Hidayatullah.com– Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima seluruhnya gugatan Judicial Review (JR) atas UU Nomor 22/2006 sebagaimana telah diubah dengan UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan (Admincuk).
Dengan begitu, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) berpandangan, berarti agama-agama yang selama ini tidak resmi/diakui, dapat menuliskan agamanya, termasuk Yahudi dan Bahai.
Pandangan itu disampaikan Sekretaris Umum PGI Pdt Gomar Gultom dalam pernyataannya yang beredar dan diterima redaksi baru-baru ini. “Iya, benar (pernyataan itu), Pak!” ujarnya saat dikonfirmasi hidayatullah.com, Ahad (12/11/2017).
Gomar mengatakan, melalui keputusan itu MK menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”.
Baca: Muhammadiyah Kecewa Putusan MK Soal Kolom Agama dan Kepercayaan
PGI beranggapan, hal ini merupakan sebuah langkah maju karena dengan demikian negara mengakui hak-hak semua orang untuk dicantumkan agama/kepercayaannya pada kolom KTP (dan KK, Red), tidak lagi hanya salah satu dari enam agama yang selama ini diakui dan “dianak-emaskan”, istilah Gomar.
“Itu berarti, agama-agama dan kepercayaan asli suku-suku di Indonesia dan agama-agama yang selama ini dianggap tidak resmi atau tidak diakui seperti Bahai, Yahudi, dan lain-lain, dapat menuliskan agamanya dengan berpegang pada putusan MK tersebut,” sebut Gomar.
Pengakuan seperti itu, menurut PGI, merupakan lembaran baru bagi Indonesia setelah yang ia sebut perjuangan panjang dan berliku.
Katanya, meski Indonesia telah lama meratifikasi Konvensi Internasional Sipol, dalam kenyataannya masih banyak-banyak hak-hak sipil warga masyarakat yang menurutnya tak dipenuhi dan dilindungi oleh negara, utamanya hak-hak masyarakat adat dan penganut agama lokal di Indonesia.
“Kini makin jelas, melalui keputusan MK ini negara sesungguhnya tidak mengenal dikotomi mayoritas-minoritas, karena nomenklatur kita berbangsa sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi adalah warga negara. Dan konstitusi menjamin hak setiap warga negara, apa pun agama/kepercayaannya; dan negara wajib melayani terpenuhinya dan melindingi hak-hak tersebut,” sebut Gomar.
“PGI berterima kasih kepada semua pihak yang tak kenal lelah telah memperjuangkannya, walau harus menghadapi tantangan yang tak ringan,” tambahnya.
Baca: Din Syamsudin: Adanya Kolom Agama di KTP Justru Banyak Maslahatnya
PGI mengaku sejak awal ikut serta lewat berbagai saluran untuk memperjuangkan hak-hal masyarakat adat dan agama lokal ini, bahkan ketika masih dalam proses legislasi pembahasan RUU Adminduk. “Namun selalu kalah suara,” imbuhnya. Demikian pun ketika mengajukan JR UU nomor 1/PNPS/1965 yang kandas di MK.
“PGI pada kesempatan ini menyampaikan selamat buat saudara-saudara dan teman Penghayat, Sundawiwitan, Parmalim, Merapu, Kejawen dan ratusan penghayat kepercayaan lainnya. Anda semua adalah pemilik sah dan asli Republik ini, bahkan jauh sebelum kedatangan keenam agama yang selama ini diakui ke Nusantara,” klaim Gomar.
Dengan keputusan MK itu, PGI berharap Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan aparatnya hingga ke desa-desa tidak menunda implementasi keputusan ini. “Demikian pun berbagai bentuk regulasi lainnya yang masih diskriminatif dapat segera dihapuskan,” ujar Gomar.
“Akhirnya saya berharap dengan keadaan ini alam semesta pun akan bersukacita…. dan aura ini saya harap akan membawa Indonesia makin jaya ke masa depan!” pungkasnya.
Baca: Pencantuman Penghayat Kepercayaan di KTP, Pemerintah Harus Siap Dampaknya
Sebelumnya, Direktur Pusat Studi dan Pendidikan HAM (Pusdikham) Universitas Muhammadiyah Prof Hamka (Uhamka), Maneger Nasution mengatakan, negara harus mempersiapkan segalanya dengan dibolehkannya pencantuman penghayat kepercayaan dalam KTP.
Menurut Maneger, selama ini pemerintah dalam melayani enam agama saja tidak mudah. Oleh karena itu, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, harus mengkaji proses administrasi lebih lanjut terkait putusan MK terbaru ini.
“Apalagi nanti banyak aliran-aliran yang ada. Mesti diantisipasi persiapan pemenuhan infrastruktur, struktur kelembagaan, dan keuangan negara,” jelasnya kepada hidayatullah.com, Rabu (08/11/2017).
Sementara Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyesalkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memasukkan aliran kepercayaan ke dalam kolom agama di KTP dan KK.
“Kita sebenarnya menyesalkan ya MK yang tidak memahami denyut nadi keagamaan seperti ini dengan menghasilkan keputusan kolom agama dan kepercayaan,” ujarnya dalam pengajian bulanan Muhammadiyah kemarin di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat.*