meyakini bahwa perubahan nama ini merupakan sebuah bagian dari serangkaian upaya untuk mencabut dan menghapuskan klaim mereka terhadap tanah kelahiran mereka.
“Kami telah berhijrah (migrasi) selama beberapa generasi,” kata Kisayatullah Arkan, seorang ulama yang tinggal di kamp pengungsi Bhatindi. “Ini bukanlah pertama kalinya. Ayah dan kakekku sebelumnya juga bermigrasi ke (Bangladesh) dan kembali lagi ke Burma. Sekarang giliranku.”
Tiba di India melalui perbatasan Bangladesh, para pengungsi menyebar ke beberapa bagian negara itu, melakukan pekerjaan kasar agar dapat bertahan hidup.
Di sebuah toko teh di kamp Narwal, para pengungsi Rohingya berkumpul untuk mengenang kehidupan mereka di Rakhine. “Kami memiliki tanah di mana kami dapat menanam beras dan sayur-sayuran yang dapat menopang kehidupan kami selama serahun,” kata Syed Hussain, 52 tahun, yang dicalonkan menjadi zimmedar (orang yang bertanggung jawab) pada kamp oleh komunitas pengungsi. “Kami hanya harus bekerja beberapa bulan dalam setahun.”*/Nashirul Haq AR [Bersambung]