Oleh: Hanif Fathoni
PERKEMBANGAN
teknologi informasi yang pesat belakangan ini, semakin memudahkan orang untuk mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun ilmu umum. Disatu sisi keberadaan teknologi informasi baik internet, aplikasi media sosial dan sebagainya dapat mempermudah pencarian informasi maupun mendapatkannya namun disisi lain juga dapat menjerumuskan orang bila tidak dengan bijaksana mencerna dan mengolah informasi atau ilmu yang didapatkan. Sehingga memunculkan “orang-orang pintar” baru yang sesungguhnya tidak memahami ilmu yang didapatkan.
Fenomena semacam ini pernah diwanti-wantikan atau diperingatkan oleh Hadhrotusyeikh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab beliau Risaalatu Ahli as Sunnah wal Jama’ah dimana beliau berkata: “Hendaknya berhati-hati dalam mengambil suatu ilmu (informasi), dan seyogyanya untuk tidak mengambil ilmu dari orang yang bukan ahlinya.” (1418: 17)
Kemudian Syeikh Hasyim Asy’ari menegaskan hal tersebut dengan menukil perkataan Imam Malik r.a. sebagai berikut:
لا تحمل العلم عن أهل البدع، ولا تحمله عمن لا يعرف بالطلب، ولا عمن يكذب في حديث الناس وإن كان لا يكذب في حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Jangan mengambil ilmu dari orang ahli bid’ah, serta janganlah menukilnya dari orang yang tak diketahui darimana ia mendapatkannya, dan tidak pula dari siapapun yang dalam perkataannya ada kebohongan, meskipun ia tidak berbohong dalam menyebutkan hadits Rasulullah Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam.”
Baca: Sanad Al Arba’in An Nawawiyah Mesir Melalui 7 Ulama Indonesia
Dalam beberapa kajian hadits maupun fiqih pun disebutkan tentang pentingnya sanad kelimuan. Diantaranya adalah anjuran Nabi Muhammad saw agar umatnya mengikuti ilmu yang bersanad: Dari Abdullah ibn Mas’ud ra., Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya”. (HR. Bukhari, No. 2652, Muslim, No. 6635).
Dalam riwayat lain beliau juga bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri (tanpa guru) dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan.” (HR. Ahmad).
Senada seperti hal diatas, disebutkan dalam riwayat Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam juga bersabda, “Di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (HR. ath-Thabrani).
Mengenai hal ini, Ibnu al-Mubarak berkata: ”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (H.R. Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 No. 32)
Meskipun sudah cukup jelas tentang pentingnya sanad dalam memahami ilmu, namun beberapa orang memandang tidak terlalu penting hal tersebut. Di Indonesia sendiri sanad dalam kajian ilmu sangat diperhatikan sejak awal berdirinya pesantren di Indonesia.
Diantaranya kajian hadits Sahih Bukhori di Pesantren Tebuireng yang dahulunya diampu oleh Hadrotusy Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, kemudian dilanjutkan oleh santri-santri beliau yang memiliki legalitas sanad dari beliau seperti KH. Idris Kamali, KH. Syansuri Badawi dan selainnya hingga sekarang diasuh oleh KH. Habib Ahmad.
Pada umumnya, setelah khataman kitab diberikan semacam surat atau kertas ijazah berisi sanad darimana sang guru mendapatkan keterangan kitab tersebut hingga tersambung keotentikannya sampai sang penulis kitab.
Metode semacam ini tidak hanya ada di pesantren Tebuireng saja namun banyak pesantren tradisional lainnya yang masih memegang teguh tradisi ini. Namun bagi orang yang tidak terlalu mementingkan kertas ijazah sanad tersebut, seperti halnya penulis juga pada awalnya tidak terlalu memperhatikan pentingnya ijazah sanad tersebut karena dianggap hanya berupa kertas biasa saja.
Sebenarnya, yang dapat dipahami dari model pemberian ijazah sanad semacam ini adalah agar terhindar dari taqlid buta sehingga benar-benar tahu darimana ilmu tersebut diambil.
Apabila dianalogikan dalam istilah ushul fiqh, taqlid buta atau mengikuti tanpa tahu dasar landasan keotentikan dalam mempelajari ilmu terutama ilmu agama merupakan hal yang tidak diperkenankan.
Adapun ittiba’ atau mengikuti suatu ilmu dan tahu darimana ilmu tersebut diambil sangatlah dianjurkan terlebih berijtihad atau berusaha menggalinya dari sumber asli dan memahami konteks dasar sumber asli tersebut dengan menggunakan metodologi yang tepat. Dengan kata lain, istilah sanad menurut hemat penulis adalah dasar landasan keotentikan suatu ilmu dari asal sumber ilmu itu berasal, sehingga dapat diperoleh ilmu dengan pemahaman yang otentik dan orisinil.
Baca: Sanad Fiqih Madzhab 4
Selain beberapa hal tersebut diatas, ada hal lain yang semakin membuat penulis sadar akan pentingnya sanad keilmuan, terlebih ketika beberapa waktu yang lalu ada seorang Syeikh dari Mesir yang berkunjung ke Indonesia untuk mengajarkan beberapa kitab bersanad, yaitu Syeikh Yusri Rusydi Sayyid Jabr al-Hasani seorang guru pengajar kitab-kitab hadits bersanad (kutubus sittah dan kitab-kitab hadits lainnya), fiqih bersanad (kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i) dan tasawwuf (al-Hikam dan sebagainya).
Dalam beberapa halaqah yang penulis ikuti, beliau menyebutkan pentingnya sanad keilmuwan dalam mempelajari suatu ilmu secara riwayah (tekstual) dan dirayah (kontekstual). Disamping itu dalam kesempatan lain, Syeikh Ali Jum’ah grand mufti dari Universitas al-Azhar Kairo pernah berkata: “Permasalahan terbesar dari para penuntut ilmu saat ini adalah keinginan mereka untuk mencari ilmu secara instan”.
Mencari ilmu secara instan berarti tidak melalui metode yang semestinya dalam mencarinya, berarti pula pemahaman yang didapatkan juga pemahaman instan. Padahal dalam proses pencarian ilmu ada tahapan-tahapan yang dengannya metode berpikir sang pencari ilmu terbentuk. Sebagai contoh, dalam kajian membaca Al-Quran, apabila al-Quran dianggap sebagai sumber ilmu, maka dalam membacanya pun hendaknya melalui sanad membaca yang bena.* (bersambung)
Penulis adalah dosen UNIDA – Gontor