Hidayatullah.com–Sampai hari ini masih banyak orang bertanya bagaimana kondisi terkini di desa maupun kamp-pengungsi Rohingya di sana Pasca aksi pembersihan etnis oleh militer Burma (Myanmar) di Distrik Maungdaw, 25 Agustus 2017?
Pekan kemarin, bersama relawan dari Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Pusat dan al-Khair Foundation (AKF), kami memperoleh kesempatan berkunjung langsung ke kamp pengungsi Muslim Rohingya di Rakhine State, khususnya di Sittwe Township.
Kenapa kami ke Sittwe Township, bukan ke Distrik Maungdaw? Pertama, saat ini akses dan perizinan buat masuk ke sana sangat sulit. Kedua, kami belum menemukan seorang pemandu lokal yang bersedia mendampingi kami selama di sana. Ketiga, kami ingin menyerahkan donasi bantuan tambahan untuk kelanjutan proses pembangunan sekolah di Desa Oo Yin Thar, termasuk mengontrol pemasangan hand pump (pompa air) yang sudah dipasang di beberapa titik kamp pengungsian di Sittwe Township.
Kendati demikian, Sittwe Township atau Maungdaw sama-sama merupakan wilayah dari Rakhine State yang penduduknya mayoritas Muslim Rohingya. Kalau melihat peta dunia, lokasi Sittwe Township berada di bawah Maungdaw. Keduanya dekat dengan pesisir Teluk Bengala.
Baca: Berbekal “Surat Sakti’ Sambangi Pengungsi Rohingya di Rakhine
Kami mengamati dan merasakan langsung kondisi para pengungsi Rohingya di sana sangat memprihatinkan. Junta militer maupun polisi melarang keras mereka keluar dari kamp pengungsian, yang dikelilingi pagar kawat berduri serta kompleks perumahan junta militer dan polisi tersebut.
Berdinding Gedheg
Sarana dan prasarana di lokasi pengungsian secara umum sangat terbatas. Kondisinya jauh dari standar pada umumnya. Misalnya sarana dan prasarana pendidikan. Bangunan sekolah yang ada saat ini kebanyakan masih bangunan lama. Perlu adanya renovasi, termasuk tambahan bangunan buat ruang kelas. Seperti yang kini sedang kami kerjakan di Desa Oo Yin Thar.
Dari beberapa sekolah yang kami sambangi, hanya desa itulah yang sekolah dasarnya lumayan bagus bagi ukuran para pengungsi. Dinding sekolahnya sudah menggunakan batu bata yang disusun dengan adukan semen bercampur pasir. Meskipun catnya sudah pada luntur dan mengelupas di sana sini.

Di Desa Doo Pyin, Mor Thi Nyar dan Thet Kay Pyin, kondisi sekolahnya jauh lebih memprihatinkan, termasuk rumah. Dindingnya dari anyaman bambu (bahasa jawanya gedheg). Atapnya dari anyaman daun aren. Di sana sini, banyak yang sudah berlubang dan rusak. Bisa dibayangkan jika hujan turun menderas? Tentu miris sekali melihatnya.
Bangunan sekolah di sana berukuran 5×10 meter. Bentuknya ada yang menyerupai rumah panggung. Tapi, ada juga yang serupa rumah pada umumnya. Tak ada sekat antara satu kelas dengan kelas lainnya. Murid-muridnya duduk lesehan. Ada yang saling berhadapan. Ada juga yang saling membelakangi. Meja tulisnya memanjang terbuat dari kayu. Satu meja bisa dipakai untuk 3 anak didik. Semua kondisi sekolah, baik di desa maupun kamp pengungsian hampir serupa itu.
“Di kamp Mor Thi Nyar justru belum ada sekolah. Yang ada baru training centre (pusat pelatihan) untuk belajar,” jelas Raihan (nama samaran), seorang pemandu lokal yang mendampingi kami selama blusukan ke desa maupun kamp pengungsian.
Baca: Dari Myanmar ke Bangladesh, Pengungsi Rohingya 15 Hari Jalan Kaki
Khusus bagi masyarakat ataupun para pengungsi Muslim Rohingya di sana, pendidikan dibatasi sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Selama blusukan ke empat desa; Oo Yin Thar, Thet Kay Pyin, Mor Thi Nyar dan Doo Pyin serta dua kamp; Thet Kay Pyin dan Mor Thi Nyar, kami tidak melihat ada satupun bangunan sekolah setingkat SMP dan SMA, apalagi bangungan bertingkat untuk Perguruan Tinggi.
“Selain ‘dibersihan’ secara perahan. Di sini, kami memang sengaja dibuat bodoh oleh pemerintah,” kata Raihan.
Saat ini, kami sedang membangun satu lokal gedung untuk kelas tambahan di Desa Oo Yin Thar, Sittwe Township. Proses pembangunan berjalan sekitar 70 persen. Selain itu, kami juga sedang mengurus perizinan kepada otoritas Kota Sittwe guna merenovasi total sebuah sekolah yang berada di Desa Doo Pyin.
Tak ada Klinik, Maut Menjemput
Di tengah perjalanan pulang dari Desa Doo Pyin, Raihan tiba-tiba menunjukkan sebuah foto lelaki tua dari layar androidnya. Badannya kurus sekali. Tinggal tulang belulang yang terbalut kulit. Area matanya pun terlihat cekung. Ia duduk di atas tumpukan kain sarung. Atau mereka menyebutnya Longyi. Jenggotnya pun lebat menjulai ke bawah. Tapi, dengan kondisi demikian, seuntai senyum masih menyembul di bibir lelaki yang bertelanjang dada dari kamp Say Thar Mar Gyi tersebut.
“Beberapa hari yang lalu, bapak tua ini meninggal karena kekurangan obat. Dia tidak pernah mendapat layanan medis yang memadai. Akhirnya maut menjemput,” mimik wajah Raihan tampak kecewa sekali.
Selama ini, sarana prasarana kesehatan di kamp pengungsian memang sangat minim. Bahkan, di kamp Mor Thi Nyar tak ada satupun klinik. Tenaga medis khususnya dokter, datang ke lokasi hanya sekali sepekan. Itupun kalau ada yang datang. Sisanya dilayani oleh paramedis dengan pelayanan yang ala kadarnya.
Raihan merasa amat prihatin dengan banyaknya masyarakat Rohingya di kamp-kamp pengungsian yang menderita berbagai macam penyakit. Mereka tak pernah mendapat pelayanan medis yang memadai, termasuk ketersediaan obat-obatan.
Apa yang diungkapkan oleh Raihan adalah kenyataan pahit yang harus dihadapi para penduduk Rohingya yang mengungsi di negeri sendiri. Hal itu kami rasakan betul saat mengunjungi seorang pengungsi, sebut saja namanya Abduh, selepas mendistribusikan bantuan 1.000 paket sembako di Kamp Mor Thi Nyar.*>>>> bersambung