Oleh: AM Waskito
Ketuju, bolehkah kita menempuh cara damai dan menghindari jalan peperangan? Jawabnya boleh. Dalilnya adalah: “Jika mereka memerangi kalian, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Dan jika mereka berhenti (dari memerangi kalian), maka sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surat Al Baqarah: 191-192).
Cara damai ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam lakukan dalam perjuangannya. Beliau berhijrah ke Madinah, tidak melancarkan perang saat di Makkah, itu adalah suatu jalan damai. Beliau menjalin perjanjian Piagam Madinah dengan kabilah-kabilah Yahudi dan Arab di Madinah, itu juga jalan damai. Beliau menjalin perjanjian damai Hudaibiyah dengan kaum musyrikin Makkah, juga jalan damai. Padahal ketika itu posisi kaum Muslimin sudah “di atas angin”.
Jalan damai juga ditempuh para Shahabat Nabi, seperti Ali bin Abi Thalib Ra, ketika beliau menyetujui Tahkim yang diajukan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan Ra. Jalan damai juga ditunjukkan oleh Hasan bin Ali Ra, ketika mengakui kepemimpinan Muawiyah. Begitu juga, jalan damai juga dipilih Imam Ahmad rahimahullah, ketika di Baghdad merebak fitnah Khalqul Qur’an. Kalau Umat Islam butuh berdamai, silakan berdamai; sebagaimana jika Umat ini diseru untuk berperang, ya harus ditempuh.
Kedelapan, perlukah kita mencela suatu jalan perjuangan kaum Muslimin dan menganggap jalan kita paling benar? Sikap demikian hanya akan membuat kita berpecah-belah dan menimbulkan putusnya loyalitas antar sesama Mukmin. Berbantah-bantahan akan membuat kita lemah dan hilangnya wibawa (Surat Al Anfaal: 46). Lebih baik jika kita berjuang dari berbagai arah, tetapi menuju titik yang sama, yaitu membangun kehidupan bangsa dan negara yang Islami. Dalilnya, adalah ibrah perkataan Nabi Ya’qub As kepada putra-putranya ketika mereka akan menjalankan missi mencari Bunyamin dan Yusuf As.
Beliau berkata: “Ya bunayya laa tadkhulu min baabi wahidin, wadkhulu min abwabim mutafarriqah” [wahai anak-anakku, janganlah kalian masuk melalui satu pintu, tapi masuklah kalian melalui pintu yang berbeda-beda. [Surat Yusuf: 67]. Dalam istilah lain: “Fastabiqul khairaat” (berlomba-lomba dalam kebaikan). Tidak mungkin rasanya amanah perjuangan ini dilihat hanya dari satu sudut saja; kita mesti melihatnya dari berbagai sudut berbeda. Sebagaimana para ulama bersikap lapang dengan munculnya aneka pendapat-pendapat fiqih, mestinya kita juga bersikap lapang dalam memandang keragaman jalan perjuangan; selama masih satu koridor perjuangan Islam.
Kesembilan, adakah suatu prinsip yang kuat dan jelas dalam Islam yang bisa menjelaskan pentingnya kerjasama antar gerakan-gerakan Islam ini? Jawabnya, ada. Dalam Surat Al ‘Ashr dijelaskan 4 prinsip agar kehidupan kita tidak merugi: (1). Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya; (2). Melakukan amal-amal shalih; (3). Saling nasehat-menasehati dalam kebenaran; (4). Saling nasehat-menasehati dalam kesabaran. Lihatlah pada prinsip ke-2, yaitu “wa ‘amilus shalihaati”.
Disini tidak dibatasi bentuk amal shalihnya. Artinya, amal itu bisa beragam, sesuai kemampuan, kesempatan, dan keahlian. Hal ini membuka pintu-pintu keragaman perjuangan. Tetapi karena semua ini bersifat IJTIHADI, maka ada peluang salah-benar, lebih dan kurangnya. Untuk itu dibutuhkan prinsip ke-3, yaitu “tawashau bil haqqi”. Jangan malu untuk belajar, mendengar, dan menerima kritik; sebagaimana jangan ragu untuk mengingatkan saudara jika mereka tampak melakukan kesalahan. Dan karena jalan perjuangan itu sulit, rumit, dan berat, maka kita butuh prinsip ke-4, “tawashau bis shabr”. Dan semua jalan ini kita tempuh karena kita beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana prinsip ke-1. Surat Al Ashr ini merupakan nasehat yang baik bagi semua aktivis perjuangan Islam, apapun manhaj dan strateginya.
Kesepuluh, bagaimana baiknya sikap kita sebagai Muslim? Model seperti apa yang layak diikuti: apakah model politisi, model mujahid, model aktivis pergerakan, model pengumpul zakat, model praktisi bekam, model pedagang buku, model ahli ibadah, model ahli dzikir, atau bagaimana? Yang benar, yang harus kita jadikan patokan adalah MODEL RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALAM . Beliau itulah model ideal. Pada satu waktu Nabi tampak memimpin shalat dengan suara indah; di lain waktu bermesraan dengan isterinya; di lain waktu bersikap ramah kepada anak-anak kecil; di lain waktu berdagang dan melakukan transaksi pinjam-meminjam; di kesempatan lain melakukan langkah diplomasi; beliau juga memimpin perang, menyampaikan khutbah yang mengharukan, menjadi guru yang sabar, memberikan fatwa dan solusi hukum, dan seterusnya. Nah, inilah model yang dicontohkan oleh Nabi , yaitu model SIAP SEDIA.
Artinya, kita siap sedia melakukan apa saja, demi meninggikan Kalimat Allah. Saat sedang damai, kita lakukan kebaikan-kebaikan, seperti belajar, beribadah, mendidik keluarga; saat terjadi bencana, kita berbagi empati dengan korban bencana; saat di bandar-bandar, kita aktif berbisnis, mencari harta bermanfaat; kalau terjadi polemik pemikiran, kita siap berdebat ilmiah; saat datang panggilan Jihad, kita siap terjun ke medan perang; saat terjadi perebutan kekuasaan politik, kita mendukung siapa-siapa yang diyakini akan membela Islam dan Umatnya.
Ke depan, para aktivis Islam jangan terus bertikai, jangan saling menjatuhkan. Mari kita bersepakat untuk sama-sama membangun kehidupan bangsa dan negara yang Islami. Mari kita bersepakat, bahwa jalan perjuangan ini tidak bisa ditempuh hanya dari satu atau dua jalan saja, tetapi harus dari berbagai jalan. Mari kita sepakat untuk saling nasehat-menasehati dalam menetapi jalan Syariat. Mari kita saling bantu-membantu dalam kebajikan dan takwa, bukan bantu-membantu dalam dosa dan permusuhan (Surat Al Maa’idah: 2). Bukankah yang seperti ini merupakan realisasi prinsip Jamaatul Muslimin? Sebelum hal itu termanifestasikan dalam konteks negara; kita coba hidupkan dalam konteks perjuangan. Dengan jalan kesatuan, yakinlah Allah Ta’ala akan menolong perjuangan ini. Wal akhir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: “Yadullahi ‘alal jama’ah” (Tangan Allah ada di atas jamaah). Kita ditolong bukan karena kesalehan individu, tapi karena kelapangan hati untuk hidup sebagai jamaah kaum Muslimin.
Wallahu a’lam bisshawaab, walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Mohon dimaafkan atas segala salah dan kekurangan. Syukran jazakumullah khair atas segala perhatiannya.*/Jakarta, 13 Desember 2013.
AM Waskito, penulis buku “Air Mata Presiden Mursy” dan “Bersikap Adil terhadap Wahabi”