Hidayatullah.com– Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berpandangan, akhir-akhir ini menguat isu tentang intoleransi dan radikalisme yang menurut beberapa pihak meningkat dari tahun ke tahun.
Berkembang juga isu seputar gerakan anti-Pancasila, anti-Kebinekaan, anti-NKRI, polarisasi yang membelah bangsa, dan bentuk ancaman lain terhadap ke-Indonesia-an.
Ia mengatakan, isu tentang intoleransi, radikalisme, dan terorisme secara khusus sampai batas tertentu dikaitkan dengan agama khususnya umat Islam.
“Beragam isu yang negatif itu secara faktual terjadi di tubuh bangsa ini, yang tidak kita kehendaki terjadi di negeri ini. Kita tidak mentoleransi segala bentuk tindakan yang mengancam kehidupan kebangsaan,” ujar Haedar dalam pidatonya pada resepsi Milad ke-105 Tahun Muhammadiyah di Keraton Yogyakarta, Jumat (17/11/2017) malam, kutip laman resminya.
Ia mengatakan, Indonesia harus terjaga dari segala bentuk disintegrasi yang merusak kebersamaan dan sendi kehidupan kebangsaan. Karena hal itu mengancam eksistensi dan masa depan negeri tercinta ini.
Namun, lanjutnya, perlu juga dicermati dengan seksama persoalan itu.
“Bahwa intoleransi, radikalisme, dan segala bentuk ancaman terhadap ke-Indonesia-an seyogyanya dicandra secara objektif dan komprehensif agar tidak bersifat parsial, tendensius, dan salah pandang,” jelasnya.
Baca: Milad 105 Tahun Muhammadiyah, Teguhkan Komitmen Merekat Kebersamaan
Perlu rekonstruksi konsep, pemikiran, dan parameter yang dapat didialogkan dan dirumuskan secara kolektif tentang fenomena intoleransi, radikalisme, dan segala bentuk anti-ke-Indonesia-an. Agar, terangnya, terhindar dari tendensi yang sepihak, hitam-putih, dan hanya ditujukan pada satu aspek dan golongan.
“Kita menyadari betapa kompleksnya hidup dalam suatu bangsa yang bineka dan mengelola kebhinekaan. Masyarakat majemuk (plural society) memiliki sifat non-komplementer, satu sama lain pada dasarnya sulit bersatu, ibarat air dan minyak yang tidak bersenyawa. Ketika bangsa Indonesia yang bhineka itu bersatu, menurut para ahli hal itu karena ada nilai perekat yang disepakati bersama, yakni Pancasila,” paparnya.
Manakala nilai perekat itu longgar dan tidak menjadi rujukan yang aktual, maka luruhlah kebersamaan, sehingga menurutnya sekarang Pancasila ditransformasikan kembali untuk menjadi dasar filosofis berbangsa dan bernegara.*